[16]

853 183 15
                                    

BUKAN SEKADAR TOPIK MALAM

:::::

Malam musim semi tidak begitu terasa dingin lagi karena bias-bias musim panas sudah mulai menyapa Seoul. Pukul sepuluh malam waktu setempat, Arka memutuskan untuk keluar dari flat dan mengunjungi supermarket 24 jam yang terletak dua blok dari tempat tinggalnya. Sudah dua hari ini Arka terpaksa memotong jam tidurnya dan menikmati mimpi hanya tiga jam sehari. Arka harus menyelesaikan laporan kegiatan volunteer yang baru dia ikuti sebagai salah satu kegiatan selama menjalani program pertukaran pelajar. Sehingga kaleng-kaleng kopi pun kerap menemani malamnya.

Arka memasuki supermarket dan langsung menuju mesin pembuat kopi instan. Gerakan tangan Arka terhenti tatkala kedua netranya menatap seorang laki-laki yang baru saja membayar di meja kasir dan berlalu duduk di depan supermarket. Arka menarik kurva manis di bibirnya dan segera menyeduh kopi-kopinya, karena sekarang Arka memutuskan untuk membuat dua cangkir kopi instan.

"Sejak kapan lo merokok?" tanya Arka menginterupsi gerakan tangan laki-laki yang hendak mengisap rokok yang sudah dinyalakannya.

"Berengsek!" dengus laki-laki tersebut pelan dan melanjutkan kegiatannya yang terhenti karena Arka.

Arka menggelengkan kepalanya dan duduk di hadapan laki-laki tersebut. Dirinya pun menarik rokok dari bibir laki-laki itu dan menginjaknya di tanah. "Cukup hati lo aja yang sakit secara kiasan, Glor. Jangan ngerusak paru-paru lo juga," ucapnya lagi sambil menyodorkan secangkir kopi instan yang diseduhnya. "Nih! Masalah nggak akan kelar kalau lo pendam sendiri."

Glory menerima pemberian Arka dan menatap laki-laki tersebut dengan tatapan menelisik. "Udah bosan sama kenyamanan di flat lo? Biasanya jam segini lo lebih milih ngejrengin gitar daripada keluyuran," ujar Glory mencoba membuang kecanggungan di antara mereka.

Arka terkekeh pelan dan menyesap kopinya. "Kirain lo udah lupa sama kebiasaan gue, Glor."

Glory tertawa dan ikut menyesap kopinya. Laki-laki tersebut pun mengembuskan napasnya pelan dan mendongak menatap langit. Tinjuan yang dilayangkan Arka ke wajahnya beberapa minggu lalu sukses membuatnya emosi sesaat dan memilih menjauhi Arka. Tentu saja Glory kesal karena Arka ikut campur ke dalam masalah pribadinya dengan Olivia.

Arka, laki-laki tersebut sudah berteman dengan Glory sejak tahun 2014 ketika mereka dipertemukan dalam acara Olimpiade Sains Nasional. Seminggu sekamar dengan laki-laki asal Jakarta tersebut membuat Glory mengenal baik Arka dan tetap menjaga komunikasi hingga sekarang. Bahkan Glory sangat bahagia ketika Arka mendapatkan program pertukaran pelajarnya ke Seoul dan berada satu kampus bersamanya.

"Ar, lo lebih milih nakal sekarang atau telat nakal?" tanya Glory tiba-tiba yang membuat Arka menatapnnya.

Arka tersenyum hambar mendengar pertanyaan temannya. Dia tentu paham arah pembicaraan mereka malam ini dan Arka siap membagikan pemikirannya kepada Glory.

"Kalau nakal yang lo maksud dalam hal pergaulan, gue milih nggak mau jadi cowok berengsek," jawab Arka sambil jari telunjuknya menyentuh pinggiran cangkir kopi.

Glory menatap Arka setelah mendengar jawaban laki-laki tersebut. "Kenapa? Bukannya semua cowok pernah nakal atau tertarik untuk mencoba jadi nakal?"

"Oleh karena itu lo gonta-ganti nyium cewek asing dan bahkan nekat mau nyium cewek lo sendiri secara paksa? Lo menghindar buat jadi cowok yang telat nakal?" tanya Arka memberikan tohokan tajam kepada Glory. Arka tidak suka bertele-tele, jadi Arka akan membuat inti pembicaraan Glory menjadi lebih jelas.

Glory terkekeh dan menyisir rambutnya kasar ke belakang. Laki-laki tersebut pun mendengus pelan. "Young blood, Ar. C'mon! Kita lagi di usia yang matang-matangnya buat mengeksplor hal-hal baru."

"Main lo belum jauh, Glor! Berlandaskan prinsip dari mana pemikiran lo?" balas Arka tersenyum sarkastik. "Itu kalau prinsip hidup lo jadi cowok berengsek. Justru di usia yang kata lo matang ini, harusnya pemikiran lo juga matang. Hidup nakal dalam arti pergaulan antar teman sebaya seperti ngebolos, ngebokep, ngegame sampai lupa waktu itu emang jadi part of your teenager, walau kadang beberapa nggak ada manfaatnya. Tapi kalau nakal yang lo maksud dengan main cewek, mabuk, ngerokok, terus nanti tobat karena udah nyoba? Aduh, tolonglah! Itu namanya berengsek, ya berengsek aja. Jangan cari alasan dengan nyebut-nyebut nakal sebelum telat nakal."

Glory kembali menghela napasnya. Dua tahun tinggal di Seoul dan mencicipi gaya pergaulan beberapa remajanya membuat Glory terkadang tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Bukan maksud Glory menyebut remaja Seoul memiliki budaya yang buruk. Namun, ibarat ketika orang Eropa yang terbiasa tidak melepas sepatunya saat memasuki rumah bahkan kamar tidurnya, bertemu dengan orang Asia yang memiliki budaya membuka sepatu saat memasuki rumah, lalu si orang Asia sedang berada di Eropa. Apa yang akan dilakukannya? Biasanya pendatang akan mengikuti budaya di tempat dirinya berada. Layaknya pepatah yang mengatakan, dimana kaki berpijak, di sana langit dijunjung.

"Kayaknya lo salah nyaring, Glor," ucap Arka sambil memejamkan matanya dan membukanya lagi. "Lo keliru menyaring hal-hal apa aja yang harus atau tidak harus diikuti dalam melewati fase culture shock ketika menetap di negeri orang. Kissing udah jadi makanan anak muda yang pacaran, seenggaknya mereka pernah ciuman ringan sebatas pipi. Tapi kalau udah merembes ke hal coba-coba yang lo terapkan, tentu udah nggak wajar. Ini masih Asia, masyarakatnya masih menjunjung tinggi budaya timur yang terkenal sama sopan santunnya. Dan mencium cewek secara paksa itu hal yang bisa buat orang-orang geram dan nggak segan bertindak kayak gue."

Glory terdiam menatap lamat permukaan cangkir kopinya yang tinggal seperempat. Dirinya mengembuskan napas pelan dan kembali mendengarkan pendapat Arka.

"Jangan jadiin khilaf karena nafsu sebagai alasan, Glor. Lo emangnya suka dikontrol sama nafsu? Kalau gue mah nggak mau, karena gue bos atas tubuh gue sendiri." Lagi-lagi Arka tertawa menatap Glory. "Lo udah lihat akibatnya kalau coba-coba nakal. Cewek sebaik Oliv lo sia-siain. Mikir dong!"

Glory ikut tertawa setelah mendengar ucapan Arka. Dirinya bukan menertawakan Arka atau kalimat laki-laki tersebut, tetapi dirinya menertawakan diri sendiri. Menertawakan kebodohannya yang mudah menerima budaya tanpa menyaringnya terlebih dahulu.

"Ar, kalau lo jadi gue, apa yang bakal lo lakukan?" tanya Glory dengan tatapan serius.

Arka menjilat bibir bawahnya sebelum menjawab. "Gue bakal ngaca dulu, Glor. Menelisik apa yang salah sama sikap gue. Seenggaknya kalau gue belum bisa jadi pribadi yang lebih baik, minimal gue masih paham batas-batas norma. Gue ngerti kita di negeri orang, bukan Indonesia. Tetapi bukan berarti kita lupa sama norma adat tempat asal kita," jelas Arka dan menghela panjang napasnya. Dirinya tersenyum sendiri mendengar kalimat-kalimat yang sejak tadi keluar dari bibirnya.

Glory pun menatap Arka yang kini sedang merapatkan jaket yang dipakainya. Laki-laki tersebut berdiri dari duduknya dan mengarahkan tinjunya kepada Arka. Arka tersenyum dan menyambut kepalan tangan Glory dengan mengadunya dengan kepalan tinju dirinya.

"Ar, kalau misalnya lo nggak ke Seoul, menurut lo apa yang bakal terjadi?"

Arka tampak berpikir sebentar, lalu tersenyum kecut. "Mungkin lo bakal kena tamparan dari Olivia, bukan tinjuan dari gue." Arka terkekeh pelan dan ikut berdiri di samping Glory. "Dan mungkin gue nggak akan terjebak jadi orang ketiga."

Glory menatap Arka bingung, tetapi yang ditatap hanya mengendikkan kedua bahunya dan berjalan mendahului Glory.

Terkadang memang yang dibutuhkan hanyalah duduk, mendengarkan, berbagi pikiran, sambil menikmati kopi malam. Ah! Seandainya Aleyna mau seperti itu, tentu Arka akan suka rela menemani seperti yang dilakukannya bersama Glory.

AZALEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang