DI BALIK JENDELA KACA
:::::
"Itu siapa, Kak?"
"Papanya Dennies," bisik Attaya menjawab pertanyaan Aleyna.
Mereka berdua kini berdiri tak jauh dari ruang perawatan Dennies sambil menyaksikan satu orang dokter yang sedang berbicara pada pria paruh baya, dengan Arfael di sampingnya yang nampak menerjemahkan bahasa Korea kepada pria tersebut.
Aleyna memicingkan matanya untuk melihat sosok ayah Dennies tersebut. Dennies mendapatkan darah Australia dari ayahnya, sama seperti Aleyna yang memiliki darah Korea dari sang ayah.
Dari raut wajah Arfael, bisa dilihat kalau laki-laki tersebut kelelahan. Sudah lebih dari sebulan ini Arfael seolah memiliki dua rumah—rumah sakit dan rumahnya sendiri. Paginya, Arfael akan mampir ke rumah sakit melihat keadaan Dennies, setelah itu dia harus ke kantor. Dan di malamnya, dia akan mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah sakit, lagi.
Selama itu pula, Irish selalu setia menemani Arfael. Wanita tersebut selalu mengawasi kesehatan Arfael dengan membawakannya makanan, atau sekadar mengingatkan Arfael untuk tidak melewatkan jadwal makan dan meminum vitaminnya. Hubungan mereka secara tak sadar berkembang semakin intens, entah karena sikap tanggung jawab Arfael atau karena sifat mengerti dan memahami dari Irish.
"Khamsahamnida, Seonsaengnim." Arfael nampak membungkuk ketika dokter berjalan meninggalkan mereka.
Arfael lalu mengarahkan ayah Dennies untuk duduk di bangku yang terletak di depan kamar perawatan. Aleyna dan Attaya menghampiri mereka untuk mengetahui pembicaraan dengan dokter barusan. Tentu saja mereka memiliki hak untuk mengetahui keadaan Dennies. Kim bersaudara sudah menjaga Dennies layaknya dia adalah bagian dari anggota keluarga mereka.
Arfael menatap dua adiknya yang baru datang. Pria paruh baya tadi menoleh, lalu dengan cepat Arfael segera mengenalkan mereka berdua. "Mereka adik saya. Ini Attaya dan ini Aleyna."
Attaya dan Aleyna kompak membungkukkan badan mereka sambil kembali memperkenalkan diri. Ayah Dennies menelisik mereka sebentar, lalu menolehkan kepalanya pada Arfael. "Saya benar-benar meminta maaf dan berterima kasih sekali lagi. Mungkin akan selalu berterima kasih," ucapnya.
Aleyna dan Attaya kompak saling berpandangan mendengar perkataan ayah Dennies. Attaya pun mengambil inisiatif untuk bertanya. "Maaf, ini ada apa?"
Helaan napas terdengar dari bibir Arfael. Laki-laki tersebut menunduk sejenak, lalu menatap saudara laki-lakinya tersebut. "Orangtua Dennies ingin membawanya balik ke Indonesia. Dennies juga sudah memberikan persetujuan saat dia masih sadar sebelum pemeriksaan tadi."
"Sangat lucu!" Tiba-tiba Aleyna bersuara dengan gumaman yang masih dapat didengar oleh mereka. "Kenapa sekarang?" tanyanya lagi dan menatap ayah Dennies.
Attaya segera merangkul Aleyna dengan tangan kanannya, berusaha menenangkan gadis tersebut. Dia tahu Aleyna sangat terkejut dan tidak habis pikir dengan keputusan tiba-tiba seperti ini, karena Attaya pun juga sama. Tinggal beberapa prosedur lagi dan Dennies bisa mendapatkan penanganan yang tepat. Laki-laki tak berdaya itu seharusnya menjalani radioterapi mulai besok, sesuai jadwal dokter yang sudah didiskusikan sebelumnya.
"Apa kami boleh mengetahui alasannya, Sir?" Attaya kembali angkat bicara. "Kami bukan bermaksud ingin ikut campur, tapi sejak awal Dennies sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami di sini."
Arfael mendesah pelan mendengar Attaya bertanya. Dia tentu saja tahu jawabannya, tetapi keberadaan Aleyna membuat Arfael khawatir jawaban yang diberikan justru membuat emosi gadis tersebut tersulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA
General FictionAda satu masa ketika Aleyna merasa hatinya sedang bermain-main dengannya. Mengalami perpisahan dan menorehkan kenangan tak terlupakan dalam satu waktu, membuat Aleyna percaya bahwa menjadi setia untuk menunggu adalah takdir semesta untuknya. Lalu, a...