Bab 26 : Buku Hitam

174 23 10
                                    

"Cinta aku ke dia itu kayak ngejaga mutiara di antara kerang yang kosong. Sayang banget."

Valerie melipatkan kedua telapak tangannya kemudian menghela napas tanpa suara. Menelan pahit-pahit pernyataan jujur Adrian. Hei, ini yang dia tanyakan bukan? Kenapa dia harus sedih? Seharusnya Valerie tahu resiko bertanya seperti itu pada Adrian.

"Pasti dia berarti banget buat kamu, ya?" Valerie tersenyum masam.

"Iya, emang." Adrian menjawab. Menggulung mie-nya menggunakan garpu lantas memakannya sekali lahap. "Tapi kamu..."

Adrian mengunyah dan menelan makanannya terlebih dahulu, kedua manik matanya masih menatap Valerie dengan makna yang sulit dijelaskan.

"Apa?" Valerie bertanya.

"Kamu buat aku ngerti kalau cinta gak bisa diukur dengan nilai." Jawab Adrian jujur.

Valerie terkesiap pelan. Ditatapnya Adrian dengan tanda tanya besar.

"Kamu tahu mutiara? Mahal banget, 'kan? Ya, menurutku Shanin seperti itu. Karena dia mahal, aku mikir, aku harus ngejaga dia sepenuh hati. Gimana pun caranya. Karena orang kayak dia susah didapetin," Adrian terkekeh pelan. Kembali ia melahap makanannya dengan lahap.

"Tapi sejak kenal kamu, aku tarik lagi omongan aku. Sekarang aku ngerti, bahwa cinta itu gak ada tandingannya. Tidak ada harganya. Karena aku tahu, kalau cinta itu punya makna tersendiri bagi pemilik masing-masing hati."

Valerie mengulum senyum. Kata-kata Adrian terdengar gombal, namun di lihat dari sisi lain, juga terasa meyakinkan.

"Kamu merubah pikiran aku tentang standar kecantikan wanita. Entah sejak kapan, apa yang ada di diri kamu itu menarik buat aku. Apa yang kamu lakukan, apa yang kamu kerjakan, apa yang kamu tatap. Semuanya menarik di mata aku."

"Adrian, kamu gombalnya keterlaluan!"

Adrian menggeleng keras. "Jangan anggap ini gombal. Emangnya muka aku kelihatan lagi bercanda?"

Valerie menggeleng, "Ya, enggak."

"Val, aku serius." Adrian tersenyum samar, diraihnya tangan Valerie. Ditatapnya kedua manik mata gadis itu lamat-lamat. "Aku sayang kamu."

Jantung Valerie berdegup kencang. Dapat ia rasakan bahwa pipinya bersemu merah sekarang. Mungkinkah Adrian melihat hal itu?

Kembali, kata-kata Kak Lia terngiang-ngiang di kepalanya. Tentang bagaimana hubungan Adrian dan Shanin sebenarnya, juga tentang masa lalu Adrian yang tak pernah ia ketahui lebih banyak.

"Pada akhirnya kamu harus memilih," Valerie menatap Adrian serius, tanpa melepas kontak tangan mereka, "...bagaimana pun, yang punya hati adalah kamu. Yang merasakan nyaman adalah kamu. Kamu yang menentukan. Rasa sayang mungkin bisa dimiliki ratusan wanita di luar sana yang kamu temui, tapi  ini hati, Yan. Sebenarnya, hati kamu buat siapa?"

Adrian terdiam beberapa detik. Hatinya?

Ditatapanya mata Valerie dalam. Gurat terluka tergores jelas di mata gadis itu. Adrian tahu, suatu saat Valerie akan bertanya hal semacam ini. Ia pun masih bingung. Sebenarnya siapa yang punya hatinya? Sebenarnya, siapa yang miliki hatinya?

"Val, aku..." Adrian membisu. Ia tak dapat menentukan.

"Adrian, aku paham." Valerie tersenyum tipis. Meski tidak benar-benar tersenyum tulus. "Aku ngerti mungkin Shanin adalah gadis pertama yang mengisi hari-hari kamu. Aku paham. Aku bakalan nunggu, sampai kamu benar-benar siap."

Valerie bangkit berdiri dari kursi meja makannya. Diambilnya mie kuah Adrian yang telah kandas. Ia tak berucap sepatah kata pun lagi, hanya terdengar suara aliran air wastafel dan bau sabun menyeruak di sekitar dapur.

Beautiful InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang