Hye Ji POV
Musim dingin memang selalu seperti ini, kejadian pilu dan luka selalu terjadi pada waktu seperti ini. Aku seharusnya sedang menikmati coklat hangat di balik selimut tebalku dan menghabiskan waktu berjam-jam menonton televisi. Tapi, yang ku dapat hanya argumen yang mungkin tidak akan selesai bahkan sampai salju terakhir pun turun.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
Aku mendecik mendengar pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak keluar dari bibir lawan bicaraku ini.
"Jangan berlagak bodoh," ucapku.
Jungkook berusaha mendekat namun aku segera mundur menjauh darinya.
"Kau ini kenapa Hye Ji-ah?"
"Aku? Kenapa? Tanyakan saja pada dirimu sendiri!" teriakku.
Emosi, rasa kecewa, bahkan semua rasa yang aku pendam selama ini membuncah untuk dikeluarkan. Satu hal yang aku pelajari saat ini, segala sesuatu yang ditahan tidak akan berakhir dengan baik. Karna kita tidak akan pernah tau kapan itu akan meledak dan mengikis rasa bahagia yang pernah tercipta.
"Apa aku masih ada artinya di matamu?" tanyaku.
Jungkook terlihat sendu. Tatapan seperti menyimpan berjuta rasa bersalah yang ingin dia akui secepat mungkin.
"Ji-ah...jangan seperti ini"
Jungkook berusaha mendekat, namun aku langsung melangkah mundur sebelum ia dapat meraih tanganku.
"Lalu bagaimana kook? Kau masih menemuinya, bahkan kau meninggalkanku tadi malam! Aku harus apa?!"
Jungkook terlihat begitu gusar, peluhnya pun menetes dari dahinya. "Ji-ah....maafkan aku, itu yang terakhir kalinya aku berjanji."
Seperti mesin penyortir, pikiranku berusah mencari arti dari kata janji. Selalu itu yang dia ucapkan, sudah hukum alam memang.
Janji dibuat untuk diingkari.
"Kau selalu menjanjikan hal-hal yang manis padaku, tapi mana? Aku bahkan selalu menunggumu untuk membalas perasaanku." ucapku nanar.
"Maka dari itu beri aku kesempatan."
"Untuk apa? UNTUK KAU JADIKAN ALAT LATIHANMU LAGI?!" teriakku penuh amarah.
"LEE HYE JI JAGA BICARAMU!"
Aku tersentak mendengarnya, aku sudah sering tersakiti oleh tindakannya tapi kenapa yang ini begitu memilukan. Aku bahkan mengingatnya dengan jelas. Suaranya saat membentakku.
Terekam jelas.
Tanpa kusadari, kaki ku terus melangkah mundur. Entah sejak kapan bulir bening sudah melukiskan jejaknya pada wajahku.
Aku melihat Jungkook yang mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia melihat ke arahku, matanya terlihat sayup.
"Ji-ah....aku tidak bermaksud membentakmu." ucapnya.
Kepalaku menggeleng dengan sendirinya, menolak semua kata yang masuk ke dalam telingaku.
"Jangan-"
Aku terus mundur sampai langkahku terhenti karna terhalang dinding kamar mandi.
"Mianhae....aku salah. Maki saja aku, tapi tolong jangan jauhi aku."
Jungkook berjalan mendekat, aku bisa merasakan gurat frustasi yang tercetak jelas di wajahnya. Dia meraih tanganku lembut. Aku masih berusaha untuk menghindarinya.
Aku benar-benar takut saat ini.
"Jangan seperti ini, ku mohon."
Isak tangisku semakin menjadi, lututku terasa lemas. Aku menekuk kaki ku dan mendudukkan diri di lantai kamar mandi.
Jika sejak awal aku tahu bahwa mencintai seseorang bisa sesakit ini, mungkin aku akan tetap memilih kehidupan lamaku yang sepi.
"Hye Ji," panggilnya.
Posisiku saat ini sangatlah tidak nyaman. Aku menekuk kedua lututku, menenggelamkan kepalaku untuk mencurahkan tangisku di sana. Aku masih bisa merasakan Jungkook yang duduk di hadapanku walau aku tidak mau repot-repot untuk menengoknya.
"Ji-ah, aku harus apa?" tanyanya.
Aku tidak mau menjawab pertanyaanya. Aku hanya butuh waktu untuk menangis seharian di sini.
"Aku akan di sini, tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku akan membelikan coklat hangat kesukaan mu setiap pagi. Aku akan mejemput dan mengantarmu pulang setiap hari. Aku akan menemanimu menonton tv seharian. Aku akan menemanimu lembur membuat lagu setiap malam, walau aku tahu itu sangat membosankan. Aku akan pergi ke sungai Han bersama mu dan mendegarkan lagu bersama di sana. Aku akan mendengar semua omelan mu tentang V hyung yang berisik atau Namjoon hyung yang selalu menyusahkanmu. Aku akan pergi bersamamu kemana pun kau ingin...."
Jungkook menghentikan kalimatnya.
"Aku akan belajar mencintaimu jika itu perlu."
Aku mengangkat wajahku, melihatnya yang sedang dihujani rasa bersalah di sana.
Kacau.
Menyedihkan.
Keadaan kami saat ini.
Bukannya seharusnya aku bahagia karna telah bersama orang yang ku cintai, tetapi kenapa rasanya begitu sakit mengetahui dia yang hanya berpura-pura di sisiku tanpa ada sedikit pun niatan untuk mencintaiku.
Aku rasa aku terlalu bahagia bisa merasakan kehadirannya, aku ingin sendiri. Ingin melarikan diri dari kenyataan yang begitu banyak melukaiku.
"Pergilah." ucapku.
"Kau ingin aku pergi?"
Aku mengangguk pelan.
Helaan nafas berat terdengar, aku melihatnya bangkit berdiri dan berjalan menjauh. Air mataku jatuh seiring langkahnya yang pergi meninggalkanku dengan pintu yang tertutup rapat.
Bodohnya aku, kenapa aku tidak memberinya kesempatan lagi seperti yang sebelumnya? Apakah ini titik kelelahanku?
Aku kira, aku tidak akan menyerah padanya. Namun, semua yang terjadi telah menghancurkan secercah harapan yang sempat terbit di sana.
Dia bahkan tidak berusaha untuk bertahan, dia bahkan tidak berusaha untuk menentangku yang memintanya untuk pergi.
Dan aku,
Masih di sini dengan luka yang menjalar. Seolah sudah tumbuh menjadi semak belukar di dalam diriku. Rasanya begitu sakit sampai ragaku sendiri gamang akan hal itu.
"Bodoh."
"Jangan menangis."
"Gadis bodoh."
"Argh! Kenapa kau bodoh sekali?!"
Aku terus merutuki diriku sendiri, entah sejak kapan menjadi kebiasaan untuk menyalahkan segala sesuatu pada diriku. Aku bahkan tidak berani menatap diriku sendiri di cermin karna merasa bersalah sudah menyakiti perasaannya terus menerus selama ini.
Cobalah kalian tempatkan diri pada sepatuku, berjalan lah dalam kehidupanku. Jika kalian bisa sampai di titik ini tanpa menangis, maka selamat kalian adalah seorang yang kuat dan aku hanyalah seorang pecundang.
Aku mungkin pernah kuat, tapi sekarang aku sudah kehabisan tenaga.
Aku sudah lelah.
I just learned,
How to
Be strong
Alone.TBC
Terimakasih sudah dibaca ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be~ [JUNGKOOK FAN FICTION]
FanfictionAku Lee Hye Ji, gadis berusia 19 tahun dan menjadi produser musik di sebuah perusahan musik di Korea Selatan. Kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengannya.