"EBUSET!"
Aku mengernyit heran pada Noe yang sedang tiba-tiba terbangun dan langsung berteriak, "Lo kenapa deh?" Tanyaku.
Noe menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. Ia menatapku lama, sedetik kemudian ia tertawa. "Mata lo bengkak, Na."
"Bodo amat. Maklum keles, habis nangis kejer matanya bengkak. Hampir 90 persen orang ngalami" kataku.
Kesedihanku sudah berkurang saat tadi malam aku menangis terus. Aku bahkan tidak keluar. Tante Nika yang berkali-kali mengetok pintu untuk diijinkan masuk, tidak kubukakan. Aku hanya mengunci pintu dan terus menangis.
Aku tidak tau kabar di sekolah. Bodo amat juga. Hp kumatikan. Seharian kemarin aku hanya menangis.
"Hantu bisa tidur ya?" Tanyaku pada Noe yang masih duduk dikasurku.
"Hah?" Noe menatapku kaget, "Oh. Gue biasanya tidur waktu dapet masa sewaktu gue hidup."
"Terus, sekarang apa yang lo dapatkan?" Tanyaku.
Noe menatapku serius, "Itu masalahnya. Kalau gue ngomong, lo bakal kaget pasti."
"Emang apa?" Tanyaku penasaran sambil bersiap-siap menulis.
"Itu, Na" Noe menggantungkan ucapannya, "Mimpi tadi, gue lupa."
"Halah. Tai lo" ucapan itu lolos keluar dari mulutku.
"Hana. Gak boleh ngomong kayak gitu" kata Noe.
"Iye, iye, maap deh, maap" kataku.
Aku membuka pintu dan turun. Aku lapar. Kemarin aku belum makan, laper banget. Aku berjalan santai dan duduk di samping Agil, "Te, minta makan. Laper" kataku sambil nyengir.
Tante Nita langsung berdiri dan memelukku, "Kamu gak papa, 'kan?" Tanyanya.
"Gak papa kok, Bun" ucapnya sambil tersenyum.
Tante Nita --atau Bunda-- menatapku senang. Mungkin aku harus benar-benar menganggap tante Nita sebagai orang tuaku. Mama juga menginginkan hal itu, 'kan?
"Jadi gimana sekolahku, bun?" Tanyaku.
"Oh. Mereka menghukum anak-anak yang ikut bully kamu dan temenmu yang namanya Ela di skors. Kamu tetap sekolah disitu. Gak di-drop out, kok, tenang aja. Tapi itu juga terserah kamu, mau tetap disana atu pindah. Kalau kamu pindah, mereka bakalan mengurus semuanya. Katanya, mereka merasa bersalah gitu" jelas Bunda sambil menaruh piring berisi lauk dan nasi. "Kamu mau pindah atau tetap?"
Aku menggeleng, "Gak perlu pindah. Aku gak mau ngerepoti."
"Sok jaim lo. Habis nangis aja pake sok jaim segala" ucap Agil.
Aku langsung memukul kepalanya dan menatapnya tajam, "Lo diem aja, deh."
"'Kan nyatanya gitu. Btw, lo gak mau sekolah?" Tanya Agil yang melihatku hanya memakai baju lengan pendek dan celana training saja. Aku juga memakai tas selempang hitam yang kuisi dompet dan Hp.
Aku menggeleng, "Gak. Besok mungkin" kataku, "Gak papa, 'kan?" Tanyaku pada bunda.
Ia mengangguk, "Boleh kok. Nah, Agil kamu cepet berangkat sana."
"Hiks, mama kok jahat sih. Masa Agil diusir" kata Agil.
"Dih, sok imut lo. Dasar Agil gila" ucapku.
"Bodo. Ma, pa, aku berangkat ya!" Seru Agil dan langsung melesat keluar rumah.
"Bun, Yah, aku jalan-jalan ya" kataku.
"Sama?" Tanya --emm...-- Ayah.
"Noe" ucapku.
"Siapa?"
"Hantu" jawabku lirih sambil melirik pada Noe yang juga menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.
"Hah?"
"Em... aku bisa liat hantu. Tapi cuma satu. Dia Noe. Aku sudah ketemu dia udah lama. Noe sendiri yang menampakkan dirinya ke aku. Katanya sih, mau minta bantuan gitu" jelasku.
Mereka terdiam. Aku menghela nafas, "Gak percaya, gak papa kok. Aku gak maksa kalian buat percaya."
"Jadi, yang selama ini kamu ngomong-ngomong Noe di kamar?" Tanya Bunda.
"I...ya" jawabku ragu, "Kalau kalian gak percaya gak papa. Aku keluar dulu ya" kataku dan langsung kabur.
Noe ikut berlari di sampingku, "Mau kemana?" Tanyanya.
"Gue bakal ajak lo ke taman. Taman tempat kejadian Yoel ketabrak" jawabku sambil tersenyum miris.
Noe menatapku lama, "Lo suka sama Yoel?" Tanyanya.
"Hah?" Aku terkejut. Bagaimana bisa pertanyaan itu keluar dari mulutnya? Aku menghela nafas, "Yah, begitulah."
Noe menatapku lagi. Duh, bisa-bisa aku jadi salting di tatap kayak gitu terus. "Kenapa sih?" Tanyaku pada Noe.
Ia menggeleng lalu nyengir lebar, "Gak papa. Kalau misalnya nih, gue ngomong gue suka lo gimana?" Tanyanya.
"What the--anu?" Ucapku. "Bego ya?"
"Yaelah. Gue 'kan cuma nanya. Kalau misalnya nih, gue manusia terus gue ngomong suka sama lo yang masih belum move on dari Yoel, lo bakal jawab apa?" Tanyanya.
"Yah, gue bakal nolak" jawabku. "Gini-gini, gue orang yang susah move on. Gue juga setia, dalam artian kalau gue suka sama satu orang gue bakal susah suka sama orang lain. Tapi begitu gue sudah move on, gue bakal mudah 'jatuh' ke orang lain."
Noe menatapku lama lalu tersenyum, "Cie setia..."
"Apaan sih?" Aku salting. Biar kuingatkan, aku ini mudah sekali salting. Aku menatap Noe, "Lo gak beneran suka ke gue, 'kan?" Tanyaku.
Noe hanya tersenyum manis, "Menurut lo?"
Aku terkejut, "Gak, gak. Lo gak boleh suka sama gue, oke? Pokoknya jangan, gue jadi bingung nanti."
Noe mengangkat bahu, tetap dengan senyumannya. Kok dia mirip Yoel? Gak. Aku menghayal aneh-aneh. Aku segitu kangennya sama Yoel ya.
"Ini tamannya" ucapku.
"Deket ya" gumam Noe, "Bahkan gak perlu naik kendaraan."
"Ye, lo hantu. Gampang aja jalan. Lha gue? Manusia" kesalku, "Sebenarnya, kesini juga butuh kendaraan. Tapi gue males. Buang-buang uang, mending jalan. Itung-itung olahraga."
"Iya, iya" kata Noe.
Aku berjalan ke tempat penjual permen kapas. Aku membeli satu.
"Gue pengen."
"Tunggu sampai lo nampak dan jadi manusia" kataku lalu duduk di sebuah ayunan, "Hantu kayak lo bisa jadi manusia lagi, 'kan?" Tanyaku.
"Kata hantu lain bisa aja, karena gue cuma koma gak mati. Tapi gue bakal jadi manusia lagi waktu keinginan gue sudah gue penuhi" jelas Noe.
"Gue gak ngerti" ucapku, "Tapi bukannya hal kayak gitu, buat orang mati yang masih punya penyesalan waktu hidup?"
Noe mengangkat bahu, "Entahlah, gue juga gak seberapa ngerti."
"Udah yuk, pulang."
"Gak capek lo? Baru sampai sini juga."
"Niat gue kesini 'kan cuma mau nunjukin lo taman ini."
"Hmm ya, ya."
|<>|
KAMU SEDANG MEMBACA
I With the Ghost {END}
Teen FictionAku tak pernah menyangka akan bertemu dengan makhluk seperti ini.