enam

88.5K 11.8K 1.7K
                                    

Dimata Gio, Aga tampak berkilauan. Sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela serta angin sepoi-sepoi yang memainkan rambut hitamnya. Aga tampak begitu.... cantik.

Gio mencoba fokus dengan tugas sosiologinya. Walaupun hal itu benar-benar susah karena saat ini Aga berada di jangkauannya. Kapan lagi mereka bisa seperti ini kan? Makanya, Gio harus memanfaatkan kesempatan ini baik-baik. Tidak boleh terbuang sia-sia.

Ia melirik ke arah Aga lagi. Dahi Aga mengerut samar. Gio nggak tau apa yang sedang kepala cantik itu pikirkan, lalu ia melihat ke arah bacaan Aga. Sebuah novel detektif. Gio memaklumi. Mungkin isi bacaannya lumayan berat, makanya Aga harus berkonsentrasi penuh. Oleh karena itu, Gio nggak mau ngeganggu. Biarpun dia pengen banget ngobrol sama Aga. Tapi situasinya nggak mendukung. Yang ada malah nanti Aga merasa risih kalau dia mengajaknya ngobrol.

Tiba-tiba, Aga menyisir rambut hitamnya ke belakang. Gio menahan nafas. Entah kenapa gerakan itu tampak... berbeda jika Aga yang melakukannya.

Oh Tuhan, dia harap kesempatan seperti ini akan datang lebih sering kedepannya nanti.

'Drrtt!' 'Drrtt!'

Gio mengambil ponselnya dari saku celananya. Pesan dari Cindy. Bisa ia rasakan, Aga sedang meliriknya. Apa pemuda itu terganggu? Pesan dari Cindy pasti akan terus datang jika Gio nggak ngebales. Maka dari itu, Gio memilih untuk memasukkan ponselnya ke dalam sakunya lagi, lalu menutup buku tugas beserta buku paketnya dan pergi dari sana.

Semoga saja Aga tidak melupakan wajahnya.

Begitu keluar dari perpustakaan, Gio mendesah malas. Dia mulai bosan dan risih dengan sifat Cindy. Kalo sudah seperti ini, dia harus memikirkan kapan saat yang tepat untuk memutuskan gadis itu. Kedua kakinya melangkah dengan berat dan saat berbelok ke arah tangga, ia langsung bisa melihat Cindy yang sedang naik dengan tergesa.

Sial! Pasti Putra yang memberi tahu dia ke mana. Huh, untung saja dia sudah keluar dari perpustakaan, kalau tidak pasti Aga bisa lebih illfeel lagi jika Cindy menyusulnya ke sana.

Bibirnya ia paksa melengkung saat melihat gadis itu sumringah menatapnya.

"Hei, sayang!"

Kedua tangan putih itu langsung memeluk lehernya. Koridor menuju perpustakaan memang selalu sepi. Makanya, Gio nggak terlalu waspada. Ia merunduk dan mengecup bibir merah tidak alami milik gadisnya lalu melumatnya pelan. Yah, memberi ciuman terakhir untuk pacarnya itu tidak ada salahnya kan?

"Kenapa ke sini?" Tanya Gio. Cindy langsung memeluk lengannya.

"Kamu sih ngilang tiba-tiba pas istirahat. Aku kan pengen ketemu sama kamu." Cindy merajuk manja. Gio mengernyit sebal. Mereka segera turun ke lantai dua. Saat berjalan menuju kelas Gio, mereka berpapasan dengan Putra. Teman sebangkunya itu tersenyum mengejek saat menatap lengannya yang dipeluk.

Brengsek! Lihat saja nanti pembalasan Gio! Sialan!

"Oh? Ketemu juga Gionya, Cin?" Putra bertanya dengan nada manis. Ngebuat Gio ngedengus kesal.

"Ketemu dong! Makasih ya, udah ngasi tau Gionya ada di mana!"

Tuh kan! Tuh kan! Udah Gio duga! Pasti Putra yang memberi tahunya!

"Sama-sama."

Putra mendekatinya, lalu berbisik, "Jangan ditekuk gitu mukanya." Lalu tertawa. Gio menggeram kesal.

"Emang anjing lo ya. Liat aja lo nanti, setan."

"Gue kan cuma ngasih kesempatan terakhir buat dia. Baik hati kan gue?"

"Sialan."

Putra ketawa lagi dan Gio menatapnya kesal. Sementara Cindy, hanya menatap mereka berdua dengan bingung.
______________________________________

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang