sembilan belas

68.7K 9.6K 658
                                    

Kedua mata Aga terpejam erat. Tangannya sebisa mungkin mendorong tubuh besar pemuda yang tengah asik 'memakan' bibirnya itu.

Oh, Tuhan, ini terasa tidak nyata.

Aga pernah bermimpi bibir cipokable milik Gio yang seksi itu menciumnya dengan nikmat. Tapi, itu cuma mimpi! Aga terbangun saat kegiatan panas mereka baru berlangsung setengah jalan. Sialan sekali, bukan?

Jadi, Aga bertanya-tanya dalam hati. Apa ini mimpi juga? Apa dia akan terbangun sebentar lagi? Mungkin saja dia tertidur karena kelelahan terus begadang selama beberapa hari hingga memimpikan hal ini.

"...haah..ngh.."

Tapi, sentuhan tangan Gio yang meraba tubuhnya itu terasa nyata sekali!

Sial! Sial! Sial!

Apa yang harus dia lakukan?! Apa dia harus menikmatinya? Bisa saja ini mimpi kan? Tapi, kalau ini nyata bagaimana? Jika Gio sedang mempermainkannya, bagaimana?!

Neptunus! Bantu Aga!

"..Gi..o.."

Punggungnya melengkung saat tangan besar itu menelusup masuk dan mengelus garis tulang di punggungnya dengan seduktif.

Bangsat! Maki Aga dalam hati.

"Aga..."

Suara berat itu terdengar sangat seksi saat berbisik di telinganya. Aga meleleh, Neptunus! Aga meleleh!

Tangan Aga yang semula mendorong-dorong bahu lebar itu, kini beralih mencengkram seragam Gio hingga kusut. Tautan bibir mereka telah lepas. Aga menunduk dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Gio.

"Lo brengsek.." desisnya.

"Aga, gue cinta."

"Shut up!"

"Gue cinta sama lo, Ga. Gue cinta."

"Diam!"

"I love you."

Kedua mata Aga kembali terpejam erat. Dia menggeram. Bagaimana bisa pemuda ini menyatakan hal itu dengan mudahnya?!

"Lo juga cinta sama gue kan?" Tanya Gio.

"Sok tau!"

Aga merutuk dalam hati. Mencoba untuk menenangkan detak jantungnya yang menggila di rongga dadanya. Apalagi saat kedua tangan besar itu mulai melingkari pinggang rampingnya dan membuat tubuh mereka menempel. Rasanya Aga ingin terbang.

Ini sungguh terasa tidak nyata, Neptunus. Apa ini ilusi darimu? Tolong, jangan keluarkan Aga dari ilusi ini –eh, maksudnya segera keluarkan dia dari sini. Aga tidak boleh lemah hanya karena dicium dan diraba seperti itu! Dia itu tidak murah!

"Ayo, pacaran!" Ajak Gio.

Aga menggigit bibir bawahnya pelan, "Lo itu bukan gay."

Sebelah alis Gio terangkat, "Memang."

Lalu, kedua tangannya mengeratkan dekapannya terhadap tubuh kurus pemuda cantik itu.

"Tapi, gue ini pengidap Agasexual." Bisiknya.

Wajah Aga memanas. Ia memukul tulang belikat si pemuda besar, membuat yang dipukul meringis sakit, lalu mendorong tubuh tinggi itu hingga pelukan mereka terlepas.

Gio mengusap belikatnya pelan, "Jadi?"

Aga tak menjawab. Ia langsung melangkah meninggalkan Gio.

"Lo mau jadi pacar gue nggak?" Gio membuntutinya dengan setia. menyamakan langkah mereka dan menatap wajah pucat Aga dengan penuh harap.

"Gue mau pulang." Ujar Aga pelan.

Dahi Gio mengernyit, "Gue nanya, lo mau jadi pacar gue nggak?"

Aga tetap diam. Membuat Gio mendengus.

"Kalo lo diem, gue anggap lo jawab 'iya'." Ujar Gio sebal.

"Oke, karena lo diem, berarti kita pacaran."

Aga mengernyit, "Belum juga gue sempet ngomong." Gerutunya kesal.

Gio mengacuhkan.

Akhirnya mereka melewati pintu sekolah. Aga mematung tiba-tiba. Kedua matanya mengerjap.

"Gue —"

Tanpa mendengarkan ucapan Gio, Aga langsung berlari menuju pagar sekolah yang sudah tertutup rapat plus dengan gemboknya yang menggantung unyu.

"Anjing, Gio!! Ini semua gara-gara lo!" Serunya kesal.

Gio menghampirinya. Menarik gembok itu pelan. Siapa tau aja nggak kekunci gemboknya.

"Itu! Itu! Pak Solihin! PAAAAAAAKKK!!!" Aga berteriak untuk memanggil kakek tua penjaga sekolah yang sedang melangkah pulang. Kakek itu tidak mendengarnya. Aga memukul kepala Gio kesal.

"Aw!"

"Bantuin gue, setan! Gue nggak mau nginep di sekolah!" Seru Aga.

Gio mengusap kepalanya dengan wajah menekuk, lalu bantu berteriak.

"PAK SOLIHIIIIIIIIINNN!!! PAAAAAAKKK!! MASIH ADA ORANG NIH DI SINIII!!!"

"KENAPA DIA NGGAK NOLEH-NOLEH?!!!"

"BAPAAAAAAAAKKK!!"
______________________________________

"Jadi? Kalian pacaran?"

Aga mengapit ponselnya dengan bahu dan telinga. Kedua tangannya sibuk membuka bungkus bumbu pop mie yang sebentar lagi akan ia santap.

"Gatau. Gue nggak ada jawab, tapi dia bilang kalo gue nggak jawab berarti jawabannya 'iya'."

Pop mie nya ia seduh dengan air panas, lalu ia tutup permukaan cup nya. Setelah itu, ponsel yang terapit tadi, ia genggam dengan tangan.

"Yaudah, berarti kalian pacaran."

Wajah Aga menekuk, "Ntar kalo gue kegeeran gimana? Siapa tau dia bercanda?"

Andrew mendengus kesal di tempatnya sana, "Lo mah! Kalo aja lo di sebelah gue, udah gue jitak pala lo!"

Wajah Aga semakin tertekuk, "Gue kan cuma waspada doang." Jemari tangannya mengusap permukaan gelas kaca yang terisi air putih setengah. Bibirnya mencebik.

"Ya kalo si Gio udah bilang gitu, berarti kalian pacaran! Lo nggak mau pacaran sama dia? Orang yang udah lo puja-puja dari kelas satu? Nggak mau?!"

"Gue mau."

"Yaudah, terima aja! Susah banget sih! Hidup ini jangan dibawa ribet."

Aga menghela napas. Ingin sekali curhat sepanjang malam pada sahabatnya itu, tapi Andrew harus memutuskan acara telepon mereka karena acara yang sedang ia hadiri itu telah mencapai puncaknya. Dengan terpaksa, Aga mengiyakan.

Setelah sambungan mereka terputus, ponsel Aga kembali berdering. Sebuah nomor tanpa nama yang kemarin memenuhi pesan masuk ponselnya begitu Aga menghidupkan ponsel itu. Aga tau siapa ini. Dengan ragu, ia mengangkat telepon tersebut.

"Hei.."

Aga tak menjawab. Ia menelan ludah dengan susah payah.

Kalian tau rasanya? Disaat kalian mengagumi seseorang dalam cara pandang percintaan, namun kalian sadar bahwa orang tersebut tak tergapai, tapi tiba-tiba saja sekarang orang tersebut memiliki nomor ponselmu, menelfonmu, mengirim pesan, dan terlebih lagi mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada kalian.

Itu rasanya seperti mimpi.

"Ga..."

Benar-benar sulit untuk dipercaya.

"Ayo, kencan!"

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang