sebelas

75.1K 10.3K 576
                                    

Setelah Andrew kembali dengan sebuah kantong plastik di tangannya kemarin, mereka nggak jadi jalan jalan. Aga menolak untuk melangkah keluar dari apartemen Andrew. Dia sedang ingin galau. Jadi, kemarin waktu mereka habiskan dengan bergelung di selimut lembut Andrew yang sudah menjadi selimut favorit Aga. Entah itu sambil cerita-cerita, atau sambil ngerusuhin Liza dengan nelfon-nelfon dia, atau sambil nyanyi-nyanyi lagu galau. Hingga akhirnya Aga jatuh tidur.

Andrew diam menatap wajah Aga. Dia sudah menganggap Aga sebagai adiknya sendiri. Andrew adalah anak tunggal. Kedua orang tuanya selalu sibuk, jadi dengan kehadiran Aga yang sering ngerusuh ke apartemennya ngebuat kehadiran Aga sangat berarti untuk hidupnya. Kalo aja Andrew belok, dia pasti bakal milih Aga untuk jadi pasangannya. Sayangnya, Andrew straight dan lagi dia sudah punya tunangan yang dia cintai.

"Kenapa nasib lo gini amat sih, Ga?" Tanya Andrew pelan.

Jalan hidup Aga nggak semulus kulit putihnya. Banyak sekali batu-batu kecil ataupun besar yang menghalangi jalannya. Sekarang, Aga hanya punya Andrew. Makanya, setiap kali dia butuh tempat untuk 'istirahat', Aga selalu pergi ke apartemen Andrew.

Andrew menghela nafas, lalu memutuskan untuk ikut tidur.

Keesokan harinya, Andrew menyeret Aga keluar dari apartemen. Mereka sarapan di luar, lalu di lanjut dengan jalan-jalan ke mall, Andrew membelikan Aga semua yang tidak Aga butuhkan. Benar-benar barang yang nggak perlu menurut Aga. Seperti bando, ikat rambut, boneka ("Lo kira gue cewek?!" Protes Aga saat itu, tapi Andrew tidak peduli dan tetap memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan.) Setelah itu, dilanjut dengan makan siang, dan main ke game center.

Aga seolah dilarang untuk memikirkan kejadian kemarin. Dia disibukkan dengan tingkah menyebalkan Andrew. Bahkan ponselnya disita oleh pemuda itu, entah untuk apa tujuannya.

"Mau pipis." Ujar Aga. Andrew menoleh.

"Mau pipis ya, Nak? Sini Ayah temenin ke toilet."

Aga mengernyit illfeel.

"Liza lagi di luar negeri, tapi kenapa virusnya bisa nular ke lo?" Tanya Aga heran. Andrew terbahak.

"Gue kan sehati sama dia."

Aga mengabaikan, lalu langsung pergi ke toilet karena kebelet. Andrew menghela nafas. Sakunya bergetar. Andrew merogoh. Ponsel Aga. Nama Gio terpampang di layar. Andrew berdecih. Tanpa membuka chat Gio, dia langsung menghapus chat itu, lalu mematikan pemberitahuan untuk kontak Gio. Setelah itu, ia memasukkan ponsel Aga ke sakunya lagi.

Begitu Aga datang menghampirinya nggak lama kemudian, Andrew kembali menyeret Aga. Kali ini, tujuannya adalah karaoke.

"Sumpah Ann, besok itu kita UKK! Mending kita pulang sekarang! Belajar!" Ujar Aga.

"Nggak! Pokoknya lo harus nemenin gue main seharian ini!"

Aga mengerang kesal. Kalo Andrew udah bilang 'seharian', itu artinya emang seharian.

Dan pada akhirnya, Aga baru diantar pulang pukul sepuluh malam. Motor Aga akan diambil besok sepulang sekolah, begitu pula dengan ponselnya yang masih disandera. Andrew memaksa untuk berangkat sekolah bersama besok.

"Jangan lupa bawa kartu ulangan besok!" Pesan Aga. Andrew hanya memberikan jempolnya, lalu tancap gas dari sana.

Aga menghela nafas dan menatap rumahnya yang gelap. Rumah yang nggak bisa dia sebut sebagai 'rumah' lagi. Aga tersenyum miring. Dia nggak butuh 'rumah' seperti orang lain. Seenggaknya bangunan ini bisa melindunginya dari hujan dan bisa ia jadikan tempat untuk tidur. Itu udah cukup.

Walaupun nggak ada kehangatan di dalamnya.

Walaupun nggak ada suara ramai seperti dulu.

Aga sudah terbiasa.

Dia terbiasa sendiri.
______________________________________

Mereka sampai di sekolah pukul setengah tujuh. Aga turun dan membuka helmnya, lalu memberikannya pada Andrew.

"Gue gugup." Ujar Aga. Andrew turun dari motornya.

"Santai aja kali. Kita pasti naik kelas kok walaupun nilai kita jelek. Yang penting kan kita gaada kasus."

Di sudut mata Andrew, bisa dia lihat Gio yang juga baru datang. Pemuda itu turun dengan terburu-buru saat melihat Aga. Sebelum Aga melihat pemuda itu, Andrew sudah merangkulnya terlebih dahulu dan membawa Aga berjalan cepat keluar dari parkiran.

"Buruan! Kita belum tau ruang satu itu di mana!" Seru Andrew.

"Iya, iya! Tapi jangan seret gue juga!"

Andrew terkekeh. Setelah cukup jauh dari Gio, ia memelankan langkah mereka menjadi normal. Aga sibuk menggerutu tentang Andrew yang senang sekali menyeretnya ke sana ke mari.

Ruangan satu berada di lantai dasar sekolah mereka. Tepatnya di ruang kelas 10. Aga mendesah lega saat mencuri dengar bahwa anak kelas IPS 2 dapet ruangan kelas 11 di lantai atas. Yah, seenggaknya jarak ruangan mereka terlampau jauh.

Aga masih belum mau melihat Gio. Dia belum sanggup. Hatinya masih berantakan. Aga nggak bisa memperbaikinya. Patah hati kali ini terlalu parah. Lagipula dia sudah menyerah.

Selama seminggu mereka melaksanakan UKK, Aga bersyukur sekali dia nggak ada ketemu sama Gio sekalipun. Ponselnya juga masih disandera oleh Andrew, jadi dia nggak tau apa Gio ada ngechat atau enggak. Tapi, Aga rasa nggak bakal ada. Emang Aga siapanya?

"Besok udah class meeting. Lo mau masuk?" Tanya Andrew sambil berjalan bersama Aga menuju parkiran. Aga merenggangkan tubuhnya. Senang sekali akhirnya ujian selesai.

"Males gue. Nggak usah aja yuk!" Ajak Aga. Dia nggak termasuk ke dalam tipe murid yang senang melakukan aktivitas di sekolah. Aga ke sekolah hanya untuk belajar, jika kegiatan belajar mengajar tidak ada, dia nggak bakalan masuk. Mau kepala sekolah ngancam bakal dihukum kek, atau diapain kek, dia nggak peduli. Aga nggak suka ke sekolah kecuali untuk belajar.

"Sudah ku duga." Ujar Andrew dengan pose mengapit dagunya dengan jari telunjuk dan jempol. Aga terkekeh pelan.

"Gue minggat ke apartemen lo ya?" Ujar Aga. Andrew merangkul bahu Aga akrab.

"Pintu apartemen gue selalu terbuka buat lo. Kalo lo mau pindah ke apartemen gue juga nggak masalah. Btw, mau gue jemput?" Tanya Andrew. Aga menggeleng.

"Gue bisa ke apartemen lo sendiri."

Andrew melepaskan rangkulannya begitu mereka tiba di parkiran. Kedua matanya menatap ke sekeliling. Was-was kalo aja Gio muncul tiba-tiba. Dia udah berjuang selama seminggu untuk ngehindarin Aga dari Gio dan hari ini harus berakhir dengan mulus. Aga nggak boleh ketemu sama Gio.

"Sana lo! Balik! Hush! Hush!" Usir Andrew cepat saat Aga sudah memakai helm dan duduk di atas motornya. Aga memutar kedua bola matanya.

"Yaudah, kalo gitu sampe ketemu nanti!" Ujar Aga, lalu langsung tancap gas bersamaan dengan Gio yang baru muncul. Andrew mendesah lega saat Aga keluar dari gerbang dengan mulus.

Dengan santai, Andrew menaiki motornya, lalu memakai helm.

"Andrew."

Andrew menoleh dan ngedapetin Gio berdiri di sampingnya. Sebelah alis Andrew terangkat seolah bertanya 'apa?'. Gio menghela nafas.

"Tolong bilangin Aga, bales chat gue." Ujar Gio.

"Loh? Aga nggak ngebales chat lo? Tumben." Ujar Andrew sok polos. Dalam hati dia tertawa setan. Ya iyalah Aga nggak bales, ponselnya aja masih sama Andrew.

"Udah seminggu ini gue berusaha buat ngehubungin dia, tapi nggak pernah direspon. Di sekolah juga gue nggak ketemu sama Aga. Jadi, tolong ya!" Mohon Gio. Andrew mengangguk.

"Iya, ntar gue sampein!"

"Thanks, ya 'Drew!"

Andrew hanya memberinya senyum manis. Gio beranjak menuju motornya. Senyuman Andrew memudar.

"Iya, ntar gue sampein ke angin." Ujarnya pelan, lalu segera pergi dari parkiran sekolah.

SECRET [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang