dua puluh empat

69.7K 9.4K 956
                                    

Andrew menyentuh dahi Aga yang panas, lalu mendesah gusar dan meletakkan kain yang sudah dilipat rapi di dahi Aga, serta meletakkan botol dengan isi yang telah membeku di atas kain tersebut.

Demam milik pemuda cantik itu belum turun sama sekali. Wajahnya memerah dengan keringat yang mengalir di sana-sini. Bibirnya mulai meracau.

"Ann... Ann.. jerapah.. ngh.. pocong.. pocongnya naik Ann.. jerapah bau.."

Kira-kira seperti itulah salah satu isi racauannya.

Andrew mengacak rambutnya frustrasi. Dia tidak tau cara merawat orang sakit. Ayolah, merawat orang sakit itu tidak segampang di novel-novel atau di film-film. Apalagi yang sakit ini Aga. Beh!

Aga memang termasuk ke dalam golongan orang yang jarang sakit. Selama Andrew mengenal pemuda itu 2 tahun belakangan ini, dia hanya pernah jatuh sakit sebanyak satu kali. Dan itu benar-benar parah.

Tidak, tidak! Bukan sakitnya yang parah, tapi Aganya. Aga benar-benar tidak bisa diam saat demam. Andrew tau sekali, biarpun dia baru satu kali melihat pemuda itu sakit. Tapi, pengalamannya itu loh! Membekas diingatannya.

Saat itu masih ada Liza yang membantunya untuk merawat si cantik ini. Lagipula, peran Andrew hanya menahan si pemuda cantik agar tetap berbaring di ranjangnya dengan tenang. Selebihnya, Liza yang mengerjakan.

Aga bergerak. Ingin beranjak dari ranjangnya dengan terhuyung. Tangan kanan Andrew yang semula menahan botol es tadi agar tidak jatuh dari dahi Aga, mulai beralih peran menahan tubuh kurus itu. Ia meletakkan botol es yang mengganggu tangannya dengan cepat ke atas meja nakas dan kembali menahan tubuh Aga.

"Gio.. Gio.. ada gajah.." Aga tetap meracau. Kedua tangannya mulai terulur memeluk leher Andrew, sementara Andrew sendiri sedang sibuk menahan kepala Aga agar tetap berbaring di bantalnya yang empuk dan mencoba untuk melepaskan tangan Aga dari lehernya.

"Plis, Ga. Jangan sekarang," gerutu Andrew pelan. Ia menahan kedua tangan si pemuda cantik agar tetap berada di sisi tubuhnya dengan susah payah, lalu mengambil selimut kesayangan Aga yang sengaja ia bawa dari apartemennya dan membungkus tubuh itu dengan selimut.

Baru saja Andrew akan menghela nafas lega, karena tiba-tiba, Aga terisak. Andrew menepuk dahinya sendiri dengan frustrasi.

"Kenapa lagi?" tanya Andrew. Tangannya mengusap air mata Aga yang mengalir dengan pelan.

"Hiks..hiks.. duit gue.. hiks.. duit ilang.. Gio.."

Andrew menatap Aga dengan tatapan datar. Bahkan, di mimpinya pun uang adalah nomor satu, huh?

"Iya, iya. Kalo lo sembuh, ntar gue ganti duit lo yang ilang. Jangan nangis. Udah," ujar Andrew. Tangannya tetap mengusap air mata Aga. Lalu, mengambil kain yang jatuh dari dahi Aga tadi, dan melipatnya kembali.

"Gio... Gio... Hamisubishenishh.."

"Lo ngomong apaan sih?" Andrew meletakkan kain itu ke dahi Aga, lalu mengambil botol es yang tadi diletakkan di nakas, dan meletakkannya ke atas kain.

"Ann... Ann... Gio.. suka.."

"Iya, iya," Andrew mengambil ponsel Aga yang tergeletak begitu saja di lantai dekat kakinya.

Belasan pesan masuk dari Gio dan beberapa panggilan tak terjawab dari orang yang sama pula, memenuhi pemberitahuan ponsel Aga.

Andrew duduk di samping Aga. Lalu, memutuskan untuk menelfon Gio.

Aga bergerak lagi, "Mau jogging.."

Andrew mendengus dan menahan kepala cantik itu agar tidak bergerak.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang