Bab 23 : Melepaskan

171 23 3
                                    

Raf, Shanin kritis.

Allan.

Sekujur tubuh Adrian membeku. Matanya melotot dan tak lepas dari layar ponselnya. Napasnya berubah menjadi sesak. Ia bahkan tak dapat berpikir dengan benar. Yang ada di otaknya adalah Shanin yang membutuhkannya.

"Pak!" Adrian bangkit berdiri kemudian berlari menuju Pak Andre yang sibuk mengabsen murid.

Napas Adrian memburu. Matanya mengisyaratkan ketakutan yang mendalam. "Pak..."

"Kamu kenapa Adrian?" Pak Ande menjadi agak khawatir. Melihat wajah Adrian yang ketakutan dan hampir menangis. Iya, Adrian mau menangis.

"Saya minta izin pergi ke rumah sakit boleh, ya, Pak? Saya mohon..." pinta Adrian parau. Suaranya berubah sesak. Ia benar-benar dilanda rasa takut luar biasa.

"Kenapa? Ada apa?" Pak Andre benar-benar khawatir.

Adrian menggigit bibir. Tidak mungkin ia menjawab seenaknya saja. Meski Pak Andre adalah gurunya sendiri, tetap saja menurut Adrian ini sangatlah pribadi. Mengingat dirinya adalah anak pemilik yayasan sekolah, maka Adrian harus menjaga nama baik keluarganya.

"Ayah kamu sakit? Atau ibumu?" Pak Andre bertanya kembali.

Adrian menggeleng. "Ehm, salah satu keluarga saya kritis, Pak. Tapi, keluarga jauh. Saya khawatir dia kenapa-napa."

"Benar itu? Kalau begitu, saya dan semua guru mau..."

"Jangan! Jangan, Pak!" tolak Adrian cepat. Ia tidak mau pihak guru ikut campur masalahnya.

"Kenapa?" Pak Andre mengernyit tak mengerti.

Adrian berucap satu tarikan napas. "Papa bilang..., Papa bilang ini cuma terbuka untuk keluarga dalam saja, Pak. Jadi, saya mohon maaf."

"Oh, begitu." Pak Andre mengangguk mengerti. "Ya sudah kalau begitu, nanti saja akan memberikan dispen untuk kamu."

"Terima kasih banyak, Pak." Adrian mencium tangan Pak Andre, hendak pamit pergi.

Teman-temannya tentu saja menatap Adrian heran serta curiga. Namun sudah kewajiban guru untuk tidak menceritakan masalah pribadi murid secara umum.

Adrian berlari, bahkan melewati Valerie yang sedaritadi mengamatinya. Adrian melewatinya.

Bahkan pandanan pria itu lurus ke depan, tidak mengatakan sepatah atau dua patah kata sama sekali padanya. Valerie menghela napas, mungkin dia memang bukan siapa-siapa.

Valerie menatap punggung Adrian yang menjauh. Seiring langkah Adrian pergi menjauh, rasa takut dan gelisah menghantuinya. Entah mengapa, rasa takut kehilangan itu datang. Membuatnya merasa sedih luar biasa.

Adrian, kamu tahu? Ketika kamu pergi seperti itu, hidupku kosong. Bagaikan rembulan tanpa bintang.

🍒


Adrian datang dengan terburu-buru. Larinya dua kali lipat lebih cepat ketika sampai di koridor rumah sakit. Suster-suster yang bertugas menatapnya aneh, namun tidak dipedulikan olehnya.

Adrian cuma khawatir. Gelisah. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh ketika kemarin ia membentak Shanin, ia tidak sepenuhnya berniar berkata seperti itu. Adrian hanya emosi. Emosi memikirkan masalahnya sendiri.

Beautiful InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang