Hana pov.
BRAKKK!!
Dia terlempar cukup jauh dengan tubuh yang berdarah-darah. Aku terpaku dan berusaha menahan tubuhku agar tidak jatuh. Kakiku lecet karena dia mendorongku ke trotoar. Ini salahku.
Aku berjalan gontai menghampiri orang yang tergeletak lemah. Aku mengecek nadinya, berdenyut tapi sangat lemah. Ada ambulan yang datang dan membawa pergi anak itu dan juga aku.
Pandanganku kosong. Aku tidak peduli dengan ucapan beberapa orang yang menanyakan keadaanku. Kalau saja dia tidak mendorongku untuk menghindari mobil tersebut, dia pasti masih ada. Tapi, sekarang dia tergeletak tak berdaya dengan alat-alat yang tidak pernah kulihat. Seharusnya aku yang berada di sana. Ini salahku. Seharusnya aku yang tertabrak.
Aku turun mengikuti dia yang berada di atas brankar rumah sakit. Orang yang mengendarai mobil itu juga ikut untuk bertanggung jawab.
Aku menatap sinis bapak dan ibu yang berdiri di hadapanku sambil menyorotkan sinar mata penuh permohonan maaf, "Kami minta maaf karena telah menabrak temanmu."
Aku berdecak, "Lalu? Apakah permohonan maaf kalian bisa membangunkannya!?" Teriakku marah sambil melayangkang tatapan membunuh.
"Kami minta maaf."
"Seharusnya anda tidak menelfon saat sedang menyetir! Anda ini sudah kerja atau masih SD!? Apakah perlu diajarkan aturan saar menyetir!?" Aku berteriak pada mereka berdua yang umurnya jelas lebih tua dariku. Tapi aku tidak peduli.
Aku menangis. Sekarang siapa yang akan bersamaku? Keluargaku tidak ada. Tante dan Omku juga sedang pergi. Siapa yang akan bertanggung jawab? Aku tidak punya siapa-siapa.
"Kak," panggil seseorang dengan nada khawatir.
Ah, aku lupa kalau ada adik sepupuku. Tapi tetap saja. Apa yang bisa diharapkan dari seorang bocah laki-laki yang masih kelas 2 SMP? Aku tidak membalas panggilannya dan terus menangis hingga dia berkata.
"Kak, temanmu sudah keluar dari ruang ini dari tadi. Lalu dia" ucapannya menggantung, "Koma" lanjutnya dengan nada lirih.
Aku terbangun. Ya Tuhan, itu sudah kejadian beberapa tahun lalu. Tapi kenapa masih saja masuk dalam mimpiku? Aku menghela nafas dan melihat jam di dinding kamarku. Oke, pukul 6. Masih 1 jam lagi gerbang sekolah ditutup. Tapi, 30 menit lagi sekolah sudah ramai.
Aku menuruni kasur dan pergi ke kamar mandi.
|<>|
Aku tidak punya siapa-siapa selain keluarga adik Mamaku. Orang tuaku sudah pergi sejak aku masih SD kelas 5. Sejak saat itu aku selalu diasuh oleh tante yang selalu memaksaku memanggilnya Mami atau Bunda. Tapi tetap saja aku selalu memanggilnya dengan 'Te' atau 'Tan.'
Saat SMP aku masih punya teman laki-laki. Tapi kini orang itu sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Setiap aku mengunjunginya, yang kudengar hanyalah suara alat untuk mendeteksi detak jantungnya. Aku tidak pernah lagi mendengar suara tawa dan kebawelannya.
Aku mengehela nafas. Aku sudah sedikit melupakan rasa sedihku, jadi aku tidak terlalu sedih lagi. Hah...
"Heh, napa lo?" Tanya orang yang duduk di seberangku, "Kek orang yang punya masalah berat banget."
Aku menatapnya datar lalu menggeleng, "Gak. Ayo cepet kita berangkat" kataku.
Agil mengangguk, "Sekali-kali itu, coba berangkat sendiri naik angkot. Lelah hayati nganter lo sekolah terus" katanya dengan wajah yang dibuat agar terlihat sangat lelah.
"Dih. Bego lo, dasar. Sekolah lo itu, sekolah gue juga" kataku sambil masuk ke mobilnya.
Agil nyengir gaje, "Iye, iye. Forget, biasa lah."
Aku hanya diam sambil menatap ke luar jendela. Mungkin aku akan mengunjunginya pulang sekolah nanti. Toh, aku juga bisa mengerjakan tugas disana sambil menunggunya bangun.
Sampai di sekolah, aku langsung turun dari mobil dan berjalan ke kelas. Masa bodo dengan Agil yang masih di mobil. Di sekolah, aku dan dia berpura-pura tidak saling mengenal meskipun ada beberapa anak yang tau hubungan kami berdua.
Aku duduk di bangku dan merogoh lokerku untuk mengambil permen. Kebiasaanku adalah menaruh permen di loker, jadi kalau tiba-tiba bosan saat pelajaran aku bisa makan permen. Tapi aku menemukam sebuah kertas yang bertuliskan hai.
Oke, ini aneh. Memangnya ada yang mau mengirimku kertas begini? Aku ini tidak pernah punya teman atau yang lainnya. Jadi tidak mungkin ada yang mengirimku kertas kayak beginian.
Ah ya, lebih baik aku tidur saja sampai bel berbunyi. Saat aku baru memejamkan mataku di atas lipatan tanganku, ada yang memanggil namaku. Dasar perusak kepewean.
"Hana."
"Apa?" Tanyaku kesal. Aku tidak mengenalnya, "Lo siapa?"
"Sori, sori. Gue ini temen sekelas lo. Nama gu-"
Aku menyelanya, "Stop. Kenapa?"
"Ck. Jahat emang lo. Lo dipanggil Pak Usman" katanya.
Aku berdecak lalu berdiri, "Ruang guru 'kan?" Tanyaku. Anak itu mengangguk. Aku pun langsung berjalan ke ruang guru.
|<>|
Aku memasuki ruangan bernuansa putih itu sambil menghela nafas. Mungkin aku akan mengerjakan PRku disini. Aku duduk di sofa yang di sediakan, membuka buku pelajaran dan buku tulis lalu mulai mengerjakan.
Sayangnya, ekspetasi tak seindah harapan.
Niatnya sih langsung ngerjain PR, tapi aku malah gak fokus. Aku menghela nafas sambil menatap cowok yang berbaring lemah diatas ranjang. Buku-buku yang tadi aku buka, kini kututup lalu aku masukkan ke dalam tas.
Kakiku melangkah mendekati ranjang itu. Lagi-lagi aku menghela nafas, berharap orang inu bangun dan memarahiku untuk tidak terlalu sering menghela nafas. Sudah beberapa tahun ini dia masih tertidur. Emang gak bosan ya, tidur terus? Greget sendiri.
Aku mengambil tas dan kembali mendekati sahabatku satu-satunya, "Cepet bangun dong. Bosen gue sendirian" kataku lalu keluar dari kamar itu.
Aku menaiki angkot dan pulangh ke rumah. Rumah sepi. Yah, Agil pasti sedang jalan-jalan bersama teman segengnya lalu om dan tante juga pasti masih kerja. Aku membuka pintu kamar.
"Hai."
Aku tercengang. Rumah ini sepi. Pagar rumah juga dikunci tadi. Lalu bagaimana dia bisa masuk? Tidak, tidak, tubuhnya agak transparan. Aku bahkan bisa melihat jendela di belakangnya.
Dia, hantu.
"AAAA!!"
|<>|
KAMU SEDANG MEMBACA
I With the Ghost {END}
JugendliteraturAku tak pernah menyangka akan bertemu dengan makhluk seperti ini.