Bab 18 - Bagaimana Jantung ini Hidup Karenamu

888 58 2
                                    

Bab 18 – Bagaimana Jantung ini Hidup Karenamu

Namaku Nathan J. Lumbert, dan aku adalah anak bungsu yang terlahir dengan jantung yang payah.

Ayahku pernah menceritakan kalau dokter menemukannya saat aku sudah berumur dua bulan sejak kelahiranku yang cukup menegangkan karena ternyata ibuku, Lily Lumbert mempunyai kelainan jantung yang sama. Itu sebenarnya hanya karena katup jantungku yang kurang sempurna untuk mendukung pertumbuhan tubuhku sehingga sebagai kesimpulan akhir si dokter ini menyarankanku agar jangan terlalu lelah berolahraga, jangan kelelahan, jangan makan yang manis-manis, dan kurasa dia juga harus menambahkan jangan jatuh cinta dalam sarannya itu. Karena kau tahu, di saat perasaanmu jatuh cinta, jantungmu berdetak lebih cepat dan lebih keras dari pada biasanya.

Namun, pertama kali aku merasa jantungku berdetak aneh adalah ketika aku SD kelas empat.

Tentu saja, berbeda dengan penampilanku yang sekarang, aku dulu sangat lemah. Tubuhku sedikit lebih pendek dari anak-anak normalnya. Aku juga mempunyai masalah penglihatan sejak aku kelas tiga, jadi di sinilah aku, kurus, lemah, berkaca mata, dan oleh karenanya kepribadianku ikut-ikutan menjadi selemah penampilanku.

Sampai si anak bernama Axel ini mulai menjadikanku sasaran.

“Hey, uang punya kamu banyak banget tuh. Bagi-bagi dong,” katanya tiba-tiba mendatangi kelasku dan meminta uang seeanaknya.

“U-uangku nggak sebanyak itu…” jawabku melirik ke arah lain, berharap ada salah satu teman sekelasku yang menolongku.

Namun, semua anak hanya memperhatikan dengan pandangan menunduk dan alis bertaut. Apa-apaan itu, kupikir. Aku tahu penampilanku memang seperti orang lemah, tetapi aku juga tidak pernah berbuat jahat pada kalian! Setidaknya hitung aku sebagai teman sekelas yang sepantasnya ditolong!

“Jangan ganggu dia!!!”  tiba-tiba si gadis kecil ini muncul, dan menendang salah satu kaki Axel.

Deg… Deg… Deg…

Entah mengapa mendengar suara gadis itu, seketika jantungku yang lemah ini mulai berdetak lebih cepat untuk pertama kalinya. Aku mendongak dan menatap gadis itu yang menggembungkan pipinya, menatap ke arah Axel yang kesakitan.

“Auwww!!!” teriak Axel melotot tajam pada si pelaku yang membuat kakinya terlihat keunguan, “Kamu ngapain sih?!!”

Oh, sial. Apa gadis ini sudah sangat bodoh sampai mau melawan Axel? Gadis yang bertubuh pendek ini, dan pipinya yang tembem itu mana bisa melawan anak sekasar Axel!

“Jangan…ganggu dia!” desisnya, menatap

Axel mendengus tertawa dan melihat kami berdua bergantian, “Memangnya si mata empat ini pacarmu, kurcaci?”

Mendengar dirinya disebut kurrcaci, gadis itu berteriak, “Namaku itu Cheryl!!!”

Lalu kau tahu hal yang terjadi selanjutnya. Tentu Axel melawan gadis itu sampai membuat sebuah tragedi yang cukup berdarah sampai membuat gadis itu di bawa ke rumah sakit. Hal yang kupikirkan tentang gadis itu hanya dia terlalu bodoh. Ketika semua anak lain tidak berani melawan Axel, dia malah tiba-tiba muncul seolah dia mampu menyelesaikan masalah.

Namun, dia lah satu-satunya yang membelaku ketika anak-anak lain berpaling dan membuat jantung ini berdetak aneh.

Kupikir aku akan mendapat serangan jantung, ternyata bukan, ya?

***

Hari itu jua aku memutuskan untuk menemui dokter spesialisku dan sekaligus menjenguk ibuku.

Aku lupa sejak kapan ibu sudah sering keluar masuk rumah sakit karena kelainan jantung yang dimilikinya. Namun, yang kutahu, ibu masih terlihat sehat jika aku menemui beliau. Meski aku berharap ibu segera keluar dari rumah sakit dan menemaniku di rumah.

“Ibu! Aku datang!” sahutku menggeser pintu yang lebih besar itu dengan sekuat tenaga.

Seperti biasa, setiap kali menjenguknya, aku bisa melihat ibuku duduk di tempat tidurnya, tepat membelakangi sinar matahari yang menyelip melalui jendela. Beliau memiliki rambut merah kecoklatan sehingga hal itu membuat beliau terlihat lebih bersinar ketika sinar itu mengenainya. Seperti malaikat.

“Nathan, gimana tadi di sekolah?” tanya beliau mengulas senyuman yang begitu lembut.

“Asyik, kok!” jawabku kemudian meloncat ke tempat tidur dan ikut berbaring di samping ibuku.

Aku berbohong. Aku tahu berbohong itu bukan perbuatan yang baik. Sejak kau kecil, para orang dewasa sering menegurmu ketika kau berbohong. Namun, untukku, aku belajar bahwa berbohong adalah salah satu cara agar tidak membuat orang lain direpotkan dan tersakiti. Meski orang itu adalah ibuku.

Wanita itu mengerucutkan bibir dan mendekapku erat, “Nathan selalu bilang begitu,” katanya, “Ayo, cerita sama Ibu. Penasaran tahu!”

Aku memutar bola mataku. Dasar ibuku yang kepo, “Tadi aku ketemu sama gadis kecil ini di sekolah,” jeda sebentar, kurasa aku tidak usah menceritakan terlalu banyak detil apalagi soal gadis itu ternyata masuk rumah sakit hanya karena menolongku. Itu terdengar agak memalukan, “Lalu Ibu tahu tidak? Jantungku terus berdetak aneh gitu! Deg! Deg! Deg! Gitu! Rasanya mau meledak buarrrr gitu!!! Kukira aku akan kena serangan jantung! Tadi aku udah ketemu sama dokter dan Ayah menemaniku, tapi katanya aku baik aja kok. Aneh, kan Bu? Jantungku kayaknya rusak ya? Aneh, kan?”

Saat itu aku tidak mengerti apa yang kurasakan. Apa yang menyebabkan jantungku yang cacat ini bmampu berdetak cepat tanpa alasan. Ibuku hanya terkekeh mendengar ceritaku. Membuatku tak bisa menahan ikut tersenyum dan berharap dengan kehadiranku mampu membuatnya sembuh.

“Nathan masih kecil sih,” kata beliau masih tertawa, “Tapi, percaya deh sama Ibu. Ibu juga pernah kayak gitu.”

“Eh??!!! Beneran? Kok bisa? Jangan-jangan jantung kita sama-sama rusak dong ya?”

Ibuku kemudian mengusap pelan rambutku yang sehitam malam dan mengecup puncaknya singkat, “Bukan sayang, “ katanya, “Jantung kita itu unik lho! Itu berarti, jantung kita tahu kalau kita sedang berada di dekat orang yang sangat spesial dan itu terjadi cuma buat satu orang saja.”

Pikiranku mulai menerawang, mengingat kembali apa yang terjadi hari ini. Kalau kuingat, jantungku ini mulai aneh ketika aku mendengar suara gadis itu untuk pertama kalinya. Aku bahkan tidak kenal siapa gadis ini. Kami tidak sekelas, dan aku bahkan agak lupa dengan namanya. Siapa ya namanya? Ceri? Buah Ceri? Umm? Siapa ya?

Aku benar-benar lupa. Tadi guru di sekolah hanya tertarik mengurus kasus gadis yang kecil yang mengalami luka di kepala karena melawan anak senakal Axel. Jadi, dengan kata lain, aku benar-benar dilupakan.

Aku juga tidak tahu apakah gadis itu baik-baik saja.

Aku bahkan tak sempat berterima kasih pada gadis itu setelah semua yang terjadi. Maksudku, kami tidak pernah satu kelas dan perlahan, aku juga tidak terlalu mengingat kejadian itu lagi. Seperti kehidupan yang tetap berjalan meski ada atau tidak adanya kehadiranku di dunia ini. Saat itu yang kutahu, kehadiranku dangatlah berharga untuk ibuku sekarang.


***

Nathan .J. Lumbert, berumur 13 tahun.

Kurasa aku bertemu lagi dengan gadis itu ketika aku memasuki SMP dan sama seperti anak laki-laki lainnya, kau mulai tertarik dengan lawan jenismu dan penasaran tentang mereka. Sekarang, aku sudah ingat dengan jelas siapa nama gadis itu, dia Cheryl Lily White. Kami bertermu saat orientasi siswa. Sayangnya ketika sekolah dimulai, aku tidak ditempatkan sekelas dengannya. Namun, tetap saja, jantung ini tak pernah berhenti berdegup aneh kala aku melihat sosoknya atau meliriknya diam-diam.

Kakakku, Marianne pernah bilang padaku, kalau aku jatuh cinta dengan gadis itu.

Tiga bulan kemudian setelah aku tahu hal itu, aku menyatakan perasaanku padanya. Meski aku tidak pernah tahu apa dia menolakku atau tidak. Namun, yang penting aku sudah mengatakannya.

“Ibu, aku datang!” sahutku mendapati ruangan itu kini diisi oleh Ibuku dan kakakku yang sudah SMA, Marianne Lumbert.

“Kenapa kau lama sekali? Sibuk sama si Cheryl itu ya???” ujar Marianne terkikik meledekku. Tuhan, mengapa kakakku ini ditakdirkan untuk tahu kalau ada gadis yang kusukai di sekolah? Apa hidupku belum cukup sial?

Dasar kakak yang menyebalkan, “Aku itu ikut sanggar teater di sekolah tahu!”

“Marianne, jangan bicara dengan adikmu seperti itu,” kata ibuku, menegur dengan suara halusnya, “Tapi, bagaimana ya? Habisnya Nathan sangat tampan setelah melepas kaca mata itu… sepertinya Ibu harus berterima kasih dengan Cheryl itu.”

Marianne tertawa terbahak-bahak sembari berdiri dan berjalan menuju pintu, “Benar ‘kan, Bu? Dia kelihatan beda banget pas SMP! Cuma gara-gara cewek pula!” katanya ketika dia sudah di dekat pintu keluar dan berkata, “Aku beli soda dulu ya, Bu!” sahutnya.

Ibuku mengangguk, “Jangan lama-lama, ya?”

Marianne mengacungkan jempolnya, “Oke!”

Ketika akhirnya Marianne pergi, aku harus merasa dongkol di sini, mengingat ibu dan kakakku sendiri sudah menertawakanku hanya karena aku jatuh cinta dengan seorang gadis. Bayangkan saja apa yang akan mereka katakan jika aku menikahi seorang gadis. Seperti mimpi buruk saja.

“Apa dia spesial?” tanya Ibuku sembari mengambil sebuah apel dari mangkuk di atas meja samping tempat tidurnya, dan mengupasnya.

Rasanya pipiku sedikit menghangat mendengar pertanyaan itu dari ibuku sendiri, “Kurasa… jantungku tidak berdetak untuk orang yang salah…” kataku sedikit mengulas senyum malu, “Tapi Bu, ketika aku menyatakan perasaanku padanya, dia menolakku. Jadi, aku mulai bertanya-tanya jika jantungku sudah salah orang…”

“Hmm… Ibu rasa, itu bisa saja salah,” katanya kemudian mengusap puncak kepalaku lembut, “Bagaimanapun kita hanya manusia. Bahkan jantungpun bisa salah orang. Namun, kau tahu? Ibu suka ketika anakku jatuh cinta. Ibu senang jika kau bisa menemukan seseorang yang mencintaimu, sebesar Ibu mencintaimu.”

Tepat setelah mengatakan itu, kudengar suara pintu dari belakang dan bisa kudengar Marianne masuk bersama sosok ayahku, Ethan Lumbert juga menjenguk ibuku. Saat itu aku ingat, keluarga kecil ini masih terasa berwarna meski sebagian besar waktu kami habiskan di rumah sakit. Memang terlihat menyedihkan, tetapi kami masih bisa menjalani hidup dan menghadapi apa yang mungkin.

Walau kurasa, kami mungkin hanya menunggu hal buruk itu terjadi.

***

Kurasa, sekali lagi, aku berusaha melupakan perasaanku saat aku kelas 2 SMP. Umurku sudah 14 tahun dan aku tidak tahu bagaimana dengan Cheryl, karena sekali lagi kami tidak ditempatkan sekelas tahun ini.

Agak mengecewakan, dan memang tahun itu, ada banyak hal yang mengecewakan terjadi. Seperti pada malam itu, ketika kami sekeluarga meminta izin secara pribadi untuk menemani Ibuku meski sudah lewat jam besuk yang seharusnya. Kurasa saat itu sudah jam 9 malam, aku dan Marianne baru saja kembali membeli beberapa roti di toko terdekat. Namun, ketika kami sudah hampir menggeser pintu dan berniat masuk ke kamar rawat ibuku seperti biasa, dari luar pintu kami mendengar suara ibu menangis.

“Tidak ada donor yang cocok untukku…” lirihnya, “Aku tidak akan bisa menjadi Ibu lagi… Tidak akan bisa…”

Kemudian terdengar suara ayahku yang berusaha menenangkan ibu, “Kita hanya perlu menunggu lebih lama, siapa tahu kalau kita bersabar sedikit lagi…”

“Ethan…” panggil ibuku, “Kau tidak mengerti… Aku tidak bisa jadi ibu lagi… Aku tidak bisa menghadiri wisuda Marianne… aku tidak bisa menemani Marianne saat dia menikah… Aku tidak bisa melihat Nathan tumbuh dewasa… atau melihat dia menikah dengan wanita yang dicintainya… aku tidak akan pernah bisa menggendong cucuku… aku tidak akan bisa menemanimu sampai tua…Ethan, aku tidak bisa lagi. Aku tidak bisa…”

“Lily… jangan begitu,” kata ayah, “Apapun yang terjadi, kau adalah istriku dan ibu dari anak-anakku. Takkan ada yang menggantikanmu, sayang. Kau akan selalu menjadi bagian keluarga ini, Lily.”

Kemudian aku mendengar suara ibu yang mengerang dan menangis sedemikian rupa. Tak pernah sekalipun dalam seumur hidupku mendengar suara tangisnya yang terdengar begitu tersiksa begitu putus asa. Hingga kurasakan kedua mataku memanas dan mengeluarkan air yang banyak sekali. Dadaku terasa sesak, dan aku membayangkan jika suatu hari aku juga akan bernasib sama seperti ibuku.

Putus asa untuk kehidupan. Putus asa untuk mengecap sedikit kebahagiaan.

Kemudian terpikir olehku, aku tidak ingin orang lain tahu tentang kecacatan yang kumiliki ini. Bahkan oleh gadis yang kusukai sekalipun. Karena aku tahu, ketika seseorang yang kau cintai sedang kesakitan, bukan hanya dia yang merasakan rasa sakit itu, tetapi juga orang-orang yang mencintainya.

***

Tak lama setelah aku lulus SMP, ibuku akhirnya meninggal pada suatu malam, ditemani oleh ayahku di rumah sakit.

Ketika jantung yang lemah ini, memutuskan untuk berhenti berdetak untuk ibuku.

Itu adalah rasa sakit yang tak tertahankan. Aku ingat, walaupun aku adalah laki-laki, aku menangis berhari-hari. Aku tidak pernah bisa membayangkan jika suatu hari aku tidak akan pernah melihat sosoknya lagi. Aku tidak bisa mengobrol dengan ibuku lagi. Aku tidak bisa…

Padahal ada banyak hal, ada banyak hal yang ingin kutunjukkan pada ibuku.

Namun, waktu begitu sempit. Waktu begitu kejam. Waktu seolah menyerah, dan menghentikan masa hidup jantung itu.

Perlahan, aku juga mengubur perasaanku pada Cheryl. Lalu ketika kami pindah rumah ke kota lain, aku merasa aku tidak akan bertemu dengannya lagi dan jantung payah ini, tak akan pernah berdetak aneh lagi. Untuk siapapun.

“Nathan! Ada yang nyariin tuh!” sahut teman sekelasku tiba-tiba.

Ketika aku hampir berumur 16 tahun dan berada di kelas satu SMA, seseorang mulai masuk ke dalam hidupku, “Siapa?” balasku bertanya.

Temanku itu hanya mengangkat bahu dan berkata, “Dia gadis dari kelas sebelah, namanya Laura Lancaster.”

Kuhela nafas dan memutuskan untuk meninggalkan tempat dudukku. Lagi-lagi seorang gadis, pikirku. Bukannya aku bermaksud sombong, tetapi jika ada gadis yang mencariku maka itu berarti aku harus menolak pernyataan cinta lainnya. Mungkin ada beberapa yang kuterima, tetapi itu tidak berlangsung lama, apalagi mengingat meski setelah sekian lama, pikiranku selalu saja tertuju pada satu orang.

Ketika aku keluar dari kelasku, aku mendapati seorang gadis yang memiliki rambut hitam bergelombang, dan senyuman yang terkatup ragu, “Nathan,” panggilnya menyadari kehadiranku.

Keningku mengernyit, “Kau Laura?”

Gadis itu mengangguk gugup, “A-aku ingin memberikanmu ini!” sahutnya memberiku selembar kertas kecil yang bertuliskan angka-angka yang kurasa adalah nomor telepon.

Keningku kembali mengernyit, “Ini… nomor telepon…”

Gadis itu terkekeh dan menggaruk belakang kepalaku, “Itu telepon rumahku, nanti hubungi aku, ya!”

“Eh?”

“Aku tahu kau sedang tidak punya pacar sekarang!” sahutnya terdengar begitu yakin, “Jadi… jadi… nanti hubungi aku ya!”

“A-anu bukan itu masalahnya…”


“Maaf, aku tidak bisa lama-lama! Aku harus kembali ke kelas!” gadis itu kemudian berlari dan membuatku melongo di tempatku berdiri, “Telepon aku!!” sahutnya kembali menoleh ke belakang.

Dalam benakku bertanya-tanya apa itu tadi dia sedang menyatakan cinta atau bukan? Dibanding itu semua dia malah memberiku nomor telepon. Dasar gadis yang aneh. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri memperhatikan kertas kecil yang tadi diberikannya. Perlahan, tangan kananku bergerak menuju dadaku dan merasakan detak jantungku berdetak dengan normal, sepert biasa.

Jadi, belum berdetak lagi ya? Kupikir.

Entah mengapa, kadang-kadang aku merindukan saat di mana jantungku berdetak aneh seperti dulu.

Bagaimana ya kabar dia sekarang?

***
Belajar mecintai seseorang kurasa di satu sisi, adalah hal yang sulit. Walau kadang di satu sisi lainnya, kau bisa mengulas senyum barang sesaat.

Aku tidak tahu alasannya, tetapi hubunganku dengan Laura bisa disebut sebagai sebuah batu loncatan yang bagus. Kami cocok untuk beberapa hal dan kami jarang bertengkar. Seolah-olah, jika ada satu hal yang mungkin membuat kami berbeda pendapat, Laura hanya akan tersenyum dan bilang bahwa dia akan mengalah untukku.

Dia begitu dewasa dan mengerti jalan pikiranku. Dia adalah gadis yang paling baik yang kutahu, maksudku dia bahkan hampir setiap hari membuatkanku bekal makan siang, walau sudah kubilang untuk tidak perlu melakukannya. Dia berkata jujur tanpa harus membuat orang lain tersakiti. Keluargaku bahkan sepertinya menerima Laura dengan baik begitu pula dengan keluarga gadis itu. Sehingga suatu malam, ayahku datang ke kamarku dan membahas mengenai apa yang akan kulakukan selanjutnya.

“Nathan, kau sibuk?” panggil ayahku dari luar pintu kamarku.

Aku saat itu sedang mengerjakan tugas sekolah, “Masuk, Yah.”

Kudengar derap langkahnya yang pelan, dan duduk di tepian tempat tidurku. Aku masih duduk membelakanginya, sembari mengerjakan tugas, “Bagaimana kabar kau dan Laura?” tanyanya langsung.

Aku mengangkat bahu, “Kami baik saja,”

Kudengar suara helaan nafas dari ayahku, “Nathan, dengar. Mungkin ini terdengar agak terlalu terburu-buru, tetapi kau tahu apa yang Ayah lakukan adalah untuk kebaikanmu… jadi…”

“Ada apa, Ayah?” ucapku lebih menuntut.

“Ayah sudah bicara dengan keluarga Lancaster, dan mereka menyetujui untuk menjodohkan kau dan Laura.”

Seketika mendengar kalimat itu, seluruh tubuhku membeku. Tanganku berhenti memegang pulpen itu dan kuberanikan diri untuk menatap ayahku, berharap dalam hati bahwa beliau sedang bercanda, “Ayah serius?”

Laki-laki tua itu hanya mengangkat bahu, “Mengapa tidak? Kau tidak punya pacar selain Laura ‘kan?”

Aku terkekeh mendengarnya, “Bukan itu maksudku,” kataku menggeleng pelan, “Kami baru kelas 2 SMA!”

“Jika kau ingin lebih resmi, kita bisa melakukannya setelah kalian lulus kuliah. Walaupun setidaknya saat itu, kusarankan jangan lama-lama juga menundanya.”

Astaga, apa yang orang tua ini pikirkan, “Ayah, kenapa kau melakukan ini…?”

Detik itu jua ayahku hanya membisu dan mengusap wajahnya. Orang tua itu kemudian menatapku kembali dengan segala keberanian yang dimilikinya, “Kesempatan untuk mendapat donor transplantasi jantung untukmu sangat kecil kemungkinannya,” jelasnya berbisik, “Ayah hanya tidak ingin itu terjadi sebelum terlambat…”

“Aku … tidak sekarat,” desisku menekankan setiap kata, “Aku hanya mempunyai jantung yang payah untuk berdetak.”

“Setidaknya lakukan ini untuk Ayah dan Ibumu,” aku tahu setiap kali beliau mengatakan itu, aku benar-benar tidak bisa melawannya lagi, “Aku dan Ibumu hanya ingin kau bahagia… pikirkan itu.”

Setelah mengatakan itu ayahku perlahan keluar dari kamar dan menutup pintu. Sementara aku termenung sendiri memperhatikan pulpen di tanganku yang terlihat lebih menarik dari apapun di dunia ini. Dalam benakku menerawang, bertanya-tanya mengapa rasanya hidupku seperti tidak memberiku kesempatan untuk memilih jalan atas keinginanku sendiri.

Aku tidak pernah menginginkan lahir dengan jantung yang cacat.

Aku tidak pernah menginginkan orang lain menentukan siapa yang berhak kucintai atau bukan.

Aku tidak pernah menginginkan orang lain kasihan dengan kondisi jantungku yang payah ini.

Aku benci melakukan ini. Aku lelah merasa hidup seperti orang sekarat yang menunggu tanggal kematian. Aku tidak sekarat, pikirku. Aku tidak sekarat sama sekali.

Aku hanya mempunyai jantung yang cacat.

Jantung yang sudah merasa hampa bertahun-tahun karena tak ada satupun membuatnya berdetak dengan kehidupan.

***

Mungkin ini adalah bagian di mana hidupku terasa membosankan. Karena sejak ayahku mengatakan rencana perjodohan itu, aku mulai sering keluar malam. Keluyuran tanpa tujuan. Termenung menatap lampu lalu lintas yang berkedip dan berubah warna. Mendongak menatap langit berbintang yang selalu terlihat sama. Mencari kebebasanku sendiri. Bertemu dengan orang-orang yang hidup atas keinginan mereka sendiri.

Mencari apa yang hilang dariku.

Padahal kupikir, baik aku mempunyai jantung yang cacat atau tidak. Aku pasti akan mati. Lalu apa bedanya dengan kehidupanku yang sekarang?

“Anak-anak lain membicarakanmu,” kata teman sekelasku pada suatu waktu ketika kami makan di kantin sekolah, Axelyon menatapku dengan alis bertaut, “Mereka bilang kau bergaul dengan…”

“Orang jahat? Mantan kriminal? Pengedar obat terlarang?” tukasku terkekeh dengan kekhawatirannya yang konyol itu.

Axel hanya melotot padaku, “Maksudku dengan orang yang kutahu tidak akan bergaul dengan orang seperti dirimu,” katanya berusaha setenang mungkin.

Axelyon Alexander. Entah takdir apa yang sedang bermain-main di antara kami. Secara kebetulan yang aku bertemu lagi dengan sosok Axel yang dulu menjahiliku. Mengejutkannya lagi, kami sekarang menjadi teman sekelas tiap tahun. Hubungan kami cukup akrab, hanya saja, kadang ada beberapa hal yang kupilih untuk kusimpan sendiri dari pada membagikannya dengan orang lain. Meski aku tahu, Axel yang ini sudah berubah dibanding dirinya yang dulu.

“Mereka tidak sejahat yang kau sangka,” jawabku memamerkan deretan gigi, “Lagi pula aku tahu aku tidak boleh mengonsumsi alkohol atau semacam obat aneh lainnya. Aku bisa jaga diri.”

Axel menghela nafas dan mengangkat kedua tangannya ke dada, “Oke, aku menyerah menanyaimu. Kau hanya akan membuatku ingin memukul wajahmu itu,” katanya kemudian menyodorkan beberapa lembar kertas hasil dari percetakan dari sebuah situa kampus yang lumayan terkenal di kota ini, “Aku berencana masuk ke kampus ini dan kurasa kau sedang tidak mempunyai rencana apapun setelah lulus SMA, jadi mungkin kita bisa mendaftar sama-sama dan lihat apa yang terjadi selanjutnya, bagaimana menurutmu?”

Padahal aku ingin mengatakan, kalau setelah SMA, ayahku berencana mengirimku keluar negeri untuk mempermudah pengobatanku dan mungkin melanjutkan pendidikan di sana. Aku membaca lembaran itu dengan seksama, dan terpikir olehku, kenapa aku tidak sedikit mengambil kesempatan ini saja? Maksudku keluar negeri itu memang terdengar keren, tetapi bukankah itu hanya akan menambah daftar “hal terakhir yang ingin kulakukan sebelum meninggal”?

Klise sekali.

Ah, sesekali memutuskan sesuatu karena keinginanku sendiri, tidak akan salah kan?

Toh, pada akhirnya semua orang punya pilihan dan aku ingin pilihanku.

Meski saat itu aku tidak tahu apa yang akan menantiku ketika aku memilih kampus itu sebagai rencana pendidikanku selanjutnya. Andai bukan, mungkin cerita ini tidak akan pernah terjadi. Namun, begitulah. Cerita ini tetap terjadi.

“Oke, aku mau ikut,” jawabku menyeringai lebar menatap kertas itu.

***

Kembali ke masa sekarang, Nathan .J. Lumbert berumur 19 tahun.

Sekarang, ini adalah bagian di mana aku masih menatap jendela rumah sakit ini. Menatap bagaimana air hujan bagai berembun, mengaburkan segala pemandangan. Membuat seluruh dunia berwarna kelabu. Sementara di dalam benakku, hanya menyebut sebuah nama. Nama yang dulu pernah kutulis berkali di buku pelajaranku. Nama yang selalu kuingat. Nama yang ingin kuukir selamanya dalam ingatan ini. Hanya namanya. Hanya dia.

Cheryl.

Hari ini dia tidak datang menjengukku lagi. Apa mungkin karena aku sudah membuatnya tertekan  ya? Aku hanya ingin dia berada di sini. Bersamaku. Menamaniku. Bahkan jika perasaanku tak terbalas sekalipun. Aku hanya ingin sosoknya hadir.

Krekkk…

Tubuhku tersentak dan langsung aku menoleh ke arah asal suara pintu yang terbuka.

Kukira Cheryl yang datang.

“Apa kau menunggu orang lain?” tanya gadis itu tersenyum geli melihat tingkahku.

Aku mengerucutkan bibir, “Tidak kok. Aku tidak menunggu siapa-siapa,” kataku, “Kau juga tidak perlu repot-repot menjengukku, Laura. Di luar sedang hujan tahu! Kau bisa sakit nanti.”

“Ya ampun, kau ini laki-laki yang baik, Nathan,” kata Laura terkekeh dan melipat tangannya di depan dada, “Mengkhawatirkanku seperti itu, padahal di dalam hatimu kau mencintai gadis lain. Menyebalkan sekali, tahu!”

Aku memilih untuk berpaling darinya dan kembali memandang jendela yang muram tanpa cahaya, “Aku akan berbicara dengan keluargamu. Aku tidak takut jika harus membuang cincin pertunangan itu. Atau mengganti harganya. Atau resiko ditendang ayahmu dari rumah.”

Pelan-pelan, gadis itu kemudian duduk di sampingku dan sedikit menyenggok bahuku, “Aku sedang tidak ingin menghakimi keputusanmu itu, oke?” katanya, “Tetapi, setidaknya beritahu apa yang membuatmu berubah pikiran? Kau itu punya kebiasaan aneh menyembunyikan sesuatu dengan pintar sekali. Kau seharusnya sadar, kalau seseorang mungkin saja akan terluka karena sikap konyolmu itu.”

Jadi, beginilah hubunganku dengan Laura sejak aku memutuskan untuk mengakhiri pertunangan aneh ini sejak beberapa bulan kala masa perkuliahan akhirnya dimulai. Kami berubah menjadi teman mengobrol yang tak pernah kusangka akan terjadi. Sejujurnya saja, aku mengira reaksi Laura akan sangat buruk setelah aku memutuskan pertunangan kami.

Namun, begitulah dia. Sikap dewasanya itu, tidak akan membuat Laura bersikap jauh dari kata normal. Dia hanya menghela nafas dan bertanya, “siapa?” langsung begitu saja. Seolah dia langsung tahu, hal yang membuatku seperti ini adalah karena seorang gadis lainnya.

“Kau mau tahu?” tanyaku sedikit dengan nada menggoda.

Laura hanya tersenyum dan memandangku lembut, “Aku perlu tahu. Setidaknya setelah kau memutuskan pertunangan kita, aku mempunyai hak untuk tahu.”

Aku hanya bisa mengulas senyum miris mendengar perkataannya. Jauh di dalam lubuk hatiku, kurasa aku bisa merasakan gadis ini pastilah merasa sangat sedih. Namun, sekali lagi kukatakan, Laura bukan gadis yang akan menangisiku. Dia kuat. Aku tahu itu. Aku sudah mengenalnya tiga tahun di masa SMA kami.

Aku menyeringai dan mengusap rambutku ke belakang kepala, “Aku…” kutarik nafas pelan dan kembali melanjutkan, “Aku hanya mendengar suaranya dan jantungku yang payah ini kembali berdetak dengan kehidupan!”

***

(Sebenarnya masih ada sih lanjutan kisah Nathan ini, tapi kurasa potong di sini dulu deh, ntar di Bab selanjutnya aja hehe. Tapi bukan di Bab 19 yeee! Di Bab di mana gitu… hehe)

Voment apabila pantas 😊

First (Tamat) | 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang