Bab 22 – Bagaimana Jika Ini Memang Keinginanku
(Cheryl)
Sudah berapa hari ini?
Kuliah. Ke kost. Kuliah. Ke kafe. Ke kost.
Tidur. Kuliah. Minum coklat hangat dari kafe dekat kampus. Kuliah lagi lalu pulang.
Aku tidak berniat melakukan hal lainnya selain ini. Bahkan Nalla bertanya-tanya mengapa aku tidak ke rumah sakit menjenguk Nathan. Aku hanya mengangkat bahu dan mencari alasan lagi agar tidak menemuinya.
Kubilang sibuk tugas kuliah. Kubilang aku masih tidak enak badan. Kubilang aku…tidak bisa.
Itu saja.
Aku bahkan tidak tertarik menemui Lyon sekali pun. Aku sudah tak punya muka lagi setelah pergi dari rumahnya dengan wajah menyedihkan itu.
Mungkin sudah beberapa hari berlalu. Jangan tanya apa Nathan menguhubungiku atau tidak. Tentu saja dia melakukannya. Namun, aku hampir tidak pernah membalas semua itu. Aku tidak bisa lagi.
Aku tidak ingin.
Sampai suatu hari, ada sebuah kondisi di mana aku benar-benar memutuskan untuk menemui Nathan. Hari di mana aku memaksakan diri untuk memastikan perasaanku dan untuk semua yang telah terjadi. Hari di mana, Laura datang ke kostku bersama orang yang tak kukenal.
“Cheryl, ada yang nyariin tuh!” sahut Nalla sembari menggendong kucing peliharaan kami, Cattius. Di sebuah pagi, di mana aku sedang memikirkan kalau sebentar lagi ujian akhir akan tiba, serta bagaimana aku akan menghabiskan liburan semester ke rumah orang tuaku dan beristirahat barang tiga hari atau seminggu.
“Siapa?” tanyaku keluar dari kamar, merasa malas.
“Dia bilang hanya ingin mengurus sesuatu denganmu,” jawab Nalla kemudian duduk di ruang tengah yang kosong dan memutuskan menonton televisi.
Meski masih menerawang bingung, pada siapa yang menemuiku sepagi ini, aku akhirnya tetap berjalan menuju pintu dan mendapati sosok yang berusaha kuhindari selama beberapa hari ini.
“Hai,” sapa Laura canggung, “Lama tidak bertemu.”
Kedua mataku langsung membulat, “Ma-maaf! A-aku baru ingat kalau aku a-ada urusan!... Aku mau pergi…”
Laura memelas, “Cher, ini bukan Nathan yang mengirimku kemari,” sahutnya langsung seolah bisa membaca isi pikiranku, “Aku… aku tahu ada semacam kesalah pahaman di antara kita. Aku… Aku… harap bisa memperbaikinya. Walau bukan sekarang…”
Kesalah pahaman apa? Kau tidak salah jika ingin membenciku. Aku adalah orang ke tiga yang menghancurkan hubunganmu dengan Nathan. Harusnya kau harusnya sudah menamparku atau semacamnya. Bukan berperilaku baik seperti ini padaku.
Aku tidak pantas menerima itu.
“Maaf… jangan sekarang…” kataku hendak menutup pintu.
“Ada seseorang yang ingin menemuimu,” potong Laura menghentikanku.
Keningku mengernyit, hampir ingin menebak kalau sosok Nathan yang akan muncul selanjutnya, “Maksdumu…”
Namun, pertanyaan itu segera terjawab ketika mataku menangkap sebuah mobil hitam legam yang terparkir di depan kostku. Aku tidak pernah melihat mobil semacam itu sebelumnya. Kesannya mewah dan antik. Seperti dimiliki orang kaya saja.
Lalu beberapa saat kemudian seseorang keluar dari mobil itu. Laki-laki yang mirip sekali dengan Nathan. Walau kutebak, umurnya sudah paruh baya mengenakan jas hitam. Rambutnya yang hitam capak sedikit beruban dan garis wajahnya memang tidak setegas Nathan yang masih muda. Berbeda dengan Nathan, laki-laki itu memiliki kedua mata sebiru lautan karibia. Meski satu perbedaan itu, tanpa bertanya pada Laura aku sudah bisa menebak siapa pria ini.
Dia ayah Nathan dan aku tidak tahu mengapa dia menemuiku saat ini.
***
(Nathan)
Sudah seminggu berlalu di rumah sakit yang membosankan ini. Perban bekas operasiku sudah dilepas. Diganti dengan perban baru yang lebih tipis untuk menutupi bekas jahitan di kulitku yang belum mengering. Aku sebenarnya sudah dibolehkan pulang hari itu. Hanya saja, aku masih malas dan mengulur-ulur waktu selama mungkin. Entah dengan mandi selama setengah jam lebih. Main game. Melamun menatap jendela.
Bertanya-tanya mengapa Cheryl belum menemuiku sejak hari itu.
Kuhela nafas dan memutuskan untuk mengganti pakaian atasanku dengan kaos biasa. Kemudian menunggu lagi, kabar dari Marianne kalau kepulanganku sudah dikonfirmasi secara legal.
Awas saja kalau aku sudah keluar dari sini, aku akan langsung mencari Cheryl dan menjahilinya sampai dia marah padaku dan menunjukkan wajah pipi menggembungnya itu. Dia bahkan tidak membalas pesanku dan teleponku. Aku berusaha tetap berpikir positif dan mengira gadis itu sedang sibuk kuliah atau apa.
Namun, beberapa hari ini aku khawatir. Terutama sikap Marianne ketika aku menyebut nama gadis itu.
Aku takut gadis itu tahu apa yang telah terjadi.
Krekkk…
Kaos warna merah itu masih di tanganku dan belum kukenakan hingga pintu kamar ini tiba-tiba terbuka. Aku tetap bersikap tenang dan mengira kalau Marianne atau ayahku yang datang. Sampai aku mendengar suaranya.
“Ke-ke-kenapa kau telanjang?”
Secara reflek aku segera menoleh ke arah pintu dan mendapati gadis itu. Gadis yang sudah kutunguh-tunggu selama seminggu, berdiri dengan mengerucutkan bibir dan memandang ke arah lain.
“Na…Nathan mesum!!! Arghh!!! Astaga!! Kenapa kau membuatku melihatnya?!!!” Kali ini Cheryl menutup wajahnya dengan kedua tangan dan membalikkan tubuhnya membelakangiku.
Aku terkekeh dengan kesimpulan yang dia ambil, “Apaan sih, kau ini. Aku masih pakai celana tahu!” kataku menunjuk celana hitam panjang yang masih melekat di tubuhku. Meski rasanya gadis itu tidak melihatnya.
“Argghhh!! Aku nggak mau dengar! Nathan mesum!! Nathan mesum!! Nathan mesum!!!” katanya menutup telinga.
Dasar gadis ini. Baru juga seminggu tidak menemuiku dan kalimat pertama yang diucapkannya padaku adalah kenapa aku telanjang. Asal kau tahu saja, aku benar-benar masih mengenakan celana. Aku hanya mengganti kaos atasanku dan Cheryl tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu.
Ini salahnya sendiri.
Segera aku mengenakan kaosku dan menghampiri gadis itu yang masih mengoceh tak jelas dengan menyebutku mesum dan semacamnya, “Kau ini, seminggu tidak menemuiku dan sekarang menyebutku mesum? Kau ini kejam sekali tahu!”
Aku menutup pintu dan menarik kedua tangan gadis itu yang masih menutup wajahnya.
“Apa yang kau lakukan? Aku sudah pake baju nih!” kataku tak bisa menahan tawa melihat tingkahnya yang kekanakan.
Kudapati dia masih memejamkan matanya. Belum berani untuk melihatku. Dasar dia ini, padahal aku ingin melihat kedua matanya itu. Aku merindukannya.
“Cher… buka mata kamu,” titahku selembut mungkin. Masih menahan kedua tangannya agar tidak menutupi wajahnya yang sejak lama ingin kulihat lagi.
Gadis itu menggeleng beberapa kali, “Nggak! Nggak mau!! Kamu pasti bohong! Aku akan menendangmu kalau kau macam-macam!!”
Mendengar kosa katanya itu, membuatku semakin gemas saja. Hingga kuputuskan untuk memajukan wajahku dan berbisik di telinganya, “Kalau begitu, jangan marah kalau aku melakukan ini.”
“Hah?! Apa maksud-“
Belum selesai ucapannya, aku sudah merebut bibirnya dan kembali mengusapnya dengan milikku. Dalam sepesekian detik perasaanku yang membuncah dan kulampiaskan semuanya pada ciuman ini. Gadis ini sempat ingin menyentak menjauh, tetapi aku kemudian mendekapnya dan menangkup sisi wajahnya agar tak melepas momen ini.
Aku begitu merindukannya.
Aku sangat merindukannya.
Semua tentang dirinya, membuatku gila. Membuatku ingin meraupnya lagi. Membuatku ingin memilikinya.
Merasakan lembut bibirnya ini, aku tahu ini bukan mimpi. Cheryl di sini. Ini bukan mimpi. Merasakan jantung ini berdetak lagi, membuatku semakin menginginkan momen ini.
Aku hanya ingin dia di sini.
Tidak ada yang lain.
“Na…than…henti…kan…” lirihnya pelan di sela-sela ciuman yang memabukkan ini.
Aku membuka mataku dan berhenti, “Ada apa?”
Lalu di saat itu lah aku mendapati kedua matanya yang berkaca-kaca. Momen itu berhenti. Gadis itu memalingkan wajahnya dariku dan melepas diri, menjauh dariku.
Di saat itulah aku merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa kau melakukannya?” tanya Cheryl mendesis marah, “Aku sudah bilang jangan menciumku seperti itu.”
Aku mengernyit dengan perubahan sikapnya, “Apa maksudmu? Kita sudah berciuman beberapa kali…”
“Oh, jadi menurutmu itu wajar?” balasnya melotot padaku, “Memangnya apa hubungan kita? Pacar? Teman? Atau selingkuhan?”
Aku berjalan mendekatinya, tetapi Cheryl mundur dan menjaga jarak, “Aku sudah menyatakan perasaanku padamu. Lalu memangnya kenapa?”
“Mau sampai kapan kau bersikap padaku seperti ini, Nath?”
“Cher…”
“Aku sudah mendengar tentang kau dan Laura,” ucapnya dan itu meruntuhkan seluruh duniaku, “Kau memutuskan pertunangan itu, karena aku ‘kan?”
Seluruh tubuhku tersentak dengan ucapannya barusan, “Dari mana kau mendengar itu?”
Gadis itu melipat tangannya di depan dada, “Oh! Jadi kau mau menyembunyikan ini selamanya dariku?”
“Bukan itu maksudku, Cher,” geramku, “Aku memang memutuskannya. Lalu kenapa? Aku melakukannya untukmu!”
Gadis itu menggeleng, “Untukku? Omong kosong! Kau hanya ingin terbebas dari kekangan ayahmu dan melibatkanku sebagai wanita ke tiga menjijikan yang menghancurkan pertunanganmu. Itu rencanamu. Apa aku salah?”
Mendengarnya darimu seolah kau memandangku seperti kau bertemu Nathan pertama kali. Kau membenciku. Kau marah padaku.
Aku tidak bisa menyangkal fakta jika aku memang melibatkanmu.
Namun, aku juga tidak pernah menyangka jika aku akan benar-benar jatuh cinta sekali lagi padamu. Apa kau tidak tahu itu? Kau juga membuatku sulit di sini, Cher.
“Lalu apa tujuanmu datang kemari?” tanyaku dingin, “Kalau kau sudah tahu semuanya, lalu mengapa menemuiku? Belum puas menjadi selingkuhan yang ada dalam otakmu itu?”
PLAK!!!
Pipiku sebelah kanan terasa terbakar dan menyengat dengan sakit. Kulirik kembali sosok gadis itu. Gadis yang membuatku jatuh cinta padanya. Gadis yang mewarnai duniaku. Gadis ini… cinta pertamaku yang berharga.
Sekali lagi. Aku akan kehilangannya.
“Kau bilang kau mencintaiku,” desisnya, sembari menundukkan kepala, memandang tangannya sendiri yang digunakan untuk menampar wajahku, “Tapi, aku tidak pernah menjawab apa pun, ‘kan? Makanya aku ke sini. Aku kemari untuk menolakmu. Aku menolakmu, Nath. Aku tidak mau berada di sisimu lagi. Aku muak dengan permainan ini.”
Tanganku terkepal begitu erat. Ingin sekali merengkuh gadis itu. Menyentuhnya sekali lagi. Namun, aku tahu, dia akan menepisku. Cheryl…sudah menolakku sekali lagi.
Mau berapa kali dia menolakku? Padahal aku bisa menebak, kalau kau kau juga merasakan yang sama denganku ‘kan? Kau menyangkal perasaanmu seperti ini karena apa, Cher?
“Kau berjanji aku berada di sini untukku,” kataku, “Apa kau semunafik itu sekarang?”
“Lalu katakan mengapa kau harus menyakitimu orang-orang yang menyayangimu hanya untuk bersamaku? Apa kau tidak pernah terpikir tentang bagaimana perasaanku?” tanya
Cheryl dengan nada jijik, “Kau menyakiti Laura, kau menyakiti kakakmu, kau menyakiti ayahmu, kau menyakitiku… semua untuk apa? Untuk menjadi Romeo? Dan membuatku menjadi Julietmu? Begitu? Kisah cinta apa itu? Bodoh sekali. Apa yang kau lakukan sekarang hanya bermain-main dengan perasaan. Kau hanya putus asa dan ingin berbuat semaumu.”
Setelah mengatakan itu, Cheryl berjalan melewatiku, mungkin merasa sudah cukup mengatakan semuanya. Langkahnya terdengar cepat dan terburu-buru. Seolah dia benar-benar menginginkan semua ini dan segera kabur setelah merasa cukup.
Andai kau tahu, kau juga menyakitiku.
“Cher…” panggilku akhirnya, “Aku ingin bertanya satu hal lagi sebelum kau benar-benar pergi.”
Kalau kau menginginkan ini, aku tidak akan memaksamu. Wajahmu itu sudah menunjukkan semuanya. Kau sudah sering menangis sampai kedua matamu kemerahan dan bengkak. Penampilanmu juga terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Aku bahkan tidak bisa mencium aroma rambutmu yang kusukai.
Mungkin seminggu ini, kau sudah memendam semua perasaanmu dan tak menemuiku. Aku paham jika kau akan membenciku.
Aku sudah siap kehilanganmu lagi.
“Apa?” tanya Cheryl membelakangiku.
Gigiku bergemeretuk, setidaknya aku harus tahu ini langsung darinya, “Dulu ketika kita SMP, jika keadaannya berbeda, apa kau juga mencintaiku? Jawab itu.”
Mengapa aku menanyakan itu ya?
Mataku terpejam erat menunggu jawaban darinya. Entah mengapa aku bisa mendapati diriku sendiri merasa takut. Aku hanya ingin dia mencintaiku. Aku tidak ingin memaksanya. Lebih dari apa pun, aku ingin dia memilihku. Memilihku karena dia ingin.
Namun, apabila dia menginginkan perpisahan seperti ini… aku tidak bisa merelakannya. Aku sungguh tak bisa.
“Tidak,” katanya, “Aku tidak mencintaimu.”
Jadi, apakah ini saatnya aku melepasmu? Apakah ini saatnya aku sekali lagi tidak bisa apa-apa untuk mencegahmu? Apabila maaf itu cukup, apa kau akan kembali?
Andai kau tahu, aku sudah berusaha. Aku sudah berusaha melupakanmu sejak aku SMA. Aku berusaha membayangkan dunia tanpa dirimu di dalamnya. Atau dunia tanpa diriku di dalamnya. Dunia di mana kita tidak bersama.
Namun, kupikir betapa brengseknya dunia itu. Betapa kosongnya dunia ini, jika aku tak bisa bersamamu. Meski baik kehadiranmu dan kehadiranku di sini, amatlah kecil dibanding miliyaran penghuni planet ini. Kehadiranmu berarti bagiku, Cher. Kehadiranmu yang kecil dan sederhana ini, sangat berarti bagiku.
Lalu, jika kau ingin aku melepasmu…
Aku…
Krekkk
Kudengar suara pintu dibuka kembali, dan Cheryl melengos pergi keluar. Tanpa mengatakan ucapannya “sampai jumpa” atau bahkan “selamat tinggal”. Penyesalan itu tertinggal di belakangnya lalu sebuah pernyataan cinta yang ditolak olehnya. Aku mengira sebuah cerita cinta, di mana biasanya kau menolak pernyataan cinta seseorang karena kau tidak memiliki perasaan yang sama dengan orang itu. Karena kalian memang tidak saling mencintai.
Namun, aku tidak mengerti dengan penolakan ini.
Aku mencintaimu. Aku tahu kau juga mencintaiku.
Kemudian kau menolakku.
Untuk apa?
Untuk merasakan kehilangan lagi. Kehilanganmu lagi?
Bagaimana aku sanggup?
***
Tekan tombol bintang dan koment itu kalau kau berani 😁
![](https://img.wattpad.com/cover/53522232-288-k937116.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Tamat) | 1
RomanceLaki-laki menjijikan itu.... Nathan? Laki-laki yang ber...ciuman... kemarin itu... NATHAN?!!!!!! *** Hari itu adalah pengalaman pertamanya untuk segala kemungkinan yang terjadi. Cheryl White baru saja memulai kuliahnya, tetapi satu persatu masa lalu...