Bab 17 : Pelampiasan?

164 31 5
                                    

Adrian menghela napas berat sambil menyesap sebatang rokok di belakang sekolah dalam-dalam. Setelah berdebat kecil dengan seantero kelas, dirinya 'dipaksa' untuk menjadi seorang Romeo. Astaga, dia tidak bisa berakting. Ini jujur. Dia memang tampan. Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Matanya memang jernih dan tajam. Senyumnya memang menawan. Tapi, dia bukan Romeo yang romantis.

Cast Juliet masih dipertanyakan. Banyak siswi di kelasnya berebut untuk mendapatkan posisi tersebut. Sampai-sampai Bu Vivi, guru Bahasa Indonesia mereka memukul penggaris di papan sampai patah. Saking ricuhnya kelas tersebut. Warbiasah, ya?

"Adrian," panggil seseorang dari belakang.

Lelaki itu menoleh sedetik, "Oh, kamu."

Valerie menghembuskan napas pendek. Bahkan ketika Valerie datang kemari pun, Adrian sama sekali tidak menujukkan reaksi. Cowok itu hanya melamun, menyesap rokoknya, menghembuskan asapnya, kemudian memejamkan mata.

"Kita perlu bicara," ucap Valerie serius. Menekankan kata 'kita' pada kalimatnya.

Adrian membuang puntung rokoknya yang sudah habis. "Ngomong aja."

"Di kelas, apa lo merasa tertekan karna dijadiin peran Romeo?"

Adrian berdecak, "Kamu datang kemari cuma buat nanya itu?"

Valerie meremas ujung roknya. Sebenarnya, bukan itu yang ingin dia tanyakan. Drama musikal sama sekali tidak ada masalah untuknya, Valerie mungkin bisa tetap menerima siapa pun yang akan akan menjadi peran Juliet, itu sama sekali bukan masalah. Hanya saja, hatinya masih terasa kaku bila mengingat kata-kata Kenanga tentang Adrian dan Shanin.

"Hm, iya," jawab Valerie bohong.

Adrian memeluk lututnya dengan kedua tangan sambil menatap lurus-lurus ke depan. Memperhatikan langit mendung. "Enggak. Kalau kamu bersedia jadi Julietnya, aku gak bakalan tertekan."

Valerie tersenyum kecil, "Gombal."

Adrian menatap Valerie menggoda, "Baper, hm?"

"Adrian, aku serius!" Valerie menghentakkan sebelah kakinya kesal sambil mencubit lengan Adrian dengan keras.

Adrian meringis, "Adaw, iya-iya! Sakit-sakit!"

Laki-laki tampan itu mengusap bekas cubitan Valerie yang memerah pada lengannya. Sakitnya sampai ke ubun-ubun. "Ya, sekarang memangnya kamu mau ngomongin apa?"

"Adri-."

"Eh, bentar-bentar," Adrian meronggoh ponselnya yang bergetar di saku celana.

Valerie mengatupkan bibirnya yang sempat terbuka. Kembali, ia terpaksa untuk diam dan mengurungkan niatnya untuk menanyakan suatu hal yang menganjal di hatinya.

Ekor matanya melirik ke arah Adrian yang fokus menerima telepon genggam. Kepalanya mengangguk berkali-kali, wajahnya serius, ekspresi tegang serta khawatir tercetak jelas di wajahnya yang tampan.

Adrian menelan ludah kasar. "Lo dimana sekarang?"

Valerie tetap diam. Memperhatikan gerak-gerik tubuh Adrian yang tampak gelisah. Ingin sekali dirinya menyela, namun pastilah tidak sopan.

"Oke, oke. Gue nyusul lo sekarang." Adrian mematikan sambungan telepon kemudian memasukkan benda persegi panjang itu ke dalam saku celananya kembali.

"Dari siapa?" tanya Valerie penasaran.

Adrian tersenyum simpul, menggeleng perlahan. "Temen. Ngajak ketemuan, penting banget katanya. Nanti, kita sambung lagi kapan-kapan, ya."

Ekspresi wajah Adrian terlihat santai. Ralat, pura-pura santai. Jelas sekali bahwa laki-laki itu hanya ingin membuat Valerie tenang. Salah, Adrian. Kamu justru membuat rasa penasaran Valerie semakin meningkat.

Beautiful InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang