Bab 15 - Bagaimana Jika Aku Di sini Untukmu
.
,
.
.
.
.
.
Ting...Suara seperti bel itu di waktu yang sama, membuat pintu lift terbuka lebar. Pandangan menatap lurus ke depan, di mana ada deretan pintu bercat putih dengan dinding hijau pucat yang mengelilinginya. Bibirku yang terkatup rapat, dan perasaan sesak yang belum jua menghilang. Pandanganku kemudian beralih ke kedua kakiku yang masih sanggup berdiri. Padahal jika di situasi normalnya aku mungkin saja sudah goyah dan tak sanggup berada di sini. Kuhela nafasku perlahan dan mengatakan pada diriku sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja.
Tidak. Siapa yang kubohongi. Ini tidak baik-baik saja. Aku tidak akan munafik mengenai apa yang terjadi sebenarnya kemarin.
Semuanya terasa kacau. Dengan hujan yang turun lebat sekali, dan suara ambulan yang tiada henti menggema melewati kemacetan, menuju rumah sakit terdekat.
"Cher..." lirihnya dengan segala upaya memanggil namaku, meski terbaring dengan segala selang dan alat bantu pernafasan yang kuharap membantunya bertahan.
Kurasakan beberapa kali goncangan di dalam ambulan ini sepanjang perjalanan. Setiap kalinya, selalu menghentakku bahwa ini bukan mimpi buruk. Ini nyata. Ini terlalu nyata.
Aku harus tersenyum, kataku dalam hati. Jangan bersedih di depannya, "Hey..." balasku menyapanya dan mengusap lembut rambut hitam cepaknya, "Ada apa?" tanyaku.
Rasanya butuh semenit hingga aku bisa melihat seringai lebarnya, "Kau... can...tik... ka...lau...me...na...ngis..."
Aku terkekeh, "Kau terlihat jelek kalau pingsan,"
Nathan tertawa tanpa suara.
Sementara di dalam hatiku berharap ingin sekali lagi mendengar suara tawanya lagi.
Kepalaku mendongak kemudian, menatap salah seorang paramedis mengeluarkan alat suntik yang diisinya oleh semacam cairan bening. Dia menatap ke arahku mengangguk. Aku pun membalas mengangguk.
"A...ku... ta...kut...sen...di...rian..." bisiknya sembari memejamkan matanya.
Aku mengecup lembut puncak kepalanya dan berbisik, "Aku di sini..."
Kulirik sebentar si petugas paramedis mulai menyuntikkan cairan di dalam suntikan tadi tepat ke dada Nathan yang sedang terpampang jelas karena dirobek oleh petugas. Bisa kulihat di sana ada semacam bekas luka bekas terbakar juga jahitan yang mungkin suatu pertanda bahwa ini bukan pertama kalinya Nathan mengalami hal seperti ini.
Aku bahkan tidak tahu dia sakit atau apa.
Memikirkan ini membuat kerongkonganku menyempit.
"Sa...kit...Cher..." lirihnya lagi saat merasakan suntikan itu menusuk dan menembus kulitnya.
Kuharap aku bisa menceritakannya pada kalian, betapa kuatnya Nathan meski di saat kondisinya yang seperti itu. Kuharap aku bisa menceritakan kalau dia masih bisa tersenyum padaku dan berkata bahwa dia akan baik saja.
Namun, tidak. Hari itu aku melihat kedua mata abu-abunya berkaca-kaca. Layaknya anak kecil yang tidak suka di suntik. Dia merengek padaku, "Sa...kit...se...ka..li...a...ku...mau...pu...lang...Cher...pu...lang...a...ku...ti...dak...mau di...si...ni..."
"Shhh... tidak apa-apa... aku di sini. Aku di sini," andai aku tahu rasa sakit yang kau rasakan itu, bisikku dalam hati.
Pasti rasanya sakit, ya? Maafkan aku, aku tidak tahu. Aku tidak tahu kalau sesakit ini.
Maaf, aku tidak menyadarinya.
Melihatmu seperti ini. Melihatmu tak berdaya. Melihatmu yang kesakitan. Melihatmu yang berada di dalam kondisi yang paling lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Tamat) | 1
RomanceLaki-laki menjijikan itu.... Nathan? Laki-laki yang ber...ciuman... kemarin itu... NATHAN?!!!!!! *** Hari itu adalah pengalaman pertamanya untuk segala kemungkinan yang terjadi. Cheryl White baru saja memulai kuliahnya, tetapi satu persatu masa lalu...