Gita berniat mengadakan audisi untuk backing vocal bandnya. Ia sudah menyuarakannya di ruang obrolannya dengan anggota-anggota lainnya. Semua menyetujui bahwa bukan hanya anggota paduan suara yang bisa mengikuti audisi. Bahkan adik kelas mereka pun bisa mengikuti audisi ini. Hanya saja, Gita bukanlah seseorang yang memiliki kekuatan untuk mengumpulkan massa. Apalagi Acoupella berada di bawah Rumah Seni. Dan satu-satunya orang yang bisa mengumpulkan massa adalah Ezra yang pernah menjabat sebagai ketua Rumah Seni atau yang biasa dikenal dengan sebutan Lurah. Adrian juga menyarankan Gita meminta bantuan Ezra yang yang tidak sependapat dengan saran Gita.
Semalam, Gita menurunkan gengsinya untuk meminta bantuan Ezra melalui aplikasi pengirim pesan singkat. Dan semua bubble chat yang dikirimkannya itu berujung hanya dibaca oleh Ezra. Lelaki itu benar-benar mengabaikannya. Gita menahan rasa kesal semalaman sebelum akhirnya datang ke sekolah dengan wajah lesu. Bagaimanapun, ia harus bisa membuat Ezra mau membantunya kali ini. Menaiki anak tangga menuju lantai dua, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Gita. Mengangkat roknya hingga sebetis, Gita berlari kecil menuju kelas Ezra yang berbeda dua ruangan dengan kelasnya.
Mengatur napas di pintu kelas Ezra, Gita bertanya, "Ada Ezra?"
Seseorang menjawab, "Belom dateng."
Benar saja, Gita tak mendapati wajah tengik Ezra di ruangan yang baru diisi beberapa siswa itu, "Oke, makasih, ya."
Gita hanya tidak tahu bahwa lelaki yang dicarinya itu tengah bersembunyi di balik tembok dekat tangga. Ezra mengintip dari balik tembok, memastikan kalau Gita sudah benar-benar pergi dari kelasnya. Begitu punggung Gita hilang memasuki kelas yang berada di ujung koridor itu, Ezra langsung berlari menuju kelasnya. Ia langsung duduk di bangkunya dengan napas terengah. Gita terasa begitu menyeramkan hari ini di mata Ezra.
"Kenapa lagi lo sama Gita? Dia nyariin lo, tuh, tadi." Aryo, teman sebangku Ezra yang tadi menanggapi Gita, bertanya.
Ezra menggedikkan kedua bahunya, "Biasa."
Satu, dua mata pelajaran pun berlalu dengan Gita yang sama sekali tidak bisa fokus. Gita sejak tadi pagi tidak bisa menutupi kegelisahannya. Ia haru menemui Ezra tepat saat jam istirahat dimulai sebelum lelaki itu kabur. Tepat ketika bel istirahat Gita berdiri tegak dari kursinya, membuat seisi kelas menatap ke arahnya. Rupanya, pelajaran masih berlangsung. Bu Ratih yang masih menjelaskan di depan kelas pun menatap Gita dari balik kacamatanya. Teman-temannya juga masih memegang alat tulis untuk mencatat penjelasan penting Bu Ratih. Kelas 12 IPA 1 memang dikenal dengan anak-anak yang sangat ambisius. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Gita.
Bu Ratih pun menutup buku paket di tangannya kemudian beranjak dari kursi yang didudukinya menuju meja guru, "Kita ketemu lagi lusa, ya. Kalian boleh istirahat."
Dengan begitu, Gita langsung beranjak keluar dari kelas, membiarkan Anggi, teman sebangkunya, mengurungkan niat untuk mengajaknya pergi ke kantin. Gita berjalan menuju kelas Ezra dengan langkah dihentakkan. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padanya hari ini. Ia langsung menemukan wajah Ezra yang baru saja keluar dari kelasnya bersama teman-temannya. Tak menunggu waktu lama, Gita melepas sepatu Converse-nya kemudian ia lemparkan pada sasarannya, Ezra. Semua yang sedang berada di koridor pun menyaksikan bagaimana sepatu Gita melayang menuju Ezra tanpa niat mengganggu.
"Anjing!" umpat Ezra saat sepatu miliki Gita mendarat tepat di punggungnya. Ia mengusap punggungnya yang terasa sakit.
"Sini lo!" Gita berjalan menuju Ezra yang sudah menoleh ke arahnya.
"Barbar banget, sih, lo jadi cewek." Ezra meraih sepatu milik Gita yang tergeletak di hadapannya.
"Siapa suruh lo enggak bales Line gue padahal lo baca." balas Gita sinis.
"Wah, lo jadian sama Gita? Gue enggak ngurus, deh, Zra. Duluan, ya." Aryo menepuk pundak Ezra sebelum meninggalkan sahabatnya itu.
Ezra menatap Gita malas, "Udah gue bilang, gue enggak mau."
"Lo, tuh, ya!" ingin rasanya Gita menjambak rambut lelaki di hadapannya itu.
Ezra mengangkat telunjuk tangan kirinya saat Gita mendekat sementara tangan kanannya memegang sepatu Gita yang sudah siap ia lempar ke lantai satu, "Lo mendekat, gue lempar sepatu lo ke bawah."
"Lempar aja kalo berani." setelah Gita mengatakan itu, sepatunya benar-benar terjun ke lantai satu.
Gita sama sekali tidak percaya bahwa Ezra benar-benar melakukannya. Kedua pundak Gita mendadak merosot, ia menyerah dengan Ezra yang sama-sama keras kepala seperti dirinya. Tanpa sepatah kata pun, Gita dengan sengaja menabrak Ezra sampai lelaki itu bergeser. Ia berjalan melewati Ezra dengan sepatu hanya di sebelah kakinya menuju tangga. Gita pergi ke lantai satu untuk mendapatkan kembali sepatunya yang Ezra lempar. Melewati koridor kelas 11, Gita mendapati sepatu kanannya yang tergeletak tepat di atas genangan air. Pagi tadi, hujan sempat mengguyur Kota Bandung sehingga masih ada beberapa genangan air di ruangan terbuka sekolah.
"Lo abis ujan-ujanan apa gimana, sih?" tanya Anggi begitu Gita kembali ke kelas dengan penampilan yang cukup berantakan.
Bukannya menjawab, Gita hanya bungkam dan duduk di samping Gita. Sepatu di tangan kanannya ia lempar asal ke lantai di bawah mejanya. Kaus kaki putih semata kaki yang membalut kaki kanannya basah karena ia memijak jalan yang basah tadi. Tidak melewati kelas Ezra, Gita mengambil jalan lain menuju kelasnya yang tak beratap. Bel berakhirnya jam istirahat menggema sementara Gita belum memakan apapun. Bagaimanapun, Gita harus tetap mengikuti jam pelajaran selanjutnya sebelum jam istirahat kedua datang.
"Eh, tunggu-tunggu." suara Pak Faris menghentikan langkah Gita, "Kamu kenapa enggak pakai sepatu?" tanyanya begitu sudah berhadapan dengan Gita.
"Basah, Pak. Kaus kaki saya juga masih basah." balas Gita yang memilih tak memakai sepatunya sama sekali.
"Terus di mana sepatu kamu?" tanya Pak Faris yang sepertinya baru saja melaksanakan salat dzuhur berjamaah di masjid.
"Di kelas, Pak." ada jeda sebelum Gita melanjutkan kalimat lainnya, "Bapak masih mau ngomong lagi enggak? Saya mau salat dzuhur dulu, Pak. Keburu bel."
"O-oh, iya, silahkan. Nanti kalau sudah kering, dipakai lagi, ya." Pak Faris mengingatkan.
"Iya. Mari, Pak." pamit Gita sebelum melanjutkan langkah menuju pintu masjid.
Sementara Ezra yang mengikuti Gita sejak perempuan itu melewati kelasnya memilih kembali ke kelasnya. Niatnya untuk meminta maaf pada Gita terpaksa ia undur karena rupanya tujuan perempuan itu adalah masjid. Melihat dari bagaimana Gita tidak lagi mengusiknya dan begitu abai, sepertinya Gita benar-benar marah pada dirinya. Seseringnya ia bersitegang dengan Gita selama ini, diamnya Gita kali ini terasa berbeda bagi Ezra.
Usai melaksanakan ibadah salat dzuhurnya, Gita kembali ke kelas sendirian. Tas kecil berisi mukena dan ponselnya ia bawa di tangan kanan. Ponsel berwarna putih di tangan Gita itu bergetar, menandakan notifikasi masuk. Gita mengangkat ponselnya ke depan wajahnya untuk melihat pesan apa yang baru saja masuk. Rupanya, pesan dari grup angkatan yang dikirim oleh Ezra. Gita menghentikan langkahnya dengan senyum miring begitu membaca pesan berisi pengumuman diadakannya audisi backing vocal untuk band mereka yang akan diadakan besok. Lelaki itu kira Gita akan memaafkannya semudah itu. Tidak. Kali ini, Gita akan membuatnya lebih sulit.
See you on the next chapter!
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...