Terbangun di tengah malam dengan suara piano menggema di seluruh penjuru ruangan bukan lagi hal asing bagi Gita. Kerap kali ia temukan sang ibu berada di ruang tengah sedang bermain piano untuk melepas rindu. Ibunya, Irina, merupakan seorang pianis yang cukup populer pada masanya. Namun kini Irina sudah tidak lagi aktif di dunia musik. Kecelakaan 14 tahun yang lalu mengakibatkan tulang pada lengan kirinya retak. Lengannya sering terasa nyeri ketika ia bermain di atas tuts piano terlalu lama. Walaupun tak seterampil dahulu, Irina masih bisa bermain piano dengan baik hingga saat ini.
Melihat punggung ibunya yang sedang bermain piano, Gita kembali merasa bersalah. Jika saja, Gita kecil waktu itu tidak bermain ke jalan raya, mungkin ibunya masih bisa menyelenggarakan konser tunggalnya hingga saat ini. Ia juga kembali merutuki dirinya yang tidak menuruni bakat bermusik dari ibunya itu. Walaupun Irina mengenalkan piano pada Gita sejak dini, Gita tidak memainkan alat musik yang satu itu dengan baik. Tidak juga dengan alat musik yang lainnya.
"Mama belum tidur?" tanya Gita yang melingkarkan kedua lengannya di leher Irina dari belakang. Kemudian bergabung duduk di sebelahnya.
Irina menoleh menyelipkan helaian rambut putrinya ke belakang telinga, "Kamu kebangun lagi, ya. Maaf."
Gita menggeleng dengan senyum, "Gita bukan kebangun karena suara piano, Ma."
Hening. Pasangan ibu dan anak itu memang selalu menikmati waktu berdua dalam diam. Detik berikutnya, Irina kembali memainkan jarinya di atas tuts piano. Wanita paruh baya itu memainkan lagu kesukaan putrinya. Gita tanpa sadar ikut bersenandung pelan mengikuti iringan sang ibu.
"Ada yang ganggu pikiran kamu?" tanya Irina mengakhiri permainannya.
Gita menarik napas sebelum menyuarakan keresahannya, "Dulu, gimana Mama bisa yakin untuk lanjut sekolah musik di luar?"
Kedua mata Irina menerawang mengingat keputusannya yang satu itu, "Kamu tau kalo Mama tumbuh di keluarga yang mencintai musik dan Mama mau enggak mau, ya, terbiasa sama hal itu dari kecil. Mama enggak punya pilihan mimpi lain selain jadi pemusik saat itu. Jadi Mama ikutin kata hati Mama aja."
Gita tak menanggapi penjelasan ibunya.
Irina mengusap puncak kepala putrinya, "Ada masalah apa, Sayang?"
Gita tumbuh dengan kebebasan dari kedua orang tuanya. Irina dan suaminya, Fauzan, memang mendidik Gita supaya bertanggung jawab pada setiap pilihan yang diambil. Gita pun menikmatinya. Namun, beberapa hari terakhir ini ada banyak hal yang menganggu pikirannya. Di saat teman-temannya sudah banyak yang memutuskan masa depan mereka sejak masuk SMA, Gita sama sekali tidak memiliki gambaran itu. Untuk pertama kalinya, Gita kehilangan arah. Ia melakukan hal-hal yang ia suka tetapi tidak tahu apa yang ia mau. Bahkan ketika banyak orang tua di luar sana yang mengkhawatirkan masa depan putra-putri mereka karena sudah duduk di kelas 12, kedua orang tua Gita malah mendukung penuh kegiatan putri mereka di luar akademis. Irina dan Fauzan tidak menuntut apapun pada putri semata wayangnya itu. Selama ini ia hanya mengikuti alur dan tidak merencanakan apapun. Target pun rasaya Gita tidak punya.
"Mama beneran enggak masalah? Gita bener-bener enggak tau Gita maunya apa." tanya Gita ragu.
Irina tersenyum mendengarkan penjelasan putrinya, "Enggak apa-apa, Sayang. Mama enggak masalah sama sekali sama Gita yang masih belum tau mau apa ke depannya. Setiap orang memang punya jalannya sendiri dan mungkin memang jalan kamu seperti ini."
Prestasi akademis saja Gita tidak punya, apalagi prestasi non-akademis. Gita termasuk siswa yang biasa-biasa saja di sekolahnya. Ia juga belum menemukan kecenderungan yang ia suka selain bernyanyi tentunya. Bernyanyi saja, rasanya Gita masih kurang menojol dibanding dengan anggota paduan suara yang lainnya.
"Kalau kamu suka nyanyi, kamu tekunin aja, Sayang. Mama dukung kamu sama temen-temen band kamu. Oh, iya. Kapan-kapan ajak mereka main ke rumah. Mama pengen kenal mereka juga." pinta Irina.
Gita hanya mengangguk, "Nanti Gita ajak mereka main ke sini."
Satu minggu berlalu dan Gita memenuhi permintaan ibunya untuk membawa teman-temannya ke rumah. Selepas Jumatan dan keputrian di sekolah, Gita mengajak teman-teman satu bandnya. Gita, Faza, Ezra, dan Adrian meninggalkan sekolah dengan motor mereka masing-masing, sementara Mada ikut dengan Gio yang memang mambawa mobil ke sekolah. Bianca dan Giselle berhalangan ikut karena ada latihan PSP (Pekan Seni Pelajar) dengan teman-teman sekelasnya. Alfa juga sudah memiliki agenda sendiri sehingga lelaki berkacamata itu juga tidak bisa ikut.
"Assalamu'alaikum." Ucap Gita dan teman-temannya saat memasuki rumah minimalis milik keluarga Gita.
Irina datang menghampiri Gita dan teman-teman putrinya itu dari arah dapur sembari melepaskan kain celemek yang masih terpasang di pinggangnya, "Wa'alaikumsalam."
Teman-teman Gita yang mendapati kehadiran Irina langsung memasang wajah terkejut, terutama Mada. Jelas di balik mata mereka, mereka tahu siapa wanita paruh baya yang kini sedang berdiri di hadapan mereka. Irina Gunawan juga merupakan alumni sekolah mereka yang sering dibicarakan Pak Bowo karena prestasinya. Dan teman-teman Gita tak menyangka bahwa Gita adalah putri dari Irina Gunawan sang pianis ternama pada masanya. Dengan perasaan gugup, satu per satu, teman-teman Gita mencium punggung tangan Irina.
"Kalian duduk dulu aja di ruang tengah. Nanti kalo makan siangnya udah siap, Tante panggil." ucap Irina sebelum kembali ke dapur.
"Gue enggak nyangka, gue beneran ketemu Irina Gunawan yang sering diomongin Pak Bowo." gumam Faza yang masih belum bergerak dari tempatnya berdiri.
"Anjir lo, Git. Gue enggak pernah tau kalo nyokap lo itu Irina Gunawan. Kenapa lo bisa-bisanya lo enggak cerita punya nyokap sehebat beliau?" Mada yang berhadapan dengan Gita berseru pelan.
Gita tersenyum kecil, "Gue kira kalian udah tau."
"Jangan-jangan lo bohong sama kita kalo lo enggak bisa main alat musik." selidik Gio.
Helaan napas keluar dari mulut Gita, "Kalo yang itu, gue enggak bohong. Walaupun gue diajarin cara main piano dan alat musik lainnya, tapi gue emang enggak nurunin bakat nyokap.""Terus sekarang Tante Irina beneran udah enggak aktif di orkestra lagi?" tanya Adrian.
Gita mengangguk, "Tapi Mama masih suka main piano di rumah kalo lagi kangen."
"Jelas kangen, lah. Hampir separuh hidup nyokap lo, kan, main piano." tambah Faza.
Entah bagaimana, dari sekian banyak teman yang Gita bawa ke rumah, teman-teman satu bandnya inilah yang bisa langsung akrab dengan ibunya. Musik menjadi topik utama yang menemani makan siang mereka. Ezra yang sedari tadi diam pun kini turut serta dalam obrolan. Keinginan Mada melihat langsung permainan Irina pun terwujud sore itu. Ditonton oleh teman-teman Gita, Irina merasa seperti kembali bermain di atas panggung dan itu cukup mengobati rindunya.
"Tante kapan-kapan dateng ke sekolah terus ketemu Pak Bowo sama anak-anak RS lainnya." celetuk Faza sebelum berpamitan.
Irina memberi senyum hangatnya kemudian mengangguk, "Nanti pas bagi raport Tante ke sekolah.""Yah, Tante..."
Irina tertawa pelan, "Iya, nanti Tante ke sekolah buat ketemu Pak Bowo sama anak-anak RS yang lainnya."
"Kalo gitu, kami pulang dulu, ya, Tante." pamit Adrian mewakili yang lainnya.
Irina melambaikan tangan pada teman-teman Gita yang sedang bersiap dengan kendaraannya, "Hati-hati, ya."
Begitu teman-teman Gita berlalu, Irina berjalan masuk ke dalam rumah sembari merangkul pundak putrinya, "Acoupella, ya, Sayang. Mama punya firasat kalo kamu dan teman-teman band kamu itu punya kesempatan besar di dunia musik."
I'm so sorry for the late update. Kepantiaan yang aku ikutin lagi sibuk persiapan soalnya. I'll try my best to manage them.
So, buku ini bakal sangat sederhana. Kalo kalian berharap bakal ada konflik besar, jawabannya enggak ada ehehe...
Correct the typos for me, please.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...