[13]

865 200 18
                                    

BATAS DI ANTARA

:::::

Bulir-bulir air hujan masih menempel di kaca jendela kamar Aleyna. Sabtu pagi, tidak kuliah, dan dingin membuat Aleyna berencana untuk pergi keluar hari ini.

"Pagi, Aleyna." Attaya menyapa sang adik yang berjalan ke dapur sambil tangannya menggelung rambut panjang hitamnya membentuk cepolan asal. Aleyna terlihat sudah rapi dengan tas selempang beludru tersampir di pundak kirinya.

Hari libur memiliki arti kalau Aleyna juga libur memasak sarapan. Maka, Attaya dengan senang hati akan menggantikan tugas tersebut. Aleyna tidak membalas sapaan Attaya saat dirinya melihat Arfael ikut duduk di sana. Seperti sebelum-sebelumnya, aturan tersirat Kim bersaudara yaitu, sarapan tidak akan dimulai sebelum semuanya berada di meja makan.

"Aleyna mau ikut main ke tempat Irish?" tawar Arfael. Biasanya kalau Arfael sudah menawarkan hal tersebut, Aleyna dengan senang hati akan mengangguk. Namun, sepetinya tawaran tersebut tidak berlaku kali ini.

Aleyna menggelengkan kepalanya. Hening saat ini di meja makan, dan Attaya pun enggan untuk memulai percakapan. Suasana dingin sehabis hujan semakin mendukung kesuraman di meja makan pagi ini.

"Aleyna," panggul Arfael membuat Aleyna menghentikan langkahnya sehabis bangkit dari meja makan. "Selalu ada alasan kenapa orang-orang memiliki rahasia, meskipun rahasia tersebut dapat menyakiti satu pihak untuk melindungi pihak lainnya," ucap Arfael walau dirinya tahu akan sia-sia saja berbicara seperti itu. Buktinya, Aleyna kembali melanjutkan langkah kakinya.

"Aleyna," panggil Arfael lagi dan berhasil membuat Aleyna bersungut. "Hari udah mendung, kamu jangan ikutan mendung. Dan jangan lupa bawa payung, ya."

Aleyna menurut dan berbalik ke ruang tengah dan mengambil salah satu payung di samping lemari televisi. Arfael dan Attaya terkekeh melihat tingkah gengsi dan menggemaskan si bungsu yang tetap menuruti perkataan kakaknya, walau dirinya mati-matian berusaha untuk tidak bersuara sedikit pun.

***

Taksi yang dinaiki Aleyna membelah jalanan Seoul. Benar saja, langit kembali meneteskan titik-titik hujan. Dulu saat Aleyna masih kecil dan tinggal di Indonesia, Arfael pernah bercerita kalau air hujan adalah titik-titik kristal yang gagal menjadi kepingan salju. Sekarang penghujung musim semi, Aleyna masih harus menunggu sekitar delapan bulan lagi untuk berjumpa dengan kepingan-kepingan salju tersebut.

"Khamsahamnida." Aleyna membayar taksi dan segera melangkahkan kakinya keluar. Dirinya berdiri sambil memandang gedung di hadapannya, membiarkan tetes hujan sedikit membahasi tubuhnya. Aleyna menarik napas pelan dan menarik sudut bibirnya untuk mengulas senyum, sebuah senyuman pertama Aleyna di hari Sabtu.

"Pagi," sapa seseorang ceria saat membukakan pintu yang baru saja diketuk Aleyna. "Ale," sambungnya lagi.

Aleyna menatap datar laki-laki di hadapannya dan di detik selanjutnya sebuah senyuman lebar tercipta. "Pagi juga, Arka."

Arka membuka pintu dengan lebar dan mengajak Aleyna untuk masuk ke dalam. Lalu pandangan laki-laki tersebut terfokus kepada rambut, pakaian, dan payung yang ada di genggaman Aleyna.

"Gimana ceritanya lo basah dengan payung di tangan lo, Ale?" tanya Arka dan berjalan memasuki kamarnya meninggalkan Aleyna di ruang tengah.

"Oh ini?" Aleyna memandang pakaiannya. "Aku terlalu senang karena mau main ke tempat kamu," ucapnya sumringah.

Arka terkekeh mendengar jawaban Aleyna. Dirinya masih bisa mendengar kalimat gadis tersebut karena flat Arka tidak kedap suara antar ruangannya.

"Nih!" Arka meletakkan handuk kecil ke atas kepala Aleyna saat dirinya kembali. "Ke sini bukannya bawa sesuatu, tapi malah buat flat gue basah," ujar Arka dan duduk di salah satu sofa.

"Maaf." Aleyna tersenyum kikuk dan mulai mengusap rambutnya dengan handuk pemberian Arka.

"Tsk!" desis Arka selanjutnya dan berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Aleyna. "Gimana mau kering kalau cepolan rambutnya nggak dibuka, Ale," sungut Arka dan merebut handuk dari tangan Aleyna.

Aleyna hanya terdiam di tempat dirinya berdiri. Arka menyampirkan handuk tadi ke bahunya, lalu dirinya melepaskan ikatan rambut Aleyna sehingga membuat rambut panjang gadis tersebut tergerai ke bawah. Hal selanjutnya yang dilakukan Arka ialah mengusapkan handuk tersebut ke surai hitam Aleyna. Lembut, yang justru membuat Aleyna berpikir apakah rambutnya benar-benar sedang dikeringi atau hanya diusap-usap oleh Arka. Rasanya itu lucu.

"Arka, piringan hitamku?" tanya Aleyna menolehkan sedikit kepalanya menatap Arka yang berdiri di sampingnya masih dengan tangan yang memegang handuk. "Aduh!" ringis Aleyna saat kepalanya sedikit terhuyung karena dorongan pelan tangan Arka.

"Sabar atuh, Neng. Gue ambilin bentar," ucap Arka dan berjalan meninggalkan ruang tengah

Aleyna tidak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum lebar. Aleyna suka, sangat suka. Bukannya duduk, Aleyna malah berjalan mengitari ruang tengah flat Arka. Tangannya gatal ingin menyentuh lukisan-lukisan di dinding, meraba bulu dream catcher yang tergantung walau Aleyna harus berjinjit untuk menggapainya, memetik senar gitar, dan akhirnya duduk di atas sofa sambil memeluk bantal dengan motif abstrak warna warni saat Arka muncul sambil membawa piringan hitam, segelas kopi, dan selimut tipis yang dikepit di antara lengannya.

"Aku bantu," tawar Aleyna yang melihat Arka kesusahan membawa barang-barang di tangannya. Laki-laki tersebut tersenyum dan mengusap pelan kepala Aleyna saat gadis tersebut mengambil alih piringan hitam. Aleyna sekarang tersenyum karena barang yang ditunggunya sudah berpindah tangan.

Arka menyerahkan selimut tipis tadi kepada Aleyna. Arka beberapa kali melihat di siaran televisi Korea Selatan kalau saat perempuan akan duduk, mereka akan memberikan selimut untuk menutupi kaki perempuan tersebut.

"Arka, selimut tipis diberikan kalau perempuannya memakai pakaian yang pendek. Aku pakai celana," kata Aleyna menjelaskan saat menerima selimut dari Arka. "Tapi nggak apa-apa. Selimutnya bisa digunakan buat mengusir dingin. Terima kasih, ya."

Arka terkekeh mendengar ucapan Aleyna. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Aleyna di pagi Sabtu ini begitu memberikan efek bahagia kepada Arka. Aleyna tidak terlihat bersungut seperti biasa kalau sudah bertemu dengan Arka, tetapi dia justru terlihat gembira dengan menampilkan dua mata bulatnya yang berbinar.

"Mau nyoba mutar itu di LP?" tanya Arka menunjuk piringan hitam di tangan Aleyna. Arka bisa melihat kalau Aleyna sangat menyukai pemberian Arka tersebut karena dirinya masih terus memegangnya.

"Banget." Aleyna mengangguk setuju dengan cepat yang lagi-lagi membuat Arka terkekeh. Arka seperti menemukan sisi baru, atau mungkin sedang melihat sifat Aleyna yang sebenarnya.

Arka bangkit dari duduknya dan membawa piringan hitam tadi ke LP player miliknya. Alunan lagu Arctic Monkeys berjudul Do I Wanna Know? kini berputar. Arka kembali ke tempat duduknya bergabung bersama Aleyna menatap jendela kaca flatnya.

Sabtu pagi Aleyna dan Arka ditemani rintik hujan dan Arctic Monkeys. Ini langkah awal Arka untuk menerobos dinding yang Aleyna bangun di antara mereka. Biarlah untuk awal mereka hanya diam tanpa bercerita.

Legal maupun tidak legal, Arka akan diam-diam menelusup ke dalam kisah itu. Apapun akan dilakukannya mulai dari strategi halus maupun brutal, kalau perlu. Inilah Arka, laki-laki egois yang ingin mencuri hati Aleyna.

Namun, mungkin akan lebih baik kalau Arka sadar keegoisan seperti itu justru tidak akan membawa keinginannya berjalan mulus begitu saja. Di dunia ini ada hal-hal yang sifatnya rahasia.

Seperti kata Arfael pagi ini, selalu ada alasan kenapa orang-orang memiliki rahasia meskipun rahasia tersebut dapat menyakiti satu pihak untuk melindungi pihak lainnya. Bisa jadi Aleyna memiliki rahasia di dunianya yang tak ingin diceritakannya kepada Arka, sehingga dinding yang Aleyna ciptakan tidak akan mudah hancur begitu saja.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang