SECANGKIR PERASAAN
:::::
"Balik?" tanya Arka sambil melirik Aleyna dari kaca spion motornya.
Arka dapat melihat Aleyna menggelengkan kepalanya pelan. Seutas senyum terulas di bibir Arka saat melihat betapa lucunya Aleyna menggelengkan kepalanya dengan helm kebesaran yang dipakainya.
"Jadi mau ke mana? Flat gue, mau? Kita baca buku, minum kopi, nonton, atau dengerin Arctic Monkeys lagi," tawar Arka.
Aleyna menganggukkan kepalanya pelan yang berhasil mengundang senyum di bibir Arka. Tak apa kalau Aleyna menjadikan flat Arka sebagai tempat favoritnya, karena Arka yakin suatu saat nanti Arka akan menjadi teman favorit Aleyna. Dan sepeda motor andalan Arka pun melaju mulus menuju tempat tinggalnya.
***
"Lo ke dapur aja, Ale. Buat minumannya sendiri, ya. Santai aja, anggap rumah sendiri," ucap Arka berlalu ke kamarnya dan meninggalkan Aleyna di ruang tengah.
Aleyna segera berjalan ke dapur Arka dan memeriksa laci dapur mencari kopi instan yang Arka simpan. Namun, Aleyna tidak menemukan apa-apa yang membuatnya memanggil Arka. "Ar, kopinya habis, ya?"
"Coba periksa di atas kulkas dekat kotak P3K!" teriak Arka dari dalam kamarnya.
Aleyna bergegas ke arah lemari pendingin dan memeriksa keranjang yang ada di atasnya. Aleyna tak juga menemukan kopi di sana, tetapi Aleyna justru menemukan obat tablet yang berhasil mengundang kerutan di dahi Aleyna.
"Ada?" Arka menghampiri Aleyna yang berdiri di depan lemari pendinginnya. Melihat sesuatu yang dipegang Aleyna, Arka langsung mengambilnya cepat. "Kayaknya habis, deh. Minum teh hangat aja, ya?"
"Arka insomnia, ya?" tanya Aleyna yang mengikuti Arka menuju ke pantry dapur. "Pantas suka kopi. Kenapa, Ar?
Arka meraih dua gelas untuk membuat teh sambil menghela napasnya. "Udah kebiasaan dari SMA. Persaingan akademik buat gue harus ekstra belajar."
Aleyna menganggukkan kepalanya pelan. Sebenarnya ada banyak yang ingin ditanyakan Aleyna kepada Arka. Aleyna ingin mengenal Arka lebih dekat, tetapi ada bagian dari dirinya yang berusaha menahan hal tersebut. Sehingga membuat Aleyna terpaksa menelan kembali pertanyaan-pertanyaannya.
"Aku bantu bawain," sahut Aleyna berniat meraih dua cangkir teh buatan Arka.
Arka menggeleng dan berjalan mendahului Aleyna ke ruang tengah. "Lo bisa ambil komik di dalam kamar gue? Ada di atas kasur," pinta Arka.
Aleyna mengangguk ragu dan berjalan ke arah kamar Arka. Arka yang memintanya, itu berarti Aleyna tidak harus merasa tak enak hati untuk masuk ke dalam kamar Arka.
Ketika masuk ke dalam kamar Arka, Aleyna membulatkan kedua matanya dan tersenyum senang. Kamar Arka begitu rapi.
Ah, bukan itu. Namun, isi kamar Arka yang membuat Aleyna menatap kagum. Kamar Arka sangat unik. Bagaimana bisa dinding yang mengelilingi ranjangnya dipenuhi banyak buku? Apa Arka membawa semua buku miliknya di Indonesia ke sini? Begitu pikir Aleyna.
Bukannya berjalan mengambil komik Arka, gadis mungil tersebut malah menghampiri rak-rak buku Arka dan menyentuhnya satu per satu.
"Arka benar-benar beda, ya," monolog Aleyna sambil tersenyum. Kedua mata bulatnya tak kunjung berhenti berbinar.
"Ehem!" Arka menahan tawanya yang melihat Aleyna tersentak kaget dan membalikkan badannya kikuk. "Lumayan loh kalau lo jual koleksi-koleksi gue itu."
"Aku nggak ada niat mau mencuri, Arka." Aleyna menatap Arka kesal.
Arka benar-benar tak bisa menahan tawanya. Dirinya berjalan menghampiri Aleyna dan mengacak surai panjang gadis tersebut. "Semenjak rambutnya jadi pirang, sikap Ale jadi ikutan garang, ya?" canda Arka sambil menundukkan wajahnya sejajar dengan wajah Aleyna.
Aleyna secara tak sadar mengerutkan bibirnya dan ikut menatap kedua mata Arka. Namun, sesuatu lain mengusik indera penglihatan gadis tersebut. Kedua mata Aleyna justru menatap kedua alis Arka yang tebal, lalu hidungnya yang mancung, dan keseluruhan wajahnya yang tegas.
Arka yang dipandang dengan tatapan polos Aleyna seperti itu memilih memundurkan kepalanya dan menyerahkan secangkir teh yang dibawanya. "Entar dingin," ucap Arka kikuk.
Aleyna mengambil cangkir tersebut dari tangan Arka dan duduk di kursi yang terletak di depan meja belajar milik laki-laki tersebut. Dia menoleh ke Arka sejenak dan kembali bersuara. "Arka, kamu penasaran nggak sama apa yang terjadi hari ini?" tanya Aleyna setelah menyeruput tehnya.
"Penasaran? Mungkin. Tapi gue nggak ada hak buat nyari tahu," jawab Arka tanpa mengalihkan tatapannya dari cangkir teh di genggamannya.
"Tembok," gumam Aleyna yang berhasil membuat Arka menatapnya. "Kalau karena yang waktu itu aku bilang membatasi diri aku ke kamu, sekarang aku mau narik kata-kata aku, Arka. Boleh?"
Arka mengangkat sebelah alisnya. Dirinya bingung dengan apa yang ada di pikiran Aleyna saat ini. Jujur, Arka memang tidak menaruh niat terlalu dalam untuk masalah hari ini. Melihat raut sendu Aleyna tadi dan melihat bagaimana Aleyna tersenyum setelah mengunjungi kamarnya ini sudah cukup bagi Arka. Melihat keadaan fisik Aleyna saja sudah membuat Arka meringis, apalagi kalau dirinya memaksa Aleyna bercerita.
"Aku mau cari tahu sesuatu, tapi aku juga butuh orang yang membatasi aku, Ar." Aleyna kini berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Arka. "Arka, mau janji sesuatu ke aku, nggak? Dulu kamu pernah bilang akan melakukan apa aja kalau aku mau bantu kamu kabur dari Kak Attaya waktu itu."
Arka masih menatap Aleyna tak paham, tetapi yang ditatap justru mengembangkan senyumnya kepada Arka. Arka mengangguk ragu dan melihat kedua mata Aleyna berbinar. Manik cokelat yang membuat Arka menahan dirinya untuk tidak menatap lama kedua mata tersebut. Perasaannya semakin tak karuan dan jantungnya semakin terasa berdetak cepat.
"Janji apa?" tanya Arka pada akhirnya.
"Janji untuk selalu menahan aku kalau aku udah bertindak di luar akal sehat."
"Maksud lo? Lo jangan buat gue takut, Ale," ucap arka mengerutkan dahinya menatap Aleyna.
Aleyna menggelengkan kepalanya dan kembali memandang Arka. "Seperti tadi, Ar. Kamu narik tangan aku ketika aku hampir aja berniat melangkah kembali ke belakang."
Arka benar-benar tidak paham dengan maksud Aleyna. Bisakah Aleyna tidak menggunakan bahasa kiasan seperti itu? Mereka sedang bercakap, bukan saling melemparkan sajak.
"Dennies, Ar!" ucap Aleyna akhirnya sedikit menjelaskan.
Arka langsung membuka mulutnya, menunjukkan reaksi mengerti setelah menangkap kalimat Aleyna. Lalu, dilihatnya Aleyna mengangkat jari kelingkingnya ke hadapan Arka.
"Arka, aku bukan anak SMA lagi. Aku paham dengan maksud kamu yang berusaha kenal sama aku selama ini. Jadi, bisa nggak kamu berjanji untuk buat aku punya maksud yang sama kayak kamu?" tanya Aleyna sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
Arka memandang sejekan Aleyna, berusaha memahami tatapan gadis di hadapannya ini. Kemudian dengan sedikit gugup, Arka menautkan jari kelingking mereka berdua. Sekarang, Arka benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya.
Kalau Aleyna paham dengan maksud Arka selama ini yang berusaha mendekatinya, berarti Arka tak perlu sembunyi-sembunyi lagi menahan perasaannya.
Kalau Aleyna meminta Arka untuk membuat gadis itu memiliki maksud yang sama sepertinya, berarti Arka tak perlu takut untuk meraih Aleyna.
Karena maksud Arka selama ini mendekati Aleyna adalah karena dirinya jatuh kepada gadis tersebut. Dan sesuai keinginan Aleyna, Arka akan membuat Aleyna balik jatuh kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA
Художественная прозаAda satu masa ketika Aleyna merasa hatinya sedang bermain-main dengannya. Mengalami perpisahan dan menorehkan kenangan tak terlupakan dalam satu waktu, membuat Aleyna percaya bahwa menjadi setia untuk menunggu adalah takdir semesta untuknya. Lalu, a...