[21]

657 165 9
                                    

RUANG PENYESALAN

:::::

Pengap, berantakan, penuh asap, dan tidak tersentuh temaram cahaya dari jendela yang sengaja ditutup adalah gambaran ruangan berukuran sekiranya 4x6 meter tersebut. Terlihat beberapa kaleng minuman dengan kadar alkohol rendah, bungkus makanan cepat saji, dan tiga kotak rokok berserakan di lantai. Bahkan di sudut ruangan terdapat beberapa helai pakaian yang sengaja dibiarkan menumpuk di luar keranjang pakaian yang terletak di sampingnya.

Ruangan tersebut hanya disinari oleh cahaya dari layar laptop yang menyala dengan tampilan lembar kerja dari microsoft word. Beberapa kali ponsel yang juga berada di atas meja tersebut bergetar, menampilkan nama pemanggil yang tak kunjung dijawab. Tertulis 6 panggilan tak terjawab di sana.

Suara batuk samar-samar terdengar dari ruangan yang berbeda, ruangan yang disekat oleh dinding berwarna putih. Sosok laki-laki berperawakan tinggi keluar dari ruangan tersebut. Terlihat dirinya sedang membersihkan bagian dada baju kaus yang dipakainya.

"Sial!" desisnya saat melihat percikan noda merah di sana. Laki-laki itu membuka pakaiannnya dan melemparkannya ke sudut ruangan, bergabung bersama tumpukan pakaian lainnya.

Laki-laki tersebut berjalan ke meja kecil di tengah ruangan sambil menepuk pelan dadanya yang terasa nyeri. Dirinya pun duduk di hadapan laptop dan kembali menarikan kesepuluh jarinya di atas keyboard sambil sesekali berdecak dan menekan backspace pad dengan kencang.

Setelah beberapa saat, ponselnya kembali bergetar. Laki-laki tersebut melirik layar ponselnya dan mengeluarkan suara decakan kecil.

"Halo, Pak."

"Hanya halo Pak setelah sekian panggilan tak terjawab? Sekarang kamu di mana?"

Laki-laki tersebut memijat pangkal hidungnya dan berusaha menarik napas sepelan mungkin. "Saya di apartemen, Pak. Maaf, saya baru melihat panggilan Bapak. Ponsel saya dalam mode getar," jawabnya jujur.

Terdengar helaan napas lega di seberang sana. "Saya sudah was-was kalau kamu dalam keadaan drop lagi. Bagaimana dengan kerangka final wawancara untuk rombongan Duta Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia yang berkunjung ke Seoul itu? Kalau sudah selesai, kamu bisa mengirimnya ke email kantor. Mengedit hanya memerlukan waktu satu malam untuk seorang Dennies Giovanny, bukan?"

Laki-laki tersebutㅡDenniesㅡtertawa mendengar kalimat panjang atasannya. "Akan segera saya kirimkan setelah iniㅡuhukk... hhhh...hhh..."

"Dennies?"

"......"

"Kamu masih di sana?"

"....."

***

"Have he previously had an examination due his shortness of breath?"

Arfael mendesah dan menggelengkan kepalanya pelan sambil menatap pria berjas putih di hadapannya. "I found out now. Indeed several times he complained about his shortness of breath. But he said he has asthma since before," jelas Arfael kepada dokter rumah sakit tersebut.

Sang dokter nampak mengulum bibirnya dan mengetukkan tangannya di atas meja kerjanya. "The early symptoms of lung cancer are slight of shortness of breath, coughing up blood, asthma, and pain depending on which part of the lung is affected. In this case, as the cancer develops without the first treatment, it become more intense and called small cell lung cancer which spreads four times faster."

Arfael semakin menekan pelipisnya setelah mendengar penjelasan dokter tersebut. SCLC atau kanker paru-paru sel kecil yang dialami Dennies ternyata sudah memasuki stadium tiga kalau dilihat dari gejala-gejala yang sudah didapatnya. Memang biasanya pasien baru diketahui mengidap kanker ketika sudah memasuki stadium tiga atau empat. Namun, Dennies mengalami SCLC yang menyebar lebih cepat karena melibatkan sebagian besar sel-sel mikro di dalam tubuhnya. Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan X-ray untuk Dennies, tetapi Arfael masih sedikit ragu.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang