Bab 20 - Bagaimana Jantung ini Berdetak Lagi Untukmu

801 60 1
                                    

Bab 20 – Bagaimana Jantung ini Berdetak Lagi Untukmu

(Nathan)

Laura hanya menatapku dengan senyuman miring ini, dan menggeleng-geleng, “Kau bercanda?” katanya.

Bibirku mengerucut melihat reaksinya, “Memang itu yang terjadi!”

Sementara di luar sana, aku masih mendengar suara hujan dan angin yang berbisik di luar geduang rumah sakit yang suram ini. Aku iri dengan angin yang bisa membebaskan dirinya, menyelip dari satu pohon ke pohon lainnya. Menjelajah kaki langit yang tak habisnya. Mencari cahaya hangat yang sudah bersembunyi begitu lama padahal orang-orang membutuhkannya. Seperti halnya benakku yang masih mencari sosok gadis itu untuk muncul.

Keli ini gadis itu hanya terkekeh, “Masa hanya karena mendengar suaranya saja, kau langsung berpaling dariku?” ujarnya tak percaya.

“Aku memang tak bermaksud membuat kau percaya,” kataku menghela nafas, satu-satunya kehangatan yang keluar dari tubuhku, “Tetapi, dari dulu tak ada satu pun gadis yang membuatku seperti itu.”

“Bahkan aku?” tanya Laura menyenggol bahunya padaku.

Aku hanya diam. Mungkin permintaan maaf saja, bahkan tak akan cukup untuk menebus perasaan Laura yang telah dia berikan padaku. Aku selalu tahu, Laura selama ini bersabar untukku. Meski selama waktu kami bersama, hatiku menerawang, menggantungkan sebuah harapan, harapan di mana jika suatu hari, gadis itu akan muncul dan menghidupkan jantung ini.

Kali ini, pikiranku menjelajah pada ingatanku. Ingatan tentang bagaimana ceritaku ini bermula. Kapan ya? Mungkin kali ini kau harus membuka bab satu dan mengingat bagaimana kenangan ini terukir sedemikian rupa.

***

Pada akhir tahun, menjelang ujian kelulusan SMA-ku, Laura memberitahu kalau dia mendaftar satu kampus denganku.

“Kenapa kau melakukan itu?” tanyaku saat kami berdua duduk di bangku dekat taman sekolah yang sepi sehabis pulang.

Laura hanya menatapku seolah dia keheranan dengan pertanyaanku, “Aku ingin,” jawabnya begitu saja.

Aku menggeleng-geleng, “Kau itu gadis yang cerdas,” kataku, “Jangan menyia-nyiakan bakatmu untuk orang sepertiku. Kau dengar ‘kan? Aku hanya iseng saja mendaftar ke sana, bisa saja ayahku memaksaku untuk membatalkannya dan membuatku mengikuti keinginannya untuk pergi ke luar negeri.”

“Memangnya salah kalau aku ingin mengikuti ke manapun laki-laki yang kusuka kuliah?”

Astaga, Laura memang bisa keras kepala seperti ini, “Salah jika itu hanya akan membuang bakat yang sudah kau miliki,” kataku berkata lebih memelas.

“Kampus itu punya program yang bagus untuk orang sepertiku. Orang tuaku juga setuju. Kau tidak perlu khawatir soal itu.”

Aku sebenarnya sedikit merasa bersalah pada Laura saat itu. Aku bukanlah laki-laki yang pantas mendapat kebaikannya. Meski aku tahu, aku takkan bisa membalas perasaannya itu, Laura tetap bersikeras dan bahkan sampai mengikutiku mandaftar ke kampus yang sama. Andai aku bisa jujur padanya, aku tidak ingin dia berharap banyak padaku. Maksudku, tak ada seorang pun yang tahu kapan jantungku yang lemah ini takkan bisa berdetak lagi. Hingga saat itu tiba, aku hanya ingin meminimalisir korban yang akan merasa tersakiti olehku.

***

Beberapa bulan setelahnya, adalah pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampus itu.

Aku sebenarnya tidak terlalu menantikan hal itu. Toh, aku hanya ikut-ikutan mendaftar untuk mengisi kewajiban rencana pendidikan ketika ditanya. Namun, aku tahu Laura sangat bersemangat tentang hal itu. Sebagai seorang lelaki, tentu aku hanya bisa ikut menemaninya sebagai pendukung moral atau apapun sebutannya.

“Ah! Itu nomorku, Nath!” sahut Laura menunjuk ke papan pengumuman putih yang kini diramaikan oleh para calon mahasiswa yang ikut melihat, “Aku lulus! Bagaimana denganmu?”

Aku menghela nafas, dan berharap bisa berkata sejujurnya kalau sebenarnya, baik aku lulus atau tidak itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada hidupku. Meski jujur saja, aku sedikit penasaran apakah orang sepertiku bisa diterima di kampus yang bergengsi ini.

“Bagaimana? Kau sudah menemukan nomormu?” tanya Laura penasaran di sampingku dan menarik-narik sedikit kain bajuku.

“Belum. Tunggu, kurasa itu…”

“Aku lulus!!!” sahut seorang gadis yang entah dari mana munculnya, melenggang santai di depan mataku sembari memegang ponsel di dekat telinganya.

Deg!

Mendengar suaranya yang tiba-tiba entah mengapa membuatku membeku di tempatku berdiri. Waktu seolah melambat dan aku tidak bisa mendengar suara lainnya di sekitarku. Aku langsung melirik sosok gadis itu dan tak percaya dengan apa yang kulihat.

Deg… Deg… Deg…

Rambut coklatnya yang berkilau. Sosoknya yang sedikit bertambah tinggi dan mengenakan terusan berwarna biru. Dia tumbuh menjadi seorang wanita yang kutahu, terlihat lebih cantik. Berbeda dengan dirinya dulu di SMP. Sekarang, dia berada di depanku. Tersenyum sembari mendengar seseorang dari ponselnya.

Deg…Deg…Deg…

Gadis itu. Mengapa baru sekarang? Mengapa hanya dirinya? Mengapa hanya dia?

Deg… Deg… Deg…

Satu-satunya gadis yang mampu membuat jantung ini berdetak kembali.

Deg…Deg…Deg…

Aku…

Aku ingin…

Aku ingin bertemu dengannya.

Tanpa sadar, mulutku mengeluarkan suara lirihan yang bahkan hampir tak terdengar, “Cheryl…”

Mengejutkannya, gadis itu kemudian membalikkan tubuhnya, mencari suaraku yang memanggilnya.

Aku segera berpaling. Merasa bodoh karena aku lagi-lagi terbuai oleh perasaan aneh ini dan berakhir memanggil nama yang seharusnya kukubur dalam-dalam di ingatanku.

“Kukira tadi ada yang memanggilku,” kata gadis itu mengeluh dan mengerutkan wajahnya kebingungan, hingga akhirnya dia mengangkat bahu dan melanjutkan langkahnya.

Sementara aku di sini, merasa dongkol bersembunyi di balik kerumunan hanya agar Cheryl tidak menyadari kehadiranku. Aku tidak bisa memikirkan apapun lagi selain keheranan mendapati diriku sendiri bersembunyi dari sosoknya. Astaga, tadi itu memang dia. Itu Cheryl. Itu benar-benar dia. Lagi-lagi hanya karena dia, jantungku terasa sakit sekarang. Apa dia calon mahasiswa juga di sini?

Argh! Tentu saja bodoh! Dia tadi menyahut kalau dia lulus. Itu berarti, dia akan kuliah di sini.

Cheryl di sini. Dia ada di sini.

Seketika aku tersenyum dan merasakan cahaya matahari nan hangat mengenai wajahku. Ada apa denganku? Mengapa aku malah merasa senang seperti ini? Aku belum tahu kalau aku lulus atau tidak, tetapi mengetahui kalau gadis yang dulu kusukai di SMP akan kuliah di sini, membuatku senang.

Gadis yang dulu kusukai?

Dulu?

Apakah sekarang, aku masih menyukai gadis itu?

“Nathan! Itu nomormu!” sahut Laura membuatku tersentak bukan main.

Aku hampir lupa kalau Laura masih di sampingku. Untunglah dia tidak melihatku salah tingkah hanya karena kemunculan gadis itu tadi. Ingatlah Nathan! Kau itu sudah punya Laura! Mengapa kau malah langsung berpaling pada gadis masa lalu SMP-mu?! Kau mulai kehilangan kendali tadi karena memanggil namanya. Sadarlah kawan! Kau itu sudah punya Laura yang juga mencintaimu!

Sadarlah!

“Bi-bisakah kita pulang?” tanyaku pada Laura.

Kening gadis itu mengernyit dan dia menatapku dengan dua bola mata hazelnya, “Kenapa?”

“Jantungku rasanya tidak enak. Aku ingin istirahat,” jawabku dengan alasan yang harusnya paling masuk akal yang bisa kubuat sekarang.

“Oh! Kau benar, maafkan aku. Kita sudah terlalu lama di sini, ya? Oke, kita pulang sama-sama,” ucapnya yang membawa kelegaan di dalam benakku.

Aku merasa aneh sekarang. Aku sudah memutuskan untuk melupakan sosok Cheryl dan berusaha menjalin hubunganku dengan Laura sekarang. Namun, hanya mendengar suaranya saja. Mendengar suaranya saja, hampir membuatku kehilangan kendali dan memanggil namanya. Astaga, aku bahkan berpikir untuk menemuinya saat itu. Mengapa aku sampai seperti ini?

Mengapa aku ingin bertemu dengannya?

Aku bukan siapa-siapa bagi Cheryl. Gadis itu juga bukan siapa-siapa bagiku.

Kami bahkan tidak saling mengenal saat SMP. Lalu mengapa jantungku kembali berdetak aneh seperti itu? Jantungku yang payah ini tahu apa?

Jantungku ini, mengapa harus berdetak untuknya?

Astaga aku merasa aku akan gila sekarang.

***

Sejak mengetahui itu, aku tidak tahu harus apa lagi. Aku tidak bisa membicarakan apa yang kurasakan pada orang lain karena aku yakin pada akhirnya mereka tidak akan mengerti. Mana ada laki-laki yang masih menyukai gadis yang dulu disukainya saat SMP? Bukankah ini aneh? Kapan ini berakhir? Kapan jantung ini sadar kalau sudah terlalu konyol memilih seseorang yang spesial macam Cheryl?!!

“Kau mau mencoba ini?” tanya salah satu temanku memberiku semacam puntung rokok. Walau aku tahu sebenarnya bukan puntung rokok, ini adalah benda yang selalu mereka berikan padaku, jika mereka melihatku seperti orang yang frustrasi, “Ini barang Kevin, enak lho! Sekali isap, semua masalahmu wushhh hilang! Hahaha!”

Aku hanya tersenyum miris dan menggeleng. Menikmati barang seperti itu hanya akan mempersingkat jaminan hidup jantungku, “Nggak makasih,” jawabku.

Teman laki-lakiku itu langsung mengerang kecewa dan memilih untuk mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Akhirnya aku malah kembali keluyuran malam-malam dan bergaul dengan orang-orang ini. Orang-orang yang sudah kehilangan akal untuk peduli dengan kehidupan yang begitu singkat ini. Mereka sering nongkrong di pinggiran kota, jembatan-jembatan yang sepi atau sudut-sudut gelap kota ini yang tak akan pernah kau ketahui.

Aku sering bergaul dengan mereka, walau aku tahu ini bukan hal yang baik untuk menghabiskan waktu. Seperti mengobrol dengan orang-orang yang tak kau kenal. Orang-orang yang bahkan tak peduli kau hidup atau tidak. Apa yang paling penting, ketika kau bergaul dengan orang-orang seperti ini, mereka akan menuntunmu untuk perlahan mengikis masalah pribadimu dan membawamu pada kesenangan palsu.

Kutarik hoodie jaketku hingga menutupi wajahku dari dunia. Malam ini, orang-orang ini bahkan tidak bisa menghiburku barang sedikit. Atau bahkan membuatku lupa terhadap kenyataan yang sedang terjadi.

Dalam pikiranku berkecamuk, hanya mendengar suaranya saja hari itu. Hanya mendengar suaranya dan kehadirannya sudah menjungkir balikkan segala kehidupan yang kutahu.

Tuhan, perasaan ini. Tak lagi bisa berbohong.

***

Aku sudah memikirkan ini berhari-hari. Merasakan bagaimana kacanya pikiranku. Merasa bersalah karena aku memikirkan gadis lain sementara aku sudah mempunyai Laura yang sudah masuk dalam rencana hidupku dan menjadi tunanganku atau bahkan pasangan hidup. Aku ingin membenci jantung ini yang sudah menuntunku menemukan Cheryl.

Astaga tenangkan dirimu, bung.

Ini hari pertamamu kuliah. Jangan berpikiran seperti laki-laki yang tidak bisa menahan diri. Kau itu Nathan! Demi Tuhan, hidupmu sudah kacau, jangan tega kau melibatkan gadis itu! Pagi ini kau berjanji akan menemui Laura. Hanya pertemuan biasa. Jangan sampai kau kacau dan bertingkah aneh.

Aku berusaha berjalan dengan tenang. Menyusuri lorong kampus yang kini sedikitnya bercahaya karena mentari pagi meyelip di antara tiang dan jendela. Hari itu hanya hanya hari biasa. Hanya sekumpulan mahasiswa yang saling bercanda dan mengobrol di tepi jalan lorong ini. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan menenteng tas dan tak perduli dengan sekitar. Kemudian hanya suasana kampus yang ramai.

Namun, sekali lagi. Hari yang terlalu biasa ini, diwarnai lagi olehnya.

Bukkkk!!!

“A-aku minta maaf,” sahut gadis yang tanpa sengaja tertabrak tubuhku.

Aku hampir ingin meminta maaf juga, sampai aku sadar siapa gadis yang sudah kutabrak. Rambut coklatnya yang nampak bercahaya dengan sinar pagi. Harum seperti baru dikeramas dengan khas aroma samponya. Sosoknya yang bertubuh pendek, tetapi aku tahu dia sudah tumbuh lebih cantik dan feminim.

Deg… Deg… Deg…

Ah, benar juga. Aku juga merindukan kedua matanya. Aku ingin melihat dua warna itu sekali lagi dan bertanya-tanya apa yang gadis ini lihat dari diriku yang lemah ini.

Deg…Deg…Deg…

Astaga! Kau melakukannya lagi! Jantung ini lagi-lagi berdetak seperti ini! Tenangkan dirimu! Jangan terlihat seperti anak SMP yang baru jatuh cinta! Kau itu sudah kuliah!

“Lain kali, lihat dengan benar.” Akhirnya mulutku mengeluarkan suara setenang dan sekeren mungkin, kemudian berusaha melanjutkan langkah yang terasa berat ini.

Walaupun sebenarnya jika aku bisa memproyeksikan pikiranku maka aku akan terlihat seperti: kenapa aku mengatakan itu?!! apa aku terdengar gugup tidak ya? Astaga, ini tidak baik untuk jantungku yang lemah ini. Kenapa pula aku bisa bertemu dengan Cheryl di hari pertama kuliah ini?!! Jantungku berhentilah berdetak seperti ini!!! Aku harus terlihat keren dan tenang untuk sekarang.

Astaga, rasanya aku ingin meledak dengan semua perasaan ini.

“Kau dari mana saja?” tanya Laura kemudian menciumku, ketika aku tiba di sebuah kelas kuliah yang kosong. Tempat di mana kami berjanji akan bertemu. Tempat di mana seharusnya aku menyenangkan Laura dan memberinya semangat untuk hari pertama kuliah ini.

Namun, aku tidak sanggup.

“Kau ingin tahu?” tanyaku ragu pada Laura.

Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

Bagaimana aku bisa jujur pada gadis ini? Lihat saja dia, begitu senang dengan kehadiranku.

Namun, aku tidak ingin berbohong lagi.

Kumajukan tubuhku hingga begitu dekat ke telinganya dan berbisik, “Aku berencana untuk mencampakkanmu. Maaf,” kataku dengan seluruh penyesalanku, rasa bersalahku dan semua hal yang pernah Laura berikan padaku.

Aku sungguh ingin melakukan apa saja agar Laura mengerti. Agar permintaan maaf ini bukan sekedar omong kosong.

Lalu saat itu jua, pandanganku menemukan sosok Cheryl yang berdiri di luar kelas dan menatapku terkejut. Astaga! Bagaimana dia bisa ada di sini?!!!

Kemudian detik selanjutnya, gadis itu berpaling dan memutuskan untuk pergi.

Hening…







Kok… jadi seperti ini?

***

(Nathan, kembali ke masa sekarang)

Kudengar gelak tawa Laura yang tertawa setelah mendengar ceritaku, “Jadi seperti itu?” ucapnya masih belum bisa menghilangkan suara tawanya, “Ya ampun, kau langsung salah tingkah begitu dan bahkan langsung memutuskanku? Astaga kau seperti anak-anak, Nath!”

Bibirku kembali mengerucut. Reaksi Laura sangat mirip dengan Marianne ketika dia tahu gadis yang kusukai saat SMP dulu. Entah mengapa orang-orang di sekitarku langsung menertawakanku kalau tahu aku jatuh cinta. Memang itu lucu? Maksudku ini sangat membuatku berdebar! Ini bukan dosis yang pantas untuk orang yang punya jantung payah sepertiku.

Argh!! Kenapa pula kalau orang jatuh cinta, jantung mereka harus berdetak seperti ini?!!

“Lalu setelah itu apa yang terjadi?” tanya Laura selanjutnya.

Aku memandang Laura dan masih tidak percaya dengan sikapnya padaku setelah semua yang terjadi. Setelah dengan teganya aku memutuskan hubungan kami selama tiga tahun lebih hanya untuk gadis yang dulu menjadi cinta pertamaku barang sesaat. Aku merasa seperti laki-laki yang tidak berguna, sudah membuat Laura mengejarku sampai seperti ini.

Aku mengangkat bahu dan menjawab, “Hal-hal klise seperti… takdir dan kebetulan.”

Benar, hal-hal klise seperti bagaimana aku bertemu lagi dengan Cheryl ketika kami secara kebetulan dipasangkan untuk mengerjakan tugas makalah bersama. Aku benar-benar terkejut dan merasa gugup saat itu. Namun, kukatakan pada diriku sendiri kalau kali ini aku akan menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Walaupun  sebenarnya aku berakhir mengejek gaya tulisan tangannya saat kami di kelas.

“Wah, tulisanmu jelek banget kayak anak kecil.” Seandainya aku bisa jujur padanya saat itu, aku ingin bilang kalau aku suka dengan tulisannya yang saling bersambung dan membentuk huruf-huruf yang unik hingga perlu dua kali aku membacanya.

Aku tahu gadis itu belum bisa terbiasa denganku. Maka dari itu ketika tugas makalah itu pertama kali, aku langsung mengatakan kalau aku ingin mengerjakannya sendiri. Aku tidak ingin memaksanya dan membiarkan keadaan yang memutuskan apakah Cheryl akan menerima diriku yang sekarang atau tidak.

Walaupun itu tidak berlangsung lama ketika aku melihat gadis itu berteman dengan Axel (yang kurasa mengganti namanya menjadi Lyon, entah dengan alasan apa). Aku lagi-lagi tidak bisa menahan diri dan berakhir menarik tangan Cheryl dan membawanya menjauh. Jantungku berdebar kencang saat itu. Orang-orang di kampus bahkan melihatku bagaimana aku menggenggam tangannya itu.

Jujur saja, aku merasa malu dan bodoh ketika melakukannya. Namun, ketika tanganku bertemu dengan tangan gadis itu, aku ingin sekali mengatakan kalau aku suka menggenggam tangannya. Aku suka dengan kelembutan dan kehangatan yang kurasakan. Aku hanya ingin tetap seperti ini dan berharap waktu berhenti barang sesaat.

Aku juga ingin mengatakan kalau aku suka ketika melihat Cheryl marah. Dia akan membuat pipinya menggembung dan itu terlihat lucu sekali. Rasanya aku ingin menjahilinya setiap hari. Namun, ketika malam itu, di taman dekat sungai, aku melihat Cheryl pertama kalinya menangis. Suaranya akan terdengar serak seolah sedang tercekik. Aku tidak suka melihatnya menangis, pikirku. Aku merasa seperti laki-laki yang tidak berguna jika melihat Cheryl seperti itu dan kupikir aku akan melakukan apa saja agar aku bisa melihat Cheryl tersenyum lagi.

Aku juga ingat ketika aku berusaha menenangkan gadis bernama Olivia setelah dia menyatakan perasaannya padaku di perpustakaan kampus. Biar begini, aku sebenarnya tidak tega menolak perasaan seorang gadis. Makanya aku hanya mencium pipinya agar dia tidak menangis. Namun, Cheryl melihat itu dan sekali lagi dia marah padaku.

Sejak itu, apa yang kupikirkan untuk menebusnya adalah mencium Cheryl juga. Aku tahu itu agak konyol, tetapi aku tidak pernah berani melakukannya. Aku terlalu gugup dan takut terhadap apa yang akan Cheryl pikirkan padaku.

Meski akhirnya aku mencium gadis itu. Tepat di bibir. Sementara tepat di jantungku, kurasakan degupan kencang yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Jantungku yang payah ini sudah membawaku kepada semua kenangan yang telah kulalui dengan gadis itu dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa bersyukur bahwa Tuhan telah memberiku jantung ini.

Aku bersyukur karena jantung ini membuatku bertemu dengannya. Malaikat yang menghidupkan jantung yang hampa ini. Malaikat yang bersikap kekanakan dan membuatku tertawa setiap hari. Malaikatku itu…

Malaikat yang menyelamatkan hidupku.

Mungkin ketika orang-orang mendengar cerita ini, mereka akan berpikir bahwa aku adalah laki-laki keren yang melakukan hal-hal romantis untuk gadis yang disukainya. Jika kau bertanya tentang pendapatku, aku bukanlah apa-apa. Aku hanya laki-laki yang terlahir dengan jantung yang lemah. Aku itu penakut dan pemalu. Ada banyak kesalahan di dalam diriku dan hidupku.

Namun, apa yang membuatku seperti ini adalah gadis itu. Dia adalah bagian terbaik dalam kehidupanku.

Dia yang menunjukkan sisi terbaikku. Dia yang membuatku menjadi Nathan yang sekarang.

Jika bukan karena Cheryl, aku tidak akan melakukan semua hal kerena dan romantis itu.

Kuharap suatu hari aku bisa menebus semua hal yang gadis itu berikan padaku. Untuk semua kenangan ini. Untuk semua tawa. Untuk semua senyuman.Untuk sebuah ciuman. Untuk sebuah degupan yang kuharap masih bisa bertahan lebih lama. Untuk kehadirannya dan membuatku sadar apa yang telah hilang dari diriku.

Untuk selamanya aku ingin berterima kasih padanya.

“Ah.. aku ternyata kalah deh…” sahut Laura merentangkan tangannya, sedikit meregangkan otot, “Tetapi, itulah sisi yang kusukai darimu, Nath. Untuk apapun kau selalu mengikuti hatimu. Aku iri tahu!”

Pandanganku menunduk ke bawah, “Aku minta maaf,” ucapku untuk kesekian kalinya.

Laura hanya terkekeh dan menepuk punggungku dan berkata, “Sudahlah, semuanya yang telah terjadi, sudah terjadi,” katanya, “Mau kau minta maaf berkali-kali, tidak akan mengubah kenyataan kalau kita memang tidak cocok, ya?”

Aku hanya bisa diam.

“Aku mau ke kampus dulu, ya? Aku mungkin tidak bisa sering-sering datang ke sini.” Laura kemudian mengambil tasnya.

Aku bahkan tak sanggup mengatakan “sampai jumpa”. Memutuskan hubunganmu dengan orang lain selalu saja begitu sulit. Karena bukan hanya hubungan kalian yang berubah, tetapi juga perasaan kalian masing-masing dan memaafkan apa yang sudah terjadi adalah hal yang tersulit.

Tap…Tap…Tap…

Kudengar suara langkah gadis itu menjauh. Tanganku mengepal, dan kenyataan ini begitu menghentakku sampai ke benakku yang terdalam.

“Laura,” panggilku, bermaksud menghentikan langkahnya.

Gadis itu berbalik dan menoleh, “Apa, Nath?”

Rasanya aku harus mengatakan ini. Setelah semua yang terjadi, setidaknya apa yang kurasakan pada Laura, harus menggapainya, “Perasaanku padamu tidaklah palsu,” kataku dengan semua keberanian yang kupunya, “Aku bahagia untuk semua yang kau berikan padaku. Maaf, kalau…begini akhirnya.”

Aku mengatakannya.

Aku mengatakan kata-kata ini, akhirnya. Kata-kata yang menghantuiku sejak aku berpisah dengan Laura.

“Berjanjilah, kau tidak akan membuat gadis itu menangis,” kata Laura mengulas senyuman itu, senyuman yang kutahu bukanlah senyuman palsu. Itu adalah senyuman yang sama ketika dia pertama kali memberiku nomor teleponnya, “Aku tidak menyesal dengan semua waktu yang kita habiskan bersama.”

Gadis itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar. Mataku masih mengikuti punggungnya yang kuat. Meski kali ini, aku tidak bisa menjadi orang yang akan menenangkan Laura ketika dia bersedih.

Apa yang kupikirkan? Tentu saja, Laura bersedih karenaku.

Maafkan aku. Aku sungguh minta maaf untuk semuanya.

Selamat tinggal, cinta SMA-ku.
***
Berlanjut ke Bab 21

First (Tamat) | 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang