dua puluh delapan

60.5K 8.8K 805
                                    

Mereka sampai ke rumah Gio dalam keadaan selamat sentosa.

Hujan semakin melebat. Gio segera menarik Aga naik ke teras dan memencet bel rumahnya dengan tidak sabaran.

Tubuh mereka benar-benar basah. Gio menatap Aga yang mulai menggigil kedinginan dengan khawatir.

Pintu rumah dibuka. Seorang pemuda yang mungkin beberapa tahun lebih tua dari mereka muncul. Kacamata berframe hitam bertengger manis di batang hidungnya yang mancung. Dahi pemuda itu berkerut.

"Kok lu malah balik?" tanyanya dengan nada ketus.

"Basah-basahan lagi! Kalo udah tau hujan lebat, ya harusnya lu berteduh dulu dong! Bego!"

Gio meringis dalam hati. Memaki, kenapa harus Masnya yang satu ini yang muncul sekarang. Kenapa bukan Kak Gia saja? Atau Masnya yang lain yang memiliki kepribadian lebih baik.

"Udah separuh jalan. Tanggung kalo musti berhenti," ujar Gio.

"Biarpun u—"

"Hatchiim!"

Gio langsung menoleh dan menatap Aga dengan tatapan horror. Plis, Neptunus, jangan biarkan Aga sakit lagi.

Pemuda cantik itu mengusap hidungnya yang mulai memerah. Lalu, menatap Gio dengan tatapan memohon. Ayolah, dia kedinginan.

"Mas Gino, minggir dulu," ujar Gio cepat. Ia menarik Aga masuk ke dalam dan melewati Masnya begitu saja.

"Heh! Heh! Diem di situ!" seru Gino kesal.

"Apa sih, Mas?"

Gino menutup pintu rumah mereka. Lalu, berkacak pinggang.

"Jangan bergerak! Ntar lantai rumah kotor!"

"Tapi kan—"

Pelototan dari Gino membuat Gio bungkam. Masnya itu akan semakin galak kalo rumah yang sangat ia cintai itu dinodai dengan tidak bertanggung jawab oleh orang lain.

"Lepasin sepatu kalian! Taruh di pojok sana!" perintahnya sambil beranjak ke dalam untuk mengambil handuk.

Gio mengerang kesal dan membuka sepatunya beserta kaos kaki yang basah. Fix, ini pasti bakalan bau.

Hujan sialan.

"Yang tadi itu saudara lo?" tanya Aga sambil meletakkan sepatunya dipojokan yang ditunjuk oleh Gino tadi.

Gio mengangguk, "Sori ya. Mulutnya emang yang paling kurang ajar di rumah ini."

Tak lama kemudian, Masnya datang dengan tangan yang membawa dua handuk kering. Lalu, menyodorkannya pada mereka berdua.

"Hatchiim!!"

Wajah Aga menekuk, lalu mengusap wajahnya dengan kasar menggunakan handuk tadi.

"Makanya, lain kali, kalo hujan turun itu, berhenti dulu!" omel Gino lagi.

Gio menggerutu.

"Maaf.." dan entah kenapa malah Aga yang meminta maaf. Ia menutup setengah wajahnya dengan handuk dan menatap Gino dengan tatapan bersalah.

"Bukan kamu, tapi dia nih! Pasti lu yang bawa motor!" tunjuk Gino ke adik bungsunya.

Gio merengut. Giliran ke orang lain aja, pake 'kamu', sementara ke adiknya sendiri 'lu-gue'.

"Lu tuh bawa anak orang, dudul! Nasib baik kalian sampe dengan selamat! Kalo tiba-tiba, ban motornya kegelincir, gimana? Jatoh, terus dari belakang ada truk dan nabrak! Mati! Siapa yang tanggung jawab? Elu!"

"Ya tapi, jangan ngomong gitu juga kali!" seru Gio.

Aga hanya mengerjapkan kedua matanya dan menatap mereka. Tidak berniat sama sekali untuk ikut dalam 'pembicaraan' itu. Handuk yang berada di tangannya, ia usapkan ke rambut.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang