Bab 18 : Kisah Mama dan Papa

188 27 4
                                    

"Adrian, Shanin siuman!" sentak Allan keras.

Adrian yang baru saja hendak membalas pesan dari Valerie terhenti. Tangannya dengan sigap memasukkan ponsel tersebut dalam saku celana seragamnya. Kakinya menghampiri ranjang Shanin. Wajah sumringah terukir di wajahnya.

"Shanin," bisik Adrian lirih.

Kedua mata Shanin berkedip-kedip. Membiasakan cahaya terik lampu yang masuk melalui kedua matanya. "Aku... dimana?"

Nuasana putih gading, selang infus yang tertancap, suster dan dokter yang berdiri di samping ranjang. Apa kamu masih perlu bertanya?

"Kamu pingsan. Muntah darah. Sekarang di rumah sakit," nada suara Allan terdengar serius dan marah.

Adrian menahan lengan Allan dan mengisyaratkan sesuatu kepadanya, "Jangan sekarang, Lan."

Shanin menghela napas. Dia tahu letak kesalahannya dimana. "Maaf."

Dokter yang sedaritadi diam mengangkat suara, "Kalau begitu, boleh saya periksa dik Shanin sebentar?"

Refleks, dua bersaudara itu mundur ke belakang. Memberikan akses suster dan dokter memeriksa keadaan Shanin sebentar.

Allan memalingkan wajah, memijat pelipisnya. Terlihat pusing pada keadaan. Adrian meraih pundak Allan yang membungkuk. Seperti ada beban berat yang memikul pundak Allan sekarang.

"Gue tahu lo sayang sama dia. Tapi bukan berarti lo bisa memaksakan dia buat selalu sehat, Lan. Inget, Shanin sakit itu emang dari dulu." Bisik Adrian pelan.

"I know, Raf. Gue ngerti. Amanah bokap dia yang nyuruh gue buat ngejagaiin dia yang bikin gue ngerasa gagal. Gue bahkan gak tahu kalo dia pingsan."

"Ehem," dokter berdehem setelah selesai memeriksa Shanin. "Kalian keluarga pasien?"

"Saya pacarnya," jawab Allan cepat.

"Mari ikut saya sebentar," ujar sang dokter dan diikuti oleh Allan di belakang kemudian keluar dari ruangan.

Pengakuan Allan secara terang-terangan di depan Adrian membuat hatinya sedikit terhenyak. Entahlah. Ia harusnya sadar, posisinya di sini adalah sebagai sahabat Shanin. Tidak lebih.

Suster yang selesai menggantikan infus dan menuliskan keadaan pasien pamit keluar ruangan yang kemudian disetujui olehnya. Tinggalah Shanin dan Adrian berdua dalam satu ruangan.

"Hai," Adrian menarik kursi samping ranjang. Menyapa wajah pucat pasi yang masih terlihat lemah. "Udah baikan?"

Shanin tersenyum tipis, "Lumayan."

Adrian merapikan anak-anak rambut Shanin yang berjatuhan. Memperlihatkan wajah gadis itu yang cantik menawan.

"Allan pasti marah sama aku."

"Nin, sehari aja jangan ngomongin Allan depan aku," batin Adrian perih. Cuma Shanin yang bisa buat Adrian sesakit ini.

Adrian tersenyum menenangkan. "Enggak lah. Marah kenapa coba? Kamu, 'kan gak salah apa-apa."

Shanin menatap pemandangan luar jendela yang mulai gelap. Sudah sore. "Aku kemarin ngotot mau sekolah sama dia. Padahal, kata Mama dan Papa aku emang belum bisa sekolah dulu karena takut penyakitnya kambuh lagi. Aku janji sama dia buat sehat terus, tapi..."

"Ssst, udah." Adrian meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Shanin.

Gadis itu mengerucut tak suka. "Ih, Adrian!"

"Kenapa kita gak main monopoli aja sekarang? Daripada ngomongin Allan, gak seru tau! Yang ada kamu tambah puyeng."

Mata Shanin berbinar cerah, "Memangnya kamu bawa monopoli?"

Beautiful InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang