Bab 30 : Rahasia Besar (1)

200 24 0
                                    

Sudah sebulan berlalu sejak Shanin meninggal.

Allan yang dulu ceria kini menjadi seorang pendiam dan pemurung. Ia tak lagi banyak bicara dan aktif seperti dulu, bahkan nilai-nilainya di sekolah juga tidak sebagus dulu.

Papa datang menghampiri Allan yang murung. Lelaki itu cuma mencoret-coret buku fisika dihadapannya tanpa arah, sama sekali tidak niat untuk belajar.

"Kak, ayo. Kamu udah kelas dua belas. Kamu harus fokus," Papa mengusap punggung Allan.

"Ya, Pa," katanya singkat.

Allan mendesah kecil. Ia mulai memperhatikan angka-angka dan rumus di depannya. Ia harus serius, karena besok ulangan harian. Ia harus mengejar ketinggalan.

"Papa percaya kalau Shanin akan selalu hidup dalam hati kamu," suara berat papa menggema.

"Pa, cukup. Jangan sebut nama dia, aku gak bakalan bisa fokus."

"Sampai kapan pun kamu harus terima kenyataan, Nak."

Allan menghela napas lagi. Figur foto Shanin terpajang rapi pada meja belajarnya. Setiap kali Allan akan memulai sesuatu, ia ingin selalu mengingat wajah Shanin.

"Gak ada satu manusia pun yang tahu kapan seseorang bakal pergi. Dan kamu juga gak perlu merasa berasalah, karna kamu gak salah apa-apa."

Mama datang dengan baju kantor yang masih terpasang di tubuhnya. Wajah cantik menawannya itu masih tampak bersinar, meski pun terlihat sangat kelelahan.

"Allan sayang, bener kata Papa. Gimana pun juga, kamu harus terima kenyataan." Mama mengusap wajah Allan dengan sayang, sesuatu hal yang jarang ia lakukan.

"Ma, boleh nggak aku peluk Mama?" Pinta Allan parau.

Mama memeluknya tanpa berucap apa-apa. Cukup lama mereka berpelukan sampai Allan merasa mengantuk sekali.

"Anak Mama kuat," Mama mengelus kepala Allan dengan sayang. Memberi kekuatan baru.

"Makasih, Ma, Pa," kata Allan sambil tersenyum. Ia menutup bukunya kemudian mulai menguap.

Sudah seminggu ini ia cuma tidur empat jam. Itulah mengapa rasanya lelah sekali sekarang.

"Ya udah kalau kamu udah ngantuk sekarang cepet-cepet tidur," Mama kembali berucap. Membantu Allan merapikan buku-bukunya yang berserakan.

Allan menurut. Kemudian ia merapikan buku-bukunya yang bercecer dimana-mana. Setelah selesai, ia mencium pipi kedua orang tuanya kemudian mengucapkan selamat malam.

Allan duduk di tepi kasur. Ditatapnya foto Shanin yang tersenyum cerah seorang diri.

Ia mengusap foto tersebut, tak terasa air matanya kembali merembes.

"Hei, gimana keadaan kamu di sana?" Allan bertanya pada foto Shanin. Jelas-jelas ia mengerti bahwa foto itu tak akan pernah bisa menjawab, ia tahu itu. Hanya saja, Allan mencoba menetralkan perasaannya.

"Aku kangen kamu." Kembali, Allan menahan isak tangisnya.

Apa kalian pernah merasakan perasaan kehilangan dan rasa sesal teramat sangat? Mungkin itu yang dirasakan oleh Allan sekarang.

Ia menyesal terlambat mencintai Shanin.

"I hope you were here. Malam ini, kamu mau, 'kan hadir di mimpiku lagi?"

Halusinasi.

Allan tahu dengan pasti mungkin ia sudah sedikit gila. Ia sering berbicara sendiri pada foto Shanin, mengelusnya, memeluknya. Dan menangis terkadang bila terbawa perasaan. Sering kali pula Allan bermimpi Shanin ada bersamanya. Maka pernah suatu kali ia hampir menelan obat tidur agar bisa terus  bersama-sama dengan Shanin.

Beautiful InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang