dua

105K 12.1K 1.3K
                                    

Sebenarnya pertemuan antara Aga dengan Gio itu biasa aja. Klise. Kayak di sinetron-sinetron alay atau di novel-novel roman picisan milik remaja yang baru puber.

Mereka bertemu beberapa hari setelah MOS selesai. Di perpustakaan. Itu adalah kali pertama Aga ke sana dan dia langsung jatuh cinta. Melihat beratus-ratus buku berjejer tersusun rapi di raknya, membuat Aga seperti terbang ke langit. Surga dunia, kata Aga. Dan tanpa berpikir dua kali, dia langsung mendaftar untuk menjadi anggota.

Untuk mengagumi seluruh keindahan buku yang tersusun rapi itu, Aga masuk lebih dalam. Walaupun dia berbunga-bunga, tapi wajahnya tetap datar seperti biasa. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Menyentuh deretan buku itu dengan ujung jarinya yang panjang.

Dan.. di sini lah kejadian klise itu terjadi.

'Bruk!'

Karena terlalu bersemangat dengan buku-buku yang mengelilinginya, Aga menabrak punggung seseorang. Punggung yang lebar dan kokoh. Si pemilik punggung berbalik, sementara Aga sibuk memegang hidungnya yang merah.

"Ah, sori." Ujar Aga datar. Ia mendongak dan tertegun. Sepasang manik jati yang tajam itu menatapnya hangat. Bibirnya melengkung manis.

"Iya, santai aja. Tapi lain kali hati-hati ya."

Suaranya yang berat membuat Aga merinding. Saat orang itu pergi, barulah Aga tersadar. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya berkeringat dingin.

Dia jatuh cinta.

Pada manik jati itu. Pada senyum manis itu. Pada suara berat itu. Pada punggung kokoh itu.

Benar. Semudah itu. Sesimpel itu. Tapi perasaannya nggak sesimpel cerita pertemuan mereka. Perasaannya ngga semudah cara Aga menemukan informasi tentang orang yang ia tabrak hari itu.

Ya. Aga nggak perlu kerepotan ke sana sini cuma untuk cari informasi tentang si pemilik punggung kokoh. Bahkan, hanya dengan duduk diam di kursi kelasnya saja, dia sudah mendapatkan apa yang ia mau.

Namanya Gio. Satu angkatan. Anak kelas X IPS 2. Nggak butuh waktu lama buat dia populer karena mukanya yang ganteng dan sifatnya yang friendly itu. Ah, tingginya juga. Di atas rata-rata. Katanya sih dia daftar klub basket dan terbukti sekarang dia masuk tim inti klub itu.

Sempurna.

Kayak tokoh cowok yang biasa ada di novel-novel.

Tapi hal itu juga yang ngebuat Aga sadar. Mereka ada di dunia yang berbeda. Kalau Gio lebih senang ngumpul bareng teman-teman populernya itu, Aga lebih milih buat sendiri di pojok perpustakaan. Kalau Gio lebih senang dengan buah dada milik cewek-cewek yang selalu ngikutin dia, Aga lebih milih yang batangan.

Ngebuat Aga makin sadar, kalo Gio di luar jangkauannya.

Tapi tetap saja.

Jika perpustakaan bisa membuat Aga terbang ke langit, Gio bahkan bisa membuat Aga terbang ke angkasa cuma karena ngeliat senyum manisnya. Jika perpustakaan bisa membuat Aga berbunga-bunga, Gio bahkan bisa membuat bunga-bunga itu mekar hanya karena mendengar suaranya.

Jatuh cinta di perpustakaan ngebuat Aga makin cinta sama perpustakaan, makanya sejak hari itu, dia mutusin kalo perpustakaan itu wilayah kekuasaannya. Dia terlanjur baper karena pertemuan pertamanya dengan Gio di situ.

Secepat itu pertemuan mereka, secepat itu juga Aga merasakan hatinya patah untuk pertama kali karena Gio.

"Katanya Gio pacaran sama si Gladis anak MIPA 4."

"Bukan katanya lagi, tapi mereka emang pacaran kali."

"Lo ngga liat videonya? Si Gio nembak Gladis romantis banget!"

"Ah! Gue iri! Kapan lagi ketemu sama cowok sesempurna Gio!"

Aga menyembunyikan wajahnya diantara kedua lengan yang ia lipat di atas meja.

'Gue juga iri.' ujarnya dalam hati. Menahan denyutan nyeri di dadanya.

Aga galau untuk yang pertama kali.

Tapi, sekali lagi. Secepat itu kabar Gio pacaran dengan cewek anak MIPA 4 tersebar, secepat itu juga kabar putusnya mereka tersebar.

Hubungan itu nggak lama. Cuma sebulan.

Aga bersorak bahagia di dalam hati.

Matanya sakit melihat kemesraan alay yang dipamerkan oleh kedua orang itu. Tapi, sekarang dia sudah bisa tenang.

Harusnya sih gitu.

Kenapa? Karena semuanya hancur kembali. Seminggu setelah putusnya dia dari si anak MIPA 4 tadi, Gio sudah menemukan penggantinya.

Dan Aga benar-benar memaki pujaan hatinya itu.

Dasar brengsek!

Kejadian itu terulang sebanyak beberapa kali. Aga menyerah. Dia tau hal itu pasti akan terus berlanjut sampai nanti-nanti. Harapan untuknya benar-benar tidak ada. Oleh karena itu, Aga memutuskan untuk berhenti jatuh cinta pada Gio.

Tapi masalahnya, ngomong itu lebih mudah dari pada ngelakuinnya, men.

Semakin dia mencoba untuk mengabaikan berita-berita Gio, semakin dia kepo! Semakin dia berusaha untuk tidak memikirkan pemuda itu, semakin dia memikirkannya! bahkan dia merindukannya! Cinta itu kampret.

Aga tidak bisa berhenti. Dia malah semakin jatuh cinta. Maka dari itu, dia memutuskan untuk mendiamkan perasaannya. Biarpun hatinya sudah patah belasan kali. Aga memutuskan untuk menunggu. Menunggu dimana perasaan cinta itu pergi darinya. Menunggu saat dimana cinta itu muak pada dirinya yang tidak melakukan apapun. Walau harus menunggu selama 3 tahun. Aga rela.

Selain kampret, cinta itu juga gila. Karena dia sedang cinta, berarti dia sedang gila. Dan orang gila selalu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Makanya Andrew -teman satu-satunya di sekolah- ngga bakalan bisa ngerti pikirannya.

Keseringan patah hati juga bakalan ngebuat dia gila beneran nantinya. Oleh karena itu, Aga punya cara untuk melampiaskan emosinya. Dengan apa? Bernyanyi. Itulah alasan sesungguhnya mengapa Aga menerima tawaran Andrew untuk masuk ke bandnya. Dia tidak butuh populer. Ia hanya ingin melampiaskan. Ia ingin menggila di panggung.

Ugh, sepertinya terlalu banyak kata gila di kedua paragraf di atas. Apa ini pertanda bahwa dia sudah gila sungguhan?

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang