Perjalanan di tengah hujan ini, terasa menyenangkan bagi Cindy. Bisa semobil dengan David.Dari tadi, mereka bertiga saling bercanda.
Marvel melihat jelas, bahwa adiknya merasa bahagia jika berada di dekat David. Nampak dari sorot mata Cindy, ada cinta di sana.
Sesekali dia juga, melirik David yang berada di kursi belakang dari spion mobilnya. Dia merasa jika David juga memiliki perasaan yang sama terhadap Cindy. Entah darimana Marvel yakin dengan perasaannya itu. Namun hanya satu yang dia harapkan, yaitu semoga saja Cindy tak akan luluhlantak hatinya, ketika jika ternyata David tak punya perasaan yang sama dengannya.
"Rumah lo di nomor berapa Dav?" Tanyanya saat sudah memasuki sebuah kawasan perumahan elite seperti yang sudah dikatakan David sebelumnya.
"14 C bang."
Marvel mengangguk.
Dia membelokkan mobilnya saat menemukan rumah dengan plat nomor 14 C.
"Kok kayanya rumah ini gak asing ya buat gue?" Celetuk Marvel.
David tahu kenapa Marvel merasa tidak asing dengan rumah ini, karena dia berpikir bahwa Marvel sudah pernah ke sini untuk menemui papanya untuk urusan bisnis.
"Ini rumah lo Dav?".
David mengangguk samar. "Gak mampir dulu bang?".
"Enggak, lain kali aja. Udah sore."
"Thanks, bang. Udah mau nganterin gue," ucap David lalu keluar dari mobil dan berlari kecil menuju teras rumahnya
"David."
David menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Cindy yang berada di balik jendela mobil.
"Kenapa?"
"Ja-jangan lupa makan yaa."
Mendengar itu David mengerutkan dahinya sejenak. Terdengar aneh. Namun itu bisa membuat jantungnya berdetak kencang.
Dia mengangguk. "Lo juga. Take care," ucapnya sambil tersenyum tipis.
"Ok. See you."
Cindy melambaikan tangannya dari dalam mobil. Setelah itu kaca jendela mobil tertutup dan Marvel melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah David.
David melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Melihat mamanya sedang membaca majalahnya di kursi ruang tamu.
"Kamu ujan-ujanan?".
Langkah David terhenti. Darahnya berdesir. Meskipun hanya pertanyaan biasa, namun ini sangat berarti baginya. Dia mengartikan ini sebagai kata lain dari "khawatir".
"Gak ma. David naik mobil."
"Mama udah makan?". Tanyanya kemudian.
Sang mama mengangguk.
David tersenyum getir. Melihat wajah David saja, mamanya seperti tak ingin. Kadang-kadang dia bertanya-tanya, apa yang membuat mamanya seperti ini padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Je T'aime[END]
Teen Fiction.....hingga pada suatu hari, kisah mereka harus terjeda bahkan sebelum sempat dimulai. "Je T'aime" Terlambatkah kata itu terucap di antara kita?