tujuh

82.8K 11.7K 1.9K
                                    

"Ruangan satu."

Hanya dua kata itu yang mampu Aga keluarkan. Dia terlampau kaget karena tiba-tiba Gio bertanya. Lalu, kembali menunduk menatap novel di tangannya sambil mencoba untuk menenangkan jantungnya yang semakin menggila. Sementara Gio menatap jendela dengan bibir mencebik.

'Kenapa gue harus dapet ruangan sebelas?! Ugh, gue mulai nyesal kenapa gue masuk IPS. Kalo gue masuk MIPA kan, gue bisa lebih dekat sama Aga.' gerutunya dalam hati. Lalu, ia melirik Aga. Menimbang-nimbang keputusan selanjutnya, lalu mengangguk mantap sekali. Tangan kanannya terulur. Aga mengerjap. Menatap tangan itu, lalu menatap mata Gio.

"Nama gue Gio."

Aga menelan ludah. Tangannya menyambut dengan ragu. Apalagi saat ia merasakan Gio mengeratkan genggaman tangan mereka.

"Aga." Ujarnya pelan. Dalam hati, dia merutuk. Dia nggak tau mau ngomong apa. Ini terlalu tiba-tiba. Terlalu mendadak. Lalu, dengan nggak rela, keduanya melepaskan genggaman tangan mereka dan kembali ke posisi semula. Aga yang menatap novelnya dan Gio yang menatap ke arah jendela. Tapi kali ini, bibir mereka berdua melengkung tipis.

'Akhirnya gue kenalan secara resmi sama Gio/Aga!' batin keduanya senang.

Gio nggak pernah nyangka, kalo kenalan secara langsung dengan orang itu bisa semembahagiakan ini! Ia melipat kedua tangannya di atas meja, lalu memajukan tubuhnya sedikit ke arah Aga.

"Lo dari jurusan MIPA ya? Soalnya gue nggak pernah liat lo di koridor anak IPS." Gio bertanya dengan segala kemodusannya. Dia sudah tau Aga dari kelas mana karena Putra yang memberitahunya. Tapi yah.. biarlah. Biar mereka bisa terus ngobrol gitu.

Aga mengangguk.

"Gue dari MIPA 1." Jawabnya pelan. Jempol tangannya mengusap permukaan kertas novel dengan canggung. Gio tersenyum lebar.

"Oh? Sekelas dengan Andrew dong?"

Aga mengangguk lagi, lalu menunduk. Gio nggak mau kalah. Tangannya yang tadi terlipat, sekarang beralih menopang dagunya.

"Wali kelas MIPA 1 itu Bu Susi kan? Yang ngajar MTK?" Tanyanya lagi.

"Iya. Bu Susi." Aga menjawab pelan tanpa menatap kedua mata Gio.

"Lo ngerti tentang turunan sama integral nggak?"

Setelah mendengar pertanyaan itu, barulah Aga menatap manik jati Gio. Ia mengangguk samar.

"Ngerti."

Gio tersenyum sumringah, "Ajarin gue dong! Ada beberapa hal yang gue nggak ngerti di materi itu. Lo mau nggak?"

Sambil menyelam, minum air. Hal itulah yang dilakukan oleh Gio. Sayang sekali, dia nggak tau seberapa menggilanya jantung Aga saat ini. Aga selalu menjawab singkat, karena dia nggak mau kalo Gio ngedengar suaranya bergetar. Itu pasti akan memalukan sekali.

Aga nggak langsung ngejawab. Dia menimbang-nimbang keputusannya sejenak. Memikirkan apakah jantungnya akan baik-baik saja jika dia mengajari Gio nanti. Tapi, kapan lagi bisa dapat kesempatan emas seperti ini kan?!

"Boleh." Aga mengiyakan. Gio ber-yes! yes!-ria di dalam hati.

"Thanks!" Ujarnya, "Lo kosongnya kapan?"

"Erm.. gue masih belum tau."

"Kalo —"

"Aga?"

Mereka berdua langsung menoleh ke asal suara. Andrew berdiri tak jauh dari mereka. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia menatap Aga sejenak, lalu beralih menatap Gio, lalu ke Aga lagi, ke Gio lagi. Nggak lama kemudian, seulas senyum jahil muncul di wajahnya.

Aga merutuk dalam hati. Ia memberi kode dengan matanya agar Andrew tidak mengganggu mereka berdua. Andrew mengerti. Tapi keinginannya untuk menjahili sahabatnya itu lebih besar ketimbang keinginan untuk memberi mereka waktu berdua.

Jadilah, ia melangkah mendekat dan mendudukkan dirinya di kursi samping Aga.

"Cie." Bisiknya singkat di telinga Aga. Aga mendengus.

"Apaan sih, Ann?" Ujarnya malas.

Sebelah alis Gio sedikit berkedut mendengar panggilan manis dari Aga untuk Andrew.

'Ann?! Aga manggil ni cowok dengan nama 'Ann'?!' batinnya kesal sambil mendengus tanpa sadar. Menyebalkan sekali, pikirnya.

"Sejak kapan kalian saling kenal?" Tanya Andrew. Ia menatap ke arah Gio yang masih mengernyitkan dahinya kesal. Sebelah alis Andrew terangkat.

"Barusan." Ketus Gio. Andrew mengerjap bingung. Ia kembali mendekat ke arah Aga.

"Lo apain si Gio?" Bisiknya.

"Gaada gue apa-apain."

Andrew melirik ke arah Gio lagi. Kerutan di dahi pemuda itu semakin dalam. Lagi-lagi Andrew mengerjap.

'Jangan bilang dia —'

Dengan gerakan tiba-tiba, Andrew memeluk Aga erat. Membuat yang dipeluk terpekik kaget. Untungnya suaranya nggak terlalu besar. Aga refleks menutup mulutnya, lalu memukul kepala Andrew.

"Jangan ngagetin gue, babi!" Gerutunya. Andrew nyengir. Tapi, bahunya didorong paksa untuk menjauh dari Aga oleh Gio.

"Lo ngapain?!" Gio bertanya dengan kasar. Andrew menyeringai dalam hati, lalu menepis tangan Gio dan kembali memeluk Aga.

"Peluk Aga. Lo buta?"

Dengan sengaja, Andrew mengendus leher Aga seduktif, lalu melirik Gio dan tersenyum mengejek. Seolah mengatakan, 'Lihat! Gue bisa ngelakuin hal-hal menggoda kek gini ke Aga dan lo nggak bisa!'.

Gio menggeram kesal. Ingin sekali rasanya dia menarik Andrew menjauh dan melemparnya keluar jendela. Tapi belum sempat tangannya bergerak, Aga sudah mendorong kepala Andrew terlebih dahulu hingga pelukan Andrew ikut terlepas.

"Anjing yang baik, jangan ngendus-ngendus gue. Gue bukan majikan lo." Ujar Aga malas. Andrew terkekeh. Tangan Aga yang masih di kepalanya itu ia ambil.

"Kalo gue anjing, gue cuma mau lo yang jadi majikan gue." Ujar Andrew, lalu menjilat punggung tangan Aga. Ngebuat Aga mengernyit jijik dan ngebuat Gio makin naik pitam.

"Najis tau nggak lo?!" Seru Aga kesal. Ia langsung mengelap punggung tangannya ke seragam milik Andrew yang saat ini sedang tertawa.

Tiba-tiba, tangannya yang satu lagi digenggam oleh Gio. Wajah Aga memanas secara otomatis.

"Lo duduk di samping gue aja." Ujar Gio. Andrew menyeringai, lalu ikut memegang tangan Aga.

"Kenapa harus? Kan kalian baru kenalan tadi, sementara gue udah jadi sahabatnya sejak awal masuk sekolah. Jadi, gue rasa Aga lebih baik duduk di samping gue dari pada di samping lo yang notabene nya masih orang asing buat Aga." Ujar Andrew dengan nada menusuk. Gio berdecih. Melihat keadaan yang semakin aneh, Aga memutuskan untuk menarik tangannya dari genggaman kedua orang itu.

"Bentar lagi mau masuk. Gue mau balik ke kelas." Ujar Aga sambil berdiri. Novel yang tidak jadi ia baca itu ia genggam dengan erat.

"Kalo gitu gue juga~" ujar Andrew. Gio berdecak.

"Tunggu! Gue minta id line lo!" Ujar Gio sambil menyerahkan ponselnya pada Aga. Aga mengerjap.

"Biar nanti gue bisa nanyain lo kosongnya kapan. Ntar gue aja yang nyamperin. Mau di rumah lo kek, atau kita ketemuan di luar." Ujarnya. Andrew menatapnya jahil.

"Hee? Kalian mau ketemuan? Gue ikut!"

"Nggak!" Seru Gio kesal. Aga mengabaikan mereka berdua dan mengambil ponsel Gio, lalu mengetikkan id line nya di sana.

"Nih, udah." Ujar Aga sambil memberikan ponsel Gio kembali.

"Udah ya. Kita duluan." Pamit Aga, lalu mendorong punggung Andrew agar ia melangkah lebih cepat. Begitu mereka keluar dari perpustakaan, Andrew menatapnya dengan seringai menggoda.

"Cieeee yang bakalan dichat sama doi nyaa~" goda Andrew. Aga mencebik.

"Shut up!"

"Coba lo berdua kek gini dari dulu. Kan adem ngeliatnya. Nggak perlu galau-galau lagi jadinya." Ujar Andrew. Aga berdecih.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang