Bab 17 – Bagaimana itu Mengawali dan Mengakhiri Semuanya
Tahun 2005. Axelyon Alexander berumur 10 tahun.
Rumah sakit dan segala macam bau obatnya yang menyengat. Aku duduk sendirian di salah satu kursi yang dikhususkan untuk orang-orang yang menunggu. Entah menunggu obat, menunggu nama mereka dipanggil, dan apapun yang pantas untuk ditunggu.
Sementara aku? Aku menunggu temanku atau mungkin gadis yang tidak pernah kusapa seumur hidup walaupun kami satu kelas. Dia bernama Cheryl White dan karenaku dia berakhir di rumah sakit dengan cedera di kepala. Tidak, itu bukan karena kesalahanku. Gadis itu sendiri yang melibatkan dirinya denganku.
Maksudku, di sinilah aku. Siswa nakal yang berbuat nakal seperti biasa dan gadis ini tiba-tiba saja muncul dan menghancurkan semuanya. Dia seperti orang gila yang memukulku dengan tas sekolahnya sampai membuat hidungku lecet. Aku tidak tahan dengan tingkah lakunya, jadi aku hanya mempertahankan diri. Aku mendorong gadis itu dan aku tidak sadar kalau tenagaku begitu besar hingga membuat gadis itu menambrak dinding dan cairan merah keluar dari kepalanya.
Aku terkejut saat itu. Aku kira gadis ini sedang bercanda dan pura-pura pingsan. Namun, cairan merah itu semakin banyak keluar. Aku memang pernah melihat cairan di kakiku itu saat aku terjatuh dari sepeda, tetapi aku tidak pernah melihatnya sebanyak itu.
“Apa yang telah kau lakukan?” sahut anak laki-laki yang tadi kuusili.
Seketika semua anak yang sedari tadi beramai-ramai mengelilingi kami, diam dan memperhatikanku.
Seketika dalan satu momen itu, waktu terasa berhenti. Dunia menyempit dan berubah menjadi hitam putih.
Tak lama setelahnya beberapa guru akhirnya muncul dan membawa tubuh gadis itu pergi. Salah seorang guru menarik tanganku untuk segera menyingkir dari kerumunan anak-anak. Kali ini aku tidak melawan. Karena di dalam hatiku, aku tahu aku memang pantas untuk disalahkan.
***
Seorang pria yang mengenakan jas putih panjang menghampiri salah seorang guru di sekolahku dan sepasang suami istri yang kutebak adalah kedua orang tua si gadis yang baru saja datang.
Aku tepat berada di seberang mereka, duduk di atas bangku. Mereka mendengarkan apa yang dikatakan oleh si pria berjas putih dengan serius sekali. Aku mulai bertanya-tanya apa yang sedang mereka bicarakan.
Hingga pandangan si ayah gadis itu bertemu dengan pandanganku.
Raut wajahnya berubah mengeras, mendengus, dan dia berjalan mendekatiku.
Tangannya mengepal dan sudah bersiap seakan ingin memukulku. Aku memejamkan mata, merinngis dengan hukuman yang menantiku.
…
Namun, tak ada terjadi apa-apa.
Aku perlahan membuka mataku kembali dan memandang pria tua di depanku. Alisnya menaut, bibirnya mengatup, melukiskan rasa cemas dan ketakutan. Menahan pukulan itu pastilah sangat sulit baginya. Karena aku lah orang yang telah menyakiti putrinya.
“Jauhi putriku,” katanya menggeram di tiap kata.
Kata-kata itu benar-benar menohok ke dalam diriku.
Kemudian dia mengusap wajahnya dan pergi meninggalkan istrinya yang hampir menangis melihat kejadian buruk yang hampir terjadi.
Aku menundukkan kepalaku agar wajahku tak dilihat orang saat itu. Walau akan kukatakan sejujurnya, bahwa aku yang masihlah berumur 10 tahun hanya bisa menangis menyesal. Aku ingat betapa merasa bersalahnya aku menyebabkan seseorang terluka hanya karena keegoisanku.
***
“Kenapa kau menangis?”
Terkejut kuangkat kepala, dan bertemu pandang dengan seorang anak laki-laki berkaca mata masih mengenakan seragam sekolah, dan yang baru kuingat dia adalah anak yang kujahili tadi pagi. Setelah akhirnya kejadian mengerikan terjadi, “Kau ngapain di sini?” tanyaku sedikit menuntutnya karena menemukannya di tempat semacam rumah sakit.
Anak laki-laki itu berpaling ke arah lain, “Urusan ini itu,” jawabannya terdengar terlalu dirahasiakan, kemudian dia melanjutkan, “Gadis itu akan baik-baik saja. Itu hanya cedara ringan.”
Aku mendengus dan meremas kepalaku sendiri, muak mendengar omong kosong yang dikatakannya padaku, “Aku yang mendorongnya, akulah si orang jahatnya!” bentakku tiba-tiba, hingga membuat beberapa orang menatap kami berdua, lalu mereka kembali ke aktivitas masing-masing, “Pergi sana! Jangan ganggu aku!” sahutku lagi.
Sekarang bukan waktunya nasihat sok bijakmu itu! Dari awal aku sendiri yang bodoh yang terlalu membawa permasalahan keluargaku sendiri dan melampiaskannya pada teman-teman di sekitarku. Aku muak dengan segala nasihat yang hanya berisi omong kosong sementara di lain sisi tak bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi.
Si anak laki-laki berkaca mata ini masih tetap di tempatnya berdiri, “Menurutku, orang jahat tidak harus selalu jahat. Kau punya pilihan untuk menjadi siapa yang kau inginkan,” katanya kemudian perlahan kurasa beranjak meninggalkanku.
Kedua mata iris hijauku membulat, tersentak dengan ucapan anak laki-laki ini. Aku bahkan tidak mengenalnya. Kami bukan teman. Aku hanya menargetkannya sebagai korban kejahilanku karena dia terlihat lemah dibanding anak laki-laki lainnya. Lalu tiba-tiba saja, dia menyebut kalau orang jahat bisa berubah?
Tak lama setelah itu, ayahku datang, menghadapi kedua orang tua si gadis dan aku tahu dia berusaha meminta maaf dengan segala cara. Setelah itu beliau membawaku pulang dan anak laki-laki tadi bahkan sudah pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan. Mengecewakannya, aku juga tak sempat melihat bagaimana keadaan gadis itu.
“Axel…” panggil ayahku mengajakku bicara dalam perjalanan kami di mobil.
Ayahku sedang mengemudi saat itu dan aku masih belum berbicara apa-apa sejak dia menjemputku di rumah sakit, “Kau tidak apa-apa, nak?” tanya ayahku lagi. “Kau bisa menceritakan apapun padaku. Aku tidak akan marah.”
“Ayah tidak marah?” tanyaku heran dengan suaraku yang serak.
Laki-laki tua itu terkekeh mendengar suaraku, “Ayah sebenarnya tidak suka memarahi Axel,” kata ayahku, “Ayah hanya akan memarahi Axel kalau Axel berbuat salah.”
Kugembungkan pipi merasa dipermainkan dengan perkataan orang tua ini, “Menurut ayah, aku salah?”
Ayahku tidak mengatakan apa-apa sebelumnya, kupikir beliau sedang memikirkan kata apa yang tepat untuk diucapkannya, “Apa Axel merasa bersalah melukai gadis itu?”
Aku mengangguk pelan.
“Kata dokter, gadis itu baik-baik saja. Dia hanya perlu istirahat.”
“Tapi dia belum bangun.”
Ayahku diam setelahnya. Sisa perjalanan itu kemudian berubah menjadi begitu sunyi. Sementara di dalam kepalaku masih ingat dengan jelas apa yang anak laki-laki cupu itu katakan padaku.
“Menurutku, orang jahat tidak harus selalu jahat. Kau punya pilihan untuk menjadi siapa yang kau inginkan.”
Aku mulai bertanya-tanya, apakah diriku yang sekarang ini adalah hasil dari perceraian orang tuaku yang menyebalkan. Rasa amarah yang membendung di dalam diriku, kulampiaskan pada teman-temanku, hanya untuk membuatku merasa lebih baik. Maka jika begitu, apa itu berarti aku masih mempunyai pilihan untuk mengubah diriku, dengan mengabaikan masalah pribadiku?
Pilihan untuk menjadi orang lain selain menjadi Axel?
Sesampainya mobil kami di depan rumah kami, sebelum keluar dari mobil, aku kembali berbicara dengan ayahku. “Aku mau pindah sekolah,” kataku.
Raut wajah ayahku kembali mengerut, “Axel… jika kau melakukan itu, kamu tidak akan mempunyai kesempatan minta maaf dengan gadis itu.”
“Lebih baik begini,” kataku, “Axel yang sekarang, bukan Axel yang baik, Ayah. Aku malu bertemu gadis itu.”
Dari sudut mataku, aku bisa melihat ayahku sedang menimbang keputusanku, “Ayah akan mempertimbangkannya,” Ujarnya, kemudian mengulas senyum tipis, “Tetapi, jika suatu hari nanti Axel bertemu dengan gadis itu lagi, ayah ingin kamu berkata jujur padanya dan meminta maaf dengannya, dan bantulah gadis itu ketika dia dalam masalah. Perbaiki kesalahanmu dengan menolongnya ketika dia butuh. Kau bisa melakukannya?”
Aku terdiam dengan janji itu. Jika Axel yang dulu mendengar itu, pasti akan menolaknya mentah-mentah. Kemudian aku berpikir, aku mempunyai pilihan untuk menepati janji itu. Bukan untuk ayah, bukan untuk gadis itu, tetapi untuk diriku sendiri. Lagi pula, hanya takdir yang tahu apa aku akan bertemu dengan gadis itu lagi.
Akhinya aku mengangguk sembari memantapkan hatiku dengan janji yang kubuat itu.
Ini semua salahmu, ujarku dalam hati. Mengingat wajah gadis itu yang marah padaku dan menendang kakiku.
Kau yang memulai semua ini.
Kau membuatku membuat janji itu dan merasa akhirnya peduli padamu.
Suatu hari nanti, jika kita bertemu kembali, aku akan menjadi diriku yang lebih baik.
Aku akan membuat awal yang baru ketika bertemu denganmu.
Dan itu semua adalah salahmu Cheryl.
***
Axelyon Alexander, berumur 18 tahun.
Mengumumkan mahasiswa yang lulus masuk kampus dengan menggunakan papan pengumuman sebenarnya tidak efektif menurutku. Maksudku, di sinilah aku berdiri menengok dengan susah payah, di mana orang-orang beramai-ramai melihat papan pengumuman yang besarnya hampir seperti besar papan tulis biasa dan ini baru papan yang ke pertama. Belum terhitung dengan beberapa deret papan lain di sampingnya.
Aku menghela nafas, kurasa hari ini akan terasa panjang sekali.
“Ahhh! Banyak sekali!” sahut seorang gadis yang muncul di sampingku, mengejutkanku entah dari mana.
Kalau aku melihat dari sudut pandang laki-lakiku, gadis ini cukup menarik. Dengan rambut coklat ikal, kulit seputih porselen, hidung mancung dan bentuk pipi yang agak tembem membuat penampilannya seperti kekanakan.
Ah, ini bukan berarti aku memiliki perasaan khusus untuk gadis ini. Bagaimanapun aku ini masih laki-laki normal. Kalau melihat gadis yang menurutku cantik tentu saja aku akan terpancing.
“Apa kau juga mahasiswa baru?” tanya gadis itu dengan sikapnya yang sok kenal.
Aku mengerucutkan bibir, merasa sebal mengapa tiba-tiba gadis ini mengajakku bicara. Dia bahkan tidak mengenalku, “A-aku belum tahu… aku belum melihat papan pengumuman itu,” jelasku menunjuk ke arah papan pengumuman yang sudah tenggelam dengan banyaknya orang di sana. Lalu kenapa suaraku berubah seperti remaja gugup yang baru jatuh cinta?
“Aku juga,” kata gadis itu, “Aku bisa terinjak-injak jika aku ke sana… ah, padahal aku ingin tahu sekarang!”
Aku mengusap tekuk leherku yang bahkan tidak terasa gatal atau apa, “Kita bisa menunggu,” kataku.
“Tapi mungkin itu akan lama sekali,” jawab gadis itu, “Padahal tadi aku bersama temanku, tapi kami beda jurusan… Menyebalkan sekali kalau orang sepertiku tidak mempunyai teman di sini.”
Aku mendengus dengan cara berpikir gadis konyol ini, “Kenapa kau harus mengkhawatirkan itu? Kau ini kuliah, bukan anak SMA! Akan ada lebih banyak hal yang harus kamu khawatirkan selain mencari teman!”
Gadis itu terkekeh, “Iya yah? Benar juga!”
Apa-apaan ucapannya itu? Memangnya dia anak kecil? Apa dia ingin melucu denganku?
“Ngomong-ngomong siapa namamu?” tanya gadis itu lagi.
Tubuhku menegang. Entah mengapa selama beberapa tahun ini, aku berharap kalau namaku bukan Axelyon. Aku tahu itu memang terdengar aneh. Aku selalu mengingat diriku yang bersikap jahat jika aku mendengar orang lain memanggilku Axel. Meski aku membenci nama itu, aku tidak ingin berbohong mengenai namaku sendiri. Rasanya kalau aku menghilangkan Axel itu, seolah aku tidak bisa menerima sisi lain dari diriku.
Aku menghela nafas, kurasa tak ada pilihan lain selain tetap mengungkapkan namaku itu, “Namaku Ax…”
“WAHH!!! AKU LULUS!!!” sahut seseorang tiba-tiba di antara kerumunan orang yang melihat papan pengumuman.
“…lyon.”
Gadis itu menoleh dan memandang wajahku, “Lyon? Namamu Lyon?”
Eh?
Entah bagaimana gadis ini hanya mendengar sepenggal namaku. Mungkin karena teriakan tadi, jadi gadis ini tidak mendengar dengan jelas. Aku balas memandang gadis itu dan berniat membetulkan. Namun, ketika aku mendapati kedua matanya, aku bisa melihat dua warna yang berbeda. Iris biru di mata sebelah kanan dan iris kehijauan di sebelah kiri. Mungkin orang-orang tak akan mengenali warna mata itu jika tak benar-benar memperhatikan.
Sesaat aku merasa, sedikit saja di dalam benakku yang terdalam. Hanya di depan gadis ini saja, aku tidak ingin dia memanggilku dengan nama Axel.
Rasanya ada sesuatu yang bergendang keras di dadaku, lalu selanjutnya yang kutahu, aku mengatakan, “Benar, namaku Lyon. Lyon Alexander.”
Gadis itu menunjukkan seringai manisnya dengan deretan gigi yang seputih salju, “Kalau begitu, namaku Cheryl. Cheryl White!”
Kedua mata membulat, yang benar saja, gadis cantik ini adalah Cheryl? Aku tidak pernah mengira jika dia tumbuh menjadi… seperti… kau tahu maksudku ‘kan? Gadis menyebalkan yang dulu cedera karenaku. Gadis yang dulu bertubuh pendek dan wajah tengil khasnya. Gadis yang dulu mengubah hidupku…
Sekarang ada di depan mataku dan dia terlihat…
“Berapa nomor pendaftaranmu?” tanyaku kemudian.
Kening gadis itu mengernyit, “Eh?” langsung saja dia mengeluarkan kertas kecil yang di simpannya di kantong celana, “Nomorku 098! Lyon, memangnya ada ap..-”
Tanpa mendengar suaranya lebih lanjut, segera aku berlari menuju kerumunan mahasiswa baru, dan menyelip dengan cekatan dari satu orang ke orang lainnya. Jangan salah mengira, nilai olahragaku cukup baik, jadi aku tidak akan jatuh hanya karena ini. Selain nilai olaharaga, aku tahu nilaiku yang lain cukup bagus. Bukannya berlagak sombong, tetapi aku sudah mempunyai firasat kalau aku akan lulus dan kuliah di kampus ini.
Namun, gadis itu. si Cheryl itu, aku ingin dia lulus dan kuliah di sini. Aku ingin kesempatan kali ini, aku harus bersamanya. Aku ingin mengubah pandangannya pada Axel yang dulu diingatnya.
Nomorku 110. Tidak jauh urutannya dengan punya gadis itu.
Ketika akhirnya aku berada begitu dekat untuk menengok papan pengumuman itu, mataku mulai melirik cepat pada angka 110 yang jelas sekali terpampang.
Aku lulus.
“Hey! Minggir dong!” sahut laki-laki lain mendorong bahuku.
Astaga! Kampus ini harusnya mengubah cara mereka mengumumkan calon mahasiswa baru!
Kembali aku melirik pada angka milikku dan mendongakkan mata ke urutan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Tamat) | 1
RomanceLaki-laki menjijikan itu.... Nathan? Laki-laki yang ber...ciuman... kemarin itu... NATHAN?!!!!!! *** Hari itu adalah pengalaman pertamanya untuk segala kemungkinan yang terjadi. Cheryl White baru saja memulai kuliahnya, tetapi satu persatu masa lalu...