Tigabelas

833 71 0
                                    

"Kami minta maaf atas perbuatan anak kami."

Aku menatap mereka datar. Jadi orang tua Ela kesini buat minta maaf? Anak mereka mana coba. Kabur, malu, apa gimana?

"Tan, memaafkan anak seperti Ela tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saya tidak akan semudah itu memaafkan Ela" ucapku.

"Kami tau, karena itu kami minta maaf."

"Kenapa yang minta maaf kalian? Mana Ela? Oh, apa jangan-jangan Ela akan diijinkan masuk saat aku sudah memaafkannya?" Ucapku. Mereka terdiam. Oke, aku benar. "Kalau begitu, aku tidak akan memaafkannya. Ela memang anak harus dikasih hukuman."

"Maafkan Ela. Kami mohon."

"Tidak. Ela harus datang sendiri dan meminta maaf pada saya" kataku. Entah kenapa aku sedikit merasa kurang ajar.

"Jangan ngelunjak kamu!" Teriak ibu Ela, "Kami sudah menurunkan harga diri dan memohon padamu, tapi kamu malah meminta lebih!?"

Aku menghela nafas, "Tante, saya akan memaafkannya kalau dia sendiri yang datang. Ela harus menurunkan harga dirinya untuk meminta maaf. Memang manusia harus memiliki harga diri, tapi harga diri yang terlalu besar akan membuatnya dibenci. Kalian mau Ela tidak disukai seperti saya?" Sindirku.

"Baiklah kami mengerti. Kami akan membawa Ela kesini agar dia meminta maaf."

Aku hanya mengangguk. Kemudian mereka pulang.

"Yakin gak mau maafin Ela?" Tanya Noe.

"Kalau lo jadi gue, lo juga bakal susah maafin anak itu."

"Iya juga sih. Tapi yakin gak mau maafin?"

"Yaelah. Gue maafin, tapi tunggu dia yang ngomong langsung ke gue" kataku kesal.

|<>|

Aku benci sekolah. Bahkan saat aku masuk, mereka masih saja menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Ini menyebalkan. Rasanya aku ingin mencolok mata mereka satu persatu.

Aku duduk diam di bangku sambil melihat beberapa anak lain bermain futsal. Kalau Ela sudah masuk nanti, aku tidak akan mau duduk dengannya lagi. Soal dia duduk dimana, biar dia pikirkan sendiri. Mungkin dia akan duduk di tempat anak yang tidak masuk sekolah, atau duduk di lantai, ah terserah.

"Gimana nih?"

"Lo aja sana!"

"Idih, gak deh. Lo aja."

"Gak mau. Lo aja. Sana!"

"Eh, dasar sahabat bangke!"

Aku menatap anak yang berdiri ragu disamping mejaku, "Apa?" Sepertinya mereka bukan teman sekelasku.

"Anu, itu... Eh, Vel, sini lo!" Dia memanggil temannya yang berdiri ragu agak jauh dari bangkuku.

Temannya mendekat, "Lo Hana, 'kan?" Tanyanya ragu.

Aku hanya mengangguk, "Kenapa?" Tanyaku heran.

"Gue mau ngomong sesuatu" katanya.

Aku melirik ke anak sekelasku, lalu menghela nafas. "Diluar aja."

Aku langsung berdiri dan pergi keluar. Mereka mengikutiku kebelakang sambil berbisik-bisik sesuatu yang menyangkut diriku.

I With the Ghost {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang