tiga puluh tujuh

63.6K 8K 572
                                    

Kini, para anak kelas tiga disibukkan dengan les dan persiapan ujian akhir semester. Apalagi, Ujian Nasional mereka nanti akan berbasis komputer, jadi berbagai simulasi untuk UNBK itu dilaksanakan di tiap-tiap sekolah.

Gio pusing. Dia merana. Aga masih menghindarinya. Masa penahanan di rumah juga masih berlaku dan entah sampai kapan selesainya. Ditambah lagi masalah les dan lain-lain. Kenapa tahun terakhirnya di SMA gini amat sih? Seingatnya, dulu pas tahun terakhir di SMP, situasinya tidak sesibuk atau seheboh ini.

Oh, apalagi, Gio mengejar jalur undangan. Dia benar-benar harus meninggikan nilai semester limanya ini.

"Lo masih berantem sama Aga?'' Putra yang sedari tadi sibuk meminum susu kotak di sampingnya itu bertanya.

Gio mendengus dan mengangguk samar, tapi langsung menggeleng saat sadar akan sesuatu, "Kami nggak berantem, cuma..."

"Cuma putus aja ya?"

Gio menghela napas dan membaringkan kepalanya di meja dengan lesu. Dia tidak mau mengakui fakta yang satu itu. Mereka putus. Ugh.

"Gue mau balikan,'' gumam Gio pelan.

Gio galau, ya Tuhan.

"Gue kangen Aga," gumamnya lagi.

"Lo nggak pernah nontonin Aga manggung lagi?'' tanya Putra.

"Gue pernah, tapi bareng keluarga. Soalnya, gue nggak boleh keluar kalo nggak ada yang ngawasin."

Putra menatapnya kasihan, "Poor you."

Gio memutar kedua bola matanya, "Thank you."

Lalu, pemuda tinggi itu beranjak dari duduknya dan mendekati jendela kelas. Semilir angin menerpa wajahnya lembut. Ia menatap ke arah lapangan basket yang sekarang sudah jarang ia kunjungi itu. Kedua sikunya bertumpu pada jendela.

Gio tersenyum tipis. Dia jadi ingat, pertama kali ia me-notice keberadaan Aga itu saat ia masih senang bermain basket. Pemuda cantik itu selalu duduk di kursi taman yang diletakkan tak jauh dari lapangan dan membaca bukunya dengan tenang. Membuat Gio terusik pada awalnya.

Tapi, siapa sangka? Rasa terusik itu tergantikan dengan rasa kagum, lalu bertambah menjadi suka dan berkembang menjadi cinta.

Indah sekali...

Aga maksudnya.

Dan cintanya tentu saja.
__________________________________

Hari demi hari berlalu tanpa bisa Gio cegah. Ulangan akhir semester, lalu perbaikan nilai sudah ia lewati. Classmeeting pun sebentar lagi akan selesai. Pembagian rapor akan segera diselenggarakan.

Gio mengaduk minumannya dengan sedotan tanpa melepaskan tatapannya dari punggung Aga yang duduk di beberapa meja di depan.

Si cantik itu tampak semakin kurus dimata Gio. Apa dia tidak makan dengan benar? Atau ada sesuatu yang mengganggunya?

"Kalo segitunya kangen, kenapa nggak lo samperin aja sih?" tanya Putra.

Gio menggeleng pelan dan menyesap minumannya, "Kalo gue samperin, dia pasti bakalan langsung cabut. Mending gini aja, jadi gue bisa ngawasin dia."

Putra menatapnya, lalu tersenyum miring, "Berarti posisi lo sama Aga tukeran sekarang. Dulu Aga yang ngeliatin lo dari jauh, sekarang lo yang ngelakuin itu ke dia."

Gio mendengus, "Takdir itu ternyata lucu ya?"

Putra tertawa, "Bukan lucu, tapi adil."

Pemuda tinggi itu mendecih. Ia menyuap bakso yang mulai mendingin di depannya.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang