Bab 25 : Manis

199 21 7
                                    

Di bawah sinar lampu rumah sakit yang remang-remang, koridor yang sepi tanpa suster dan dokter, dilepangkapi dengan kursi panjang yang kosong. Dua insan manusia duduk bersampingan.

Jam dinding sudah menunjukkan angka dua pagi. Suasana sepi dan sunyi meliputi mereka.

Valerie menggosok-gosok kulitnya yang menggigil. Tidak pernah ia pulang selarut ini. Mungkin satpam di rumahnya sudah melaporkan keberadaan Valerie yang misterius kepada kedua orang tuanya, mengingat ia sama sekali tidak memberikan kabar apa pun sebelum pergi.

Adrian yang duduk di samping Valerie tersenyum pelan. Kemudian dengan jantannya memberikan jaket tebalnya pada gadis itu.

Gadis itu terkesiap pelan, rona merah terlihat di kedua pipinya. "Makasih."

"Aku anterin pulang," Adrian bangkit berdiri, kemudian menarik pergelangan tangan gadis itu.

"Nanti kamu balik ke sini lagi?" Valerie mulai bertanya.

Adrian mengedikkan bahu. "Mungkin."

Valerie menunduk. Memperhatikan langkah kakinya yang dibungkus sepatu olahraga berwarna putih dengan corak hitam kesayangannya. Sementara langkah Adrian makin lebar, dengan posisi masih mengenggam tangannya dengan erat.

"Val, kamu pake jaketnya rapet-rapet, ya. Soalnya aku bawa motor." Adrian mengingatkan, memberikan helm-nya pada gadis itu.

Valerie menurut. Ia mengenakan jaket Adrian yang kebesaran dengan rapat. Menutup resleting jaket tersebut sampai ke leher.

"Ini helm-nya jangan lupa," Adrian memakaikan benda tersebut ke kepala Valerie dengan lembut.

Dalam jarak sedekat itu, jantungnya terpompa dengan cepat. Jarak antara tubuh Valerie dan Adrian benar-benar tipis. Mungkin hanya berkisar dua senti. Bahkan Valerie takut Adrian akan mendengarkan suara degupan jantungnya.

"Nah, udah selesai nih," Adrian tersenyum lalu mulai mencubit ujung hidung Valerie yang mungil. "Yuk, berangkat."

Valerie naik ke atas motor Adrian, lelaki itu mulai menghidupkan mesinnya dan keluar dari area rumah sakit.

Angin malam menerpa mereka. Memang dingin, tetapi Valerie menikmatinya. Adrian tidak mengenakan penutup tubuh apa pun kecuali seragam sekolah yang masih terpasang di tubuhnya.

"Adrian, kamu gak kedinginan?" tanyanya khawatir.

Adrian tersenyum tipis. "Enggak."

"Val," Adrian memanggilnya lirih.

"Ya?"

"Kamu ikhlas gak, seandainya aku minta tolong sesuatu sama kamu?"

Gadis itu mengernyit. Masih tak paham. "Apa?"

"Bisa peluk aku dari belakang?"

Valerie terdiam beberapa detik. Dulu, beberapa waktu lalu ketika Adrian dan dirinya baru-baru pacaran, Valerie ogah sekali memeluk cowok itu dari belakang. Kesannya mirip sama anak monyet dan induknya. Sekaligus Valerie merasa malu, karena dulu Valerie berpikir dia tak pantas untuk Adrian.

"Kalo kamu gak mau juga gak papa," kata Adrian berujar lelah. Terdengar dari suaranya yang berat.

Valerie menarik napas panjang, mulai melingkarkan kedua lengannya di lekuk pinggang dan perut Adrian. Memeluknya dari belakang. Menyenderkan kepalanya pada punggung Adrian dan mencari posisi nyaman sambil memejamkan mata.

Sungguh, Valerie bahagia.

Adrian tersenyum di sela-sela perjalanan mereka menuju kediaman Valerie.

Beautiful InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang