Kangen

2.9K 143 9
                                        

"Are you ready, baby?"

Satu jam berlalu, terapi demi terapi telah dijalankan Vinny. Senyum indah yang terlukis di wajah Vinny menandakan kebahagiaannya ketika keluar dari ruang yang sangat menyeramkan itu. Rasanya seperti keluar dari jurang kematian. Di dalam sana sangat menyeramkan, bukan karena terdapat setan atau sejenisnya. Hanya saja, Vinny takut melihat alat-alat yang memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya.

"Tunggu bentar." Vano kembali masuk ke ruangan itu untuk mengambil resep obat.

Sembari menunggu kakaknya, Vinny menatap setiap sudut rumah sakit. Waktu kecil dia sangat menyukai rumah sakit, dia selalu bermimpi jika suatu hari nanti akan mengunjungi rumah sakit setiap hari sebagai seorang dokter. Namun, impiannya sirna hari itu memang datang dimana dia mengujungi rumah sakit yang dia impikan tapi bukan sebagai dokter melainkan sebagai pasien.

"Eh?" Vinny tersentak.

Itu cowok yang di danau tadi, kan? Baguslah kalau baik-baik aja.

"Dek, ayo pulang." Vano mendorong kursi roda adiknya menuju mobil.

Perjalanan menuju rumah tidak terlalu jauh. Jalanan kota juga tidak terlalu padat, hanya saja cuaca sedikit mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Vano tidak fokus menyetir, dari tadi dia melihat adiknya melamun entah apa yang tengah mengusik pikirannya.

"Kamu kenapa?"

"Hah?" Vinny kaget lantas menoleh Vano. "Apanya yang kenapa, kak?"

"Kamu lagi mikirin apa?"

"Oh, nggak ada." Vinny kembali menatap jalanan. "Kak, menurut kakak aku cantik nggak?"

Vano menaikan satu alisnya. "Kenapa nanya gitu?"

"Nanya aja."

"Cantik." Vano tersenyum tulus.

"Serius?" Vinny terlihat tidak mempercayai jawaban sang kakak. "Kalau emang cantik, kenapa nggak ada satu cowok yang deketin aku?" Vinny menunduk dalam menyembunyikan kesedihannya.

"Dengerin kakak, dia yang mencintaimu nanti adalah laki-laki yang luar biasa." Vano mengelus kepala Vinny.

"Bukan karena aku lumpuh?"

Vano menepikan mobilnya. Percakapan seperti ini sangat menyentil hati Vano. Bagaimana tidak, sebagai seorang kakak Vano merasa sudah gagal menjaga adik satu-satunya. Kalau waktu bisa diputar dan takdir bisa diubah, tentu saja Vano ingin menggantikan posisi Vinny.

Vano menangkup wajah Vinny. "Air mata ini," ucap Vano menghapus aliran air mata di pipi Vinny. "Sama halnya seperti ada benda tajam yang nusuk dada kakak. Kamu tahu, kamu adalah harta kakak. Kakak cuma punya kamu, kalau pun nanti kamu belum nemuin laki-laki yang luar biasa. Biar kakak saja, kakak yang akan jadi laki-laki luar biasa itu."

"Nggak mau nikah sama kakak."

"Nggak gitu, maksudnya kakak bakalan jagain kamu terus." Vinny terkekeh.

Vano menambah kecepatan mobilnya hingga perlahan kecepatan itu melemah dan berhenti di sebuah rumah yang cukup mewah. Mata sayu Vinny mulai membuka, seakan- akan baru terbangun dari tidur panjang. Vinny menatap ke luar kaca dan seketika mata sayunya berubah menjadi besar, senyum indahnya terlukis jelas di bibirnya.

Suara histeris Vinny berkumandang. "Kak, itu mobil papa,  kan?" ucap Vinny tak percaya. "Mereka pulang kak, ayo buruan turunin aku."

Papa sama mama pulang? Nggak salah? Atau ini mimpi?

vano mengambil kursi roda Vinny dan mendorongnya masuk kerumah. Vano ingin memastikan apakah orang tuanya benar berada dirumah.

"Ma, pa?"
"Udah gak usah teriak gitu," pungkas Vano.

Terlihat wanita paru baya yang masih terlihat cantik dan awet muda keluar dari atas menuruni satu demi satu anak tangga. Tanpa disadari tetes air mata kerinduan Vinny jatuh, ketika melihat sosok ibunda yang telah lama tak pernah ia temui. Vinny mengarahkan kursi rodanya menuju wanita itu.

Pelukan hangat dari Risma mampu menyembuhkan rindu yang teramat mendalam yang dirasakan Vinny.

"Ma, Vinny kangen."  Vinny memeluk tubuh sang mama.

"Mama juga kangen, sayang." Risma melirik Vano. "Kamu apa kabar, sayang?"

Hanya senyuman kecil yang diberikan Vano, karena Vano tahu bahwa orang tuanya tidak akan lama berada di rumah ini. Kedua orang tuanya sangat sibuk dengan urusan pekerjaan. Bahkan, untuk sekedar berkunjung menemui anaknya pun tak sempat.
Datang seorang pria paru baya yang membawa tumpukan berkas di tangannya, tanpa mengindahkan orang sekitarnya.

"Ma, ayo berangkat nanti kita ketinggalan pesawat." Suara berat dari pria itu menghancurkan hati kecil Vinny.

Dengan mata berkaca- kaca. "Ma, kalian mau pergi lagi?" ucap Vinny menahan tangis. "Belum ada satu jam kita ketemu tapi...." ucapnya terpotong karena Vinny memilih pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Hingga terdengar jelas bantingan suara pintu "Brakkkk".

"PUAS KALIAN!!" Suara Vano meninggi melihat tingkah kedua orang tuanya. "AKU SUDAH PUNYA FEELING KALO KALIAN NGGAK MUNGKIN PULANG UNTUK ANAK. INGET PA- MA, KALIAN MASIH PUNYA TANGGUNG JAWAB YAITU ANAK-ANAK KALIAN."

"Vano!!!!" Johan mengangkat tangannya berusaha ingin menampar Vano.
"Udah pa, udah." Tangis Risma meredakan.

"KENAPA? MAU NAMPAR? NIH SILAHKAN, RASA SAKIT ITU GAK SEBANDING DENGAN RASA SAKIT YANG AKU DAN VINNY RASAIN SELAMA INI." wajah Vano memerah air matanya membendung di dalam kelopak matanya, bibirnya bergetar. "OH IYA, KALIAN SIBUK BUKAN. SILAHKAN PERGI AKU RASA KALIAN MASIH INGET PINTU KELUARNYA." Amarah Vano makin menjadi.

"Van, maafin mama. Ini semua kami lakuin untuk kalian, masa depan kalian," tutur Risma dengan derai air mata.

"Cukup ma, aku gamau denger alesan itu. Inget mah, aku sama Vinny ga cuma butuh materi, tapi kami juga butuh kasih sayang," kata terakhir yang diucapkan Vano, kemudian pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

###

Vano sangat mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Vinny. Selama ini, Vinny  sangat merindukan kasih sayang seorang ibu dan ayah. Vano selalu mencoba untuk bisa menggantikan posisi itu agar Vinny tidak merasa kekurangan kasih sayang. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kasih sayang ibu tidak bisa digantikan oleh siapapun.
Vano bingung ketika melihat Vinny merasakan sakit seperti itu. Vano sebenarnya juga merasakan sakit, ia pun sangat merindukan keluarga yang harmonis. Tetapi, Vano masih sangat kuat untuk bertahan demi menjadi sadaran Vinny disaat membutuhkannya.

Knock... Knock...

Suara ketukan pintu terdengar. Namun, tak ada balasan dari dalam. Vano melakukan itu berkali-kali hingga akhirnya sang penghuni kamar keluar dengan wajah yang basah, mata yang sembab.
Vinny mengerutkan dahinya melihat apa yang ada dihadapannya, seorang laki-laki gagah perkasa mengenakan pakaian dress dengan topeng penyanyi internasional "Ariana Grande"

"Halo, Vinny Grande." Vano mulai bernyanyi ala-ala Ariana. "Almost, almost its never enough...."

Senyum kecil hingga tawa lepas dari mulut mungil Vinny dan kini mereka pun tertawa terbahak bahak. Melihat hal itu Vano merasa senang, ketika melihat senyum di wajah Vinny. 

"Jangan sedih lagi, ya," ujar Vano mengelus rambut indah Vinny. "Kamu masih punya kakak yang akan selalu ada buat kamu kapan pun."

Mata Vinny mulai mengeluarkan air. "Aku kangen kasih sayang mereka kak."

Menatap dalam mata Vinny. "Apa kasih sayang kakak kurang selama ini?" seru Vano dengan lembut. "Kakak tau, kakak ga bisa jadi mama atau jadi papa. Tapi kakak janji, kakak bakal bahagiain kamu."

"Aku sayang kakak."

Duhhh sedih ya btw gimana nih ceritanya

lanjutttt gaaaakkkk
Sal kreatif
K I R A N A

PROTECTIVE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang