Alfa sudah berbicara langsung dengan Pak Bowo dua hari yang lalu. Dan ketika Gita menemui Pak Bowo setelahnya, pria paruh baya itu hanya tersenyum seakan semuanya baik-baik saja. Gita benar-benar tidak mengerti bagaimana Pak Bowo bisa setenang itu ketika Acoupella saat ini sedang berada di ambang kehancuran. Mungkin, pengalaman bertahun-tahun yang membuat guru musik itu bisa setenang itu. Perseteruan di antara anak didiknya tentu tak jarang ditemui sejak mengabdi di sekolah. Hal itu pula yang membuat Gita semakin merasa bersalah.
Nasi goreng yang ada di hadapannya juga belum ia sentuh. Gita masih sibuk dalam pemikirannya mengenai cara bagaimana menyelesaikan permasalahan yang ia dan teman-temannya di Acoupella hadapi. Karena sejak hari di mana Alfa mengundurkan diri, semua mendadak menghindari satu sama lain. Mereka juga belum membicarakan solusi terbaik yang bisa mereka ambil. Haruskah Gita yang kali ini mengambil langkah pertama?
"Gita..." mendengar suara ibunya, Gita mendongak, "Makanan kamu belum disentuh sama sekali, loh." tegur Irina.
Dengan berat hati, Gita mengangkat tangan kanannya untuk mengambil sesendok nasi. Nafsu makannya sudah hilang sejak ia bergabung di meja makan bersama kedua orang tuanya.
"Ada yang lagi kamu pikirin, Sayang?" tanya Fauzan pada putrinya.
Gita menggeleng pelan pada ayahnya dan melanjutkan sarapan paginya. Ia tidak ingin merusak akhir pekan ayahnya yang baru saja sampai di rumah tengah malam. Seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya, hari Minggu adalah hari di mana Gita berkumpul dengan keluarganya. Fauzan yang hanya bisa berada di rumah setiap akhir pekan tentu membuat Gita tak pernah melewatkan akhir pekan bersama ayahnya itu, entah di rumah saja atau pun sekadar pergi makan siang di luar bersama.
Selepas sarapan pagi, Gita kembali ke kamarnya karena kedua orang tuanya belum memiliki rencana apapun untuk akhir pekan kali ini. Mengangkat kedua kakinya ke atas kursi, Gita melirik sesekali ponsel yang tergeletak di atas meja belajarnya. Ia bimbang. Di pekan-pekan sebelumnya, ponselnya sering diramaikan oleh notifikasi dari ruang obrolan Acoupella. Entah untuk membahas lagu yang akan dibawakan serta aransemen yang tepat atau membicarakan tempat latihan.
Keresahan yang tak juga hilang membuat Gita akhirnya meraih ponsel putih yang sedari tadi tergeletak di atas mejanya itu. Membuka aplikasi Line, ia segera mencari kontak seseorang yang kali ini mungkin memihaknya. Setidaknya, Gita meyakini hal itu. Mengetikkan pesan sejelas dan sesingkat mungkin, kemudian Gita menunggu balasan dengan hati berdebar ketika pesan yang ia kirim menunjukkan tanda sudah dibaca. Dan begitu seseorang yang dimintai bantuan menyutujuinya, Gita langsung beranjak dari duduknya dan mengganti piyamanya dengan kaus bermotif garis hitam putih dan celana jins biru. Ia meraih ransel kecil dan bomber jacket sebelum meninggalkan kamar.
"Ma, Pa, Gita pergi dulu, ya. Gita makan malam di rumah, kok." pamit Gita dengan tergesa melewati ruang keluarga di mana kedua orang tuanya sedang menonton televisi di atas sofa.
Dengan motor matiknya, Gita pergi menuju rumah Faza yang tak begitu jauh dari rumahnya. Begitu Faza menyetujui sarannya, Gita langsung membalas pesan Faza bahwa dirinya akan pergi menyusulnya di rumah. Ya, seseorang yang akhirnya Gita hubungi pertama kali di antara teman-teman satu band yang lainnya adalah Faza. Selain paling dekat dengan Gita, Faza juga memiliki keresahan yang sama. Apapun hasil akhirnya nanti, setidaknya mereka sudah berbicara.
"Git! Bentar, ya, gue keluarin motor dulu." seru Faza begitu mendapati Gita sudah menunggunya di depan pagar rumah.
"Menurut lo, kita ke mana dulu?" tanya Gita begitu Faza menghentikan motor di sampingnya.
"Kenapa kita enggak minta mereka langsung ketemu di satu tempat aja?" saran Faza.
"Gue juga awalnya mikir gitu. Tapi gue enggak yakin mereka bakal mau, secara kemaren suasananya enggak enak banget." jelas Gita.
Mereka harus berbicara. Menurut Gita, itu adalah solusi yang paling tepat. Dari awal, mereka memang tak begitu saling mengenal dekat. Maka, sebelum semuanya benar-benar berakhir, Gita ingin berusaha sejauh yang ia bisa untuk memperbaikinya selagi masih ada kesempatan. Mengumpulkan kembali Ezra, Adrian, dan Alfa yang kemarin sama lelahnya dengan dirinya mungkin tidak akan mudah. Dan menyusul mereka satu per satu ke rumah masing-masing dirasa paling efektif.
"Gue rasa, Gio sama Mada bakal kooperatif sama kita kali ini." Faza menyuarakan isi kepala Gita tepat sasaran, "Bentar, gue yang coba chat mereka."
Faza mengeluarkan ponselnya dari sling bag putih yang ia bawa dan segera mengetikkan pesan kepada Gio dan juga Mada.
"Lo tau di mana rumah Ezra, Adrian, sama Alfa?" tanya Gita yang baru menyadari bahwa dirinya tak mengetahui hal paling penting untuk mendatangi rumah ketiga lelaki itu.
Faza menggeleng, "Apa sekalian gue tanya ke Gio atau Mada? Kayaknya, sih, mereka tau."
Gita mengangguk setuju, "Boleh, deh, sekalian."
Menunggu balasan dari pesan yang juga belum dibaca oleh Gio maupun Mada, Faza kembali bertanya pada Gita yang memang memiliki rencana ini, "Bianca sama Giselle perlu diajak juga enggak?"
"Oh, iya. Gue lupa." Gita akhirnya mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi kedua adik kelasnya yang sama sibuknya itu. Ia berharap baik Bianca maupun Giselle, keduanya bisa ikut hadir kali ini.
"Eh, Git. Mada nanya, kita mau ketemuan di mana?" tanya Faza yang kedua matanya masih fokus membalas pesan di ponselnya.
"Sekolah aja kali, ya? Di gazebonya gitu." balas Gita mengingat pra-event hanya satu minggu lagi, sekolah pasti dibuka sampai hari Minggu seperti hari ini.
Kabar baiknya, hari ini Adrian sedang ada mentoring dengan alumni untuk acara minggu depan itu di sekolah sehingga mereka tidak perlu menghampiri Adrian ke rumahnya yang diketahui berada di Kota Baru Parahyangan. Sementara Bianca dan Giselle yang kebetulan tidak memiliki agenda apapun yang bersangkutan dengan PSP juga akhirnya setuju hadir walaupun Gita memberi kabar sangat mendadak. Gio dan Mada sepakat menyusul Ezra ke rumahnya, sementara Gita dan Faza langsung melesat ke rumah Alfa setelah mendapat alamat rumahnya dari Mada.
Sampai di rumah Alfa, Gita dan Faza langsung berjalan menuju pintu utama rumah tanpa pagar itu. Diketuknya pintu rumah sebanyak tiga kali. Gita dan Faza menunggu di depan pintu dengan perasaan gugup. Saat pintu terbuka, wanita paruh baya berdiri di hadapan mereka.
"Siang, Tante. Kami teman satu sekolahnya Alfa. Apa Alfa-nya ada?" tanya Gita.
Wanita paruh baya yang diduga ibu dari Alfa itu tersenyum, "Ada. Kalian masuk dulu sini. Tante panggil anaknya dulu."
"Oh, iya, Tante." balas Gita yang kemudian mengikuti ibunda Alfa masuk ke ruang tamu bersama Faza.
Gita dan Faza memilih duduk di salah satu sofa panjang di ruang tamu. Tak perlu menunggu lama, sosok Alfa yang memakai kaus oblong dan celana pendek bergabung dengan mereka. Lelaki berkacamata itu mengambil duduk berhadapan dengan Gita dan Faza.
"Kalian kenapa mau ke sini enggak kabar-kabar dulu?" tanya Alfa tenang.
Gita hanya tersenyum menanggapi Alfa yang nampak santai.
"Mending sekarang lo ganti baju, terus ikut kita." Faza yang bersuara kali ini.
"Loh, ada apaan emangnya?" tanya Alfa heran.
"Nanti lo juga bakal tau. Gue mohon kali ini ikut sama kita entah buat terakhir kalinya atau bukan." mohon Faza.
Buat ganti absen update beberapa hari yang lalu.
Enjoy!
Love, Sha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acoupella
Teen FictionCharets Love Story #3 [COMPLETED] Menggabungkan beberapa kepala menjadi satu bukanlah perkara yang mudah. Berkat guru seni musik mereka, Gita, Ezra, Faza, Adrian, Mada, Gio, dan Alfa harus bisa berdamai pada satu sama lain. Acoupella, tempat di mana...