Delapan

901 71 1
                                    

Beneran tuh ada Noe? Pantes aku ngerasa dipelototi setiap aku menghela nafas. Coba lagi deh. Aku menghela nafas, dan benar, aku merasa tatapan tajam entah berasal dari mana.

Aku tertawa kecil. Noe beneran di sini, mungkin dia masih marah gara-gara kemarin.

"Maaf" kataku. Aku tau tak ada orang disini, tapi aku tau kalau Noe ada disini. "Sori, gue udah marah. Tapi bener, gue gak percaya sama omongan lo soal Ela."

Hening. Aku menghela nafas, "Yaudah kalau lo gak mau maafin gue."

"Gue maafin kok" kata seseorang.

Aku melihat sekeliling, tak ada orang. Noe pasti masih enggan memaafkanku. "Kalau lo maafin gue, tampakkan wujud lo."

"Oke" jawab Noe, "Tapi, lo harus ngomong kalau gue ganteng dulu."

Aku berdecak, "Iya, iya. Lo ganteng."

"Yang niat dong."

"Neo, lo ganteng" kataku, "Dan lo emang ganteng dari sononya."

Tiba-tiba di dekat jendela, tampaklah Neo yang nyengir jail padaku. "Makasih lo udah bilang gue ganteng."

Aku mengangkat bahu sambil merebahkan diriku, "Lo 'kan emang ganteng."

"Iya. Gue tau kok kalau gue ini ganteng. Maklumlah BoNyok gue juga ganteng" kata Noe.

Aku menatapnya heran, "Lo udah inget siapa BoNyok lo?" Tanyaku.

Neo menggeleng, "Gak tau. Tapi kalau gue ganteng BoNyok gue juga ganteng pastinya" ucapnya.

"Dih. Nyokap lo gak ganteng ya, dia cantik" kataku.

"Ah, iya" kata Neo, "Bokap gue ganteng, ngokap gue cantik."

Aku memutar bola mataku lelah. Kok aku bisa ketemu anak kek gini sih. Hantu macam apa yang tingkahnya gak kayak hantu begini? Apa aku belikan dia buku tentang hantu ya, biar dia bisa bersikap layaknya seorang hantu?

|<>|

Kadang aku berfikir kalau aku ini seorang pembunuh. Atau mungkin tidak. Karena, aku ini penyebab Yoel menjadi koma. Aku takut kalau nantinya Yoel tidak bangun.

Aku berfikir seperti ini karena Ela. Ya, lagi-lagi Ela mengingatkanku tentang Yoel. Caption di postingan Instanya membuatku kembali merasa bersalah.

Kapan kamu bangun?

Ukhh. Rasanya aku ingin menggoyang-goyangkan bahu Yoel agar dia segera bangun atau meninjunya berkali-kali. Tidak, itu gila.

"Lo beneran mau jadi teman Ela?" Tanya Noe.

Aku sedang malas untuk marah, jadi aku hanya menanggapi dengan biasa tanpa nada tinggi atau apa. "Emang kenapa sama Ela?"

Noe menggeleng, "Gak papa, sih. Gue cuma punya firasat gak enak gitu sama dia."

"Ohh" gumamku. Aku mengibaskan tangan, "Gak papa. Kalau ada apa-apa gue tangani sendiri."

"Yakin?" Tanya Noe memastikan.

Aku mengangguk. "Gue pengen tau dah, rasanya nembus benda itu gimana?" Tanyaku mengalihkan topik.

"Gak ada rasanya. Cuma aneh aja gitu."

Aku mengangguk-angguk, "Gue pengen coba."

"Berarti lo harus mati" jawab Noe santai, "Atau jiwa lo kepisah dari tubuh lo. Kek gue nih."

Aku menatapnya horor, "Gak! Gak bakal gue mati. Cukup nunggu dipanggil sama yang di atas aja. Gue gak mau melakukan bunuh diri. Dosa!"

Noe tertawa kecil, "Gue 'kan gak nyuruh lo" katanya.

I With the Ghost {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang