Sembilan
Seperti biasanya, Vania pulang kerumah dengan perasaan kalut. Pasalnya akhir-akhir ini ia sering berhalusinasi dengan kehadiran Rio. Memang sejak kepergiannya, keluarga Rio tidak pernah memberitahu dimana keberadaan makam Rio. Sampai sekarang Vania masih mencoba untuk mencari tahu dimana keberadannya.
Suara orang memaksa terdengar hingga pintu masuk bahkan harumnya pun dapat dicium oleh Vania. Bi Inah, pembantu nya itu sudah sangat paham dengan sikap Vania. Ia selalu saja mengerti keadaan hati Vania. Tak lupa, Bi Inah juga selalu memasak ketika Vania pulang sekolah. Sudah menganggap Vania seperti anak sendiri.
"Mama belum pulang, Bi?"Tanya Vania
"Belum, non. Nyonya katanya pulang malam lagi. Katanya ada hal yang mau diselesaikan dulu. Non makan aja dulu. Ada sayur sop sama ayam terus ada sambalnya juga"jelas Bi Inah
"Nanti aja, bi. Vania mau nunggu mama aja."Sahut Vania lemas.
"Makan aja dulu, Non. Nyonya masih lama pulangnya. Lagian kalo non belum bisa makan nanti sakit lagi"ujar Bi Inah.
"Nanti aja, Bi. Vania mau tidur aja dulu. Nanti kalo mama udah pulang jangan lupa bangunin Vania ya"tegas Vania yang langsung memasuki kamarnya dengan lemas.
Vania menghela nafas panjang. Ia melihat boneka pemberian dari Rio. Ia sempat berpikir kembali tentang perkataan Rafa tadi di sekolah. Masih teringat jelas Rafa mengatakan itu. Ia tidak bisa menghilangkan pikiran itu.
'Lo itu hebat, Van. Gue aja suka sama lo'
Vania kemudian mengambil kameranya. Ia melihat beberapa fotonya berada di kamera tersebut. Foto saat ia dimarahi oleh Kak Deo, foto saat ia berada ditaman bahkan foto saat ia sedang menulis. Siapa yang memotretku seperti ini?, pikir Vania.
Hanya satu nama yang ada dipikirannya saat ini, RAFA.
----
Sementara di belahan bumi lain, Rafa sedang memainkan kameranya. Sesekali ia tertawa melihat hasil objek yang ia tangkap. Yaitu Vania. Mungkin ini memang gila bahkan sangat gila, seorang Rafa yang sejak dari dulu seperti gunung es yang sangat sulit untuk dicapai bisa menjadi cair hanya karena anak baru yang belum lama dikenalnya. Vania Oktaviani.
Rafa kemudian mengambil beberapa buku pelajaran. Untuk pertama kalinya, Rafa memikirkan seorang wanita semenjak kepergian ibunya.
Sikap Rafa memang sangat sulit sekali ditebak. Kadang baik, kadang nyeselin, kadang dingin sekali. Tak hanya sekali Rafa berikan sikap dinginnya, kepada siapapun ia selalu bersikap dingin. Dibalik rasa dinginnya, Rafa menyimpan sejuta keanehan. Dia yang dingin suka menulis puisi atau menulis beberapa novel yang sangat diminati. Belum lagi ia sangat terkenal di sosmed. Sudah pasti kekasihnya nanti adalah orang yang paling beruntung karena bisa menaklukan hati pangeran es.
"Mama.. Apakabar? Rafa disini baik-baik aja, Ma. Ohiya, tadi Rafa dihukum loh. Haha Rafa baru pertama kali dihukum tapi ada bidadari yang mau nolongin Rafa. Dia cantik seperti mama. Sayang Rafa terlalu takut untuk mengatakannya. Lagipula Rafa juga belum mengenalnya lebih dekat. Mama.. Rafa udah nerbitin buku lagi. Cita-cita Rafa sudah tercapai, ma. Rafa seneng deh. Ma, papa mau nikah lagi. Rafa gatau harus seneng apa sedih. Rafa senang karena Papa sudah bisa tersenyum lagi dan gak sedih lagi. Tapi Rafa takut kalau wanita itu membuat Papa melupakan Mama. Rafa bingung ma"Gumam Rafa yang berbicara kepada bingkai foto mamanya. Tak terasa pelupuk dari matanya pun menetes
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan pintu, Rafa pun segera membukakannya.
"Rafa, udah makan?"Tanya Papa nya
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, hold on [ selesai ]
Teen Fiction"Suatu saat nanti kamu akan tahu bedanya DICINTAI sama MENCINTAI seseorang. Dan aku yakin kamu bisa rasakan itu disaat aku sudah pergi jauh dari kamu" -VANIA-