duapuluhdua

631 23 0
                                    

Malam ini terasa lebih mendung dari biasanya. Sinar bulan bahkan tak terlihat sama sekali. Sama seperti hati Zarfan saat ini, sekarang ia sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Ia bingung, apakah ini nyata atau mimpi. Gadis yang ia cintai sudah pergi, berkali kali ya menampar pipinya sendiri untuk meyakinkannya bahwa ini hanyalah mimpi tapi itu terasa sakit yang berarti ini nyata. Perempuan yang ia cintai telah pergi itu nyata. Lagi lagi ia menangis. Ia tidak seperti Zafran yang akan marah dan mengamuk kepada semua orang. Ia bukanlah Zafran yang bisa berteriak bahkan memukul orang orang disekitarnya untuk memuaskan emosinya. Ia adalah Zarfan yang gokil dan lucu, Zarfan yang siap menjadi penghibur untuk orang terdekatnya dan Zarfan yang lemah saat ia sendirian.

Ingatannya kembali ke masa di mana ia baru saja kelihalangan sosok ibu. Hari dimana ibunya pergi untuk selamanya sama seperti Zea yang pergi sekarang.

"Aaarrggg. Pergi aja semua!!"teriaknya frustasi. Tiba tiba ia merasa kursinya bergoyang. Ada seseorang yang duduk disebelahnya.

"Kenapa triak triak?"tanyanya. Dia adalah seorang perempuan yang sepertinya pasien di rumah sakit ini terlihat dari baju yang ia kenakan sekarang. Ditangan kirinya bahkan masih tertempel selang infus. Wajahnya terlihat sedikit pucat tapi tak mengurangi kecantikannya.

"Kenalin nama gue Dinda. Adinda Azahra"ucapnya sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum. Zafran menatapnya heran tanpa ada tanda tanda membalas uluran tangan itu. "Ngga mau salaman sama gue? Yaudah"ucapnya dengan wajah yang merengut dan mengalihkan pandangan membuat Zafran gemas.

"Sorry, gue Zarfan"jawab Zarfan dan mengulurkan tangannya. Perempuan itu tersenyum dan membalas uluran tangan itu.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa tadi teriak teriak?"tanya Dinda. Zarfan terdiam, ia sudah mulai lupa akan kenyataan tapi Dinda mengingatkannya kembali. "Lo kehilangan seseorang?"tanyanya. Zarfan masih diam.

"Oke kalau lo ngga mau jawab. Ngga papa kok. Tapi kehilangan orang yang lo sayang bukan berarti lo kehilangan orang yang sayang sama lo kan. Ikhlas memang susah tapi itu adalah cara Tuhan membuat lo jadi lebih dewasa. Gue tinggal ya. Sampe ketemu lagi"ucap Dinda lalu pergi meninggalkan Zarfan yang masih menunduk.

Sedangkan ditempat lain Reva sedang uring uringan setelah Zarfan mematikan telfonnya secara sepihak apalagi kata kata yang terakir Zarfan ucapkan membuat Reva makin gelisah. Saat ini ia sedang tiduran di atas kasurnya atau lebih tepatnya guling sana guling sini. Ia mencoba menelfon Zarfan lagi tapi sudah tidak aktif. Zafran juga. Sudah cukup, ia kan pergi ke rumah sakit sekarang juga walaupun jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Mungkin menurut orang orang jam 9 malam belum terlalu malam tapi tidak menurut orang tua Reva. Menurut mereka pukul 9 malam semua orang sudah harus berada di rumah apapun kegiatan mereka.

Setelah bersiap siap ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja. Lalu ia segera menemui ayah dan ibunya di ruang keluarga. Kamarnya memang berada di lantai dasar karena ia capek bila harus naik turun tangga. Orang tuanya menatap Reva heran.

"Yah aku mau keluar sebentar ya"ucap Reva meminta izin.

"Kemana Lex. Ini udah malem"jawab Bundanya.

"Mau ke rumah sakit Bun. Zea kecelakaan"ucap Reva jujur.

"Zea siapa?"tanya ayah.

"Zea anaknya Om Andri sama Tante Caroline masa ngga tau sih"ucap Reva. Kedua orang tuanya saling pandang.

"Diizinin ngga. Aku ngga ada waktu Yah Bun"ucap Reva dengan wajah memohon.

"Ngga"jawab Ayah sontak membuat Reva kaget. Ayah memang tegas dan melarang keras Reva untuk pergi pada malam hari. Tapi jika urusan ini sangat penting dan Ayah tau betul apa urusan itu Ayah pasti mengizinkannya.

Different TwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang