Bab 23 – Bagaimana Rasanya Berkorban Itu
(Cheryl)
Kemarin ayah Nathan datang.
Tentu saja aku yakin itu ayahnya. Maksudku dia bahkan langsung memperkenalkan diri tepat setelahnya Laura memberi kami waktu bicara berdua. Agak canggung sebenarnya, dan aku merasa malu berhadapan dengan beliau. Apalagi mengingat kalau aku adalah alasan mengapa pertunangan anaknya hancur.
Astaga, aku seperti penjahat sekarang.
Padahal aku baru berumur 19 tahun. Aku masih muda untuk menghadapi kemarahan orang tua.
“Namamu, Cheryl ‘kan?” tanya beliau ketika kami duduk di bangku depan kostku, “Cheryl Lily White.”
“I-iya!”
Apa aku terdengar gugup menjawabnya? Ini bukan seperti aku menghadapi kepala sekolah atau apa. Ini benar-benar situasi yang aneh tahu!
Laki-laki itu mengulas senyum di wajahnya yang sudah mulai menunjukkan masa tuanya, “Istriku dulu juga bernama Lily. Seperti nama tengahmu,” katanya dengan suara berat, “Dia sudah meninggal saat Nathan masuk SMA.”
Kedua mataku langsung membulat mendengar perkataan itu. Aku memang selalu penasaran tentang apa yang telah terjadi pada Nathan di saat dulu kami tidak bertemu. Apa yang mengubahnya menjadi sosok Nathan yang sekarang? Mengapa dia bergaul dengan orang-orang yang suka keluyuran malam? Mengapa kadang Nathan itu… begitu misterius? Dan ingin menyembunyikan semua itu di dalam dirinya?
“Aku turut berduka,” Hanya itu yang bisa kujawab.
“Oh, tidak apa-apa,” katanya, “Itu sudah berlalu. Lily adalah istri dan ibu yang baik. Aku bahagia dia sempat memberiku sedikit kesempatan untuk menikahinya,”
Aku beralih menatap dedaunan layu yang berserakan di halaman kostku, “Apa istrimu memiliki masalah dengan jantungnya?” tanyaku.
Lelaki itu mengangguk, “Ya, benar. Meski peluang itu hanya 50 persen, tetapi kelainan jantung itu akhirnya juga tinggal bersama salah satu anakku. Lily sudah memperingatkanku tentang kemungkinan itu. Tetapi aku tidak peduli, aku tetap menikahinya. Jadi, sekarang aku mulai bertanya-tanya apa kondisi Nathan sekarang adalah karena keputusanku sendiri…”
Kudengar suaranya yang terkekeh, “Bagaimanapun aku ini orang tuanya. Aku hanya ingin membahagiakannya,” ujarnya sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan, “Nathan itu selalu mengagumi ibunya. Karena Lily masih bisa hidup dengan jantung seperti itu sampai umurnya yang ke 30. Meski tak lama setelahnya, Lily meninggal…”
Hening.
Dia kembali melanjutkan, “Setelah itu, kurasa Nathan mencari-cari sesuatu dalam hidupnya. Aku melihat keputusasaannya. Kebingungannya. Kehampaannya. Sampai dia menemukanmu,” kata beliau kemudian menatapku, “Dia langsung mengambil kesempatan itu. Dia membatalkan perjodohannya dan menolak tawaranku untuk pengobatannya ke luar negeri.”
Aku tidak tahu kalau Nathan akan senekat itu. Mendengar hal itu dari ayah Nathan, tidaklah membuatku senang sama sekali. Rasanya seperti Nathan mengorbankan semuanya. Semua pengorbanan dari orang-orang yang menyayanginya. Hingga dia bahkan sanggup menyakiti mereka. Aku tidak suka itu.
Aku tidak mau dicintai seperti ini.
Ini bukan cinta namanya. Ini hanya tindakan putus asa.
“Aku minta maaf,” Kata maaf itu kembali keluar dari bibir kecilku, “Aku sungguh minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud menghancurkan hidupnya. Aku benar-benar minta maaf atas semua yang terjadi,” ujarku dengan suara hampir tercekik dan sebisa mungkin aku menahan air mata ini.
Aku merasa malu pada diriku sendiri. Keegoisanku. Kesedihanku. Kemarahanku. Perasaan ini. Seharusnya…
Seharusnya aku tidak bertemu dengan Nathan.
Harusnya cinta pertama ini kukubur dalam-dalam. Tidak seharusnya kita mengingat masa lalu sampai seperti ini, jika salah satu di antara kita akan terluka. Masa lalu hanya akan menjadi pelampiasan saja.
“Aku juga minta maaf untuk putraku,” kata beliau kemudian mengusap puncak kepalaku dengan lembut, “Dia memang nakal sepertiku. Namun, percayalah Nathan itu anak yang baik. Meski dengan segala perubahannya, dia masih anakku yang baik. Dia pasti menyesal melibatkanmu. Aku memang tidak terlalu mengerti tentang hubungan kalian. Hanya saja…”
Hening.
Kemudian hanya desir angin yang bergemirisik dan permintaan tulus seorang ayah. Suara serak yang menahan kesedihan.
“Hanya saja, tolong anakku,” katanya, “Bujuk dia. Atau katakan apa pun agar dia mau pergi dari kota ini. Meninggalkan semuanya dan fokus pada pengobatan jantungnya. Aku mohon padamu. Aku tidak bisa kehilangan satu keluarga lagi. Aku tidak bisa kehilangan anakku. Kumohon padamu…”
Aku mengernyit mendengar ucapan beliau. Pengobatan untuk jantung? Apa itu mungkin? Bukankah Nathan memerlukan donor jantung untuk transplantasi? Apa maksud perkataan ayah Nathan ini?
“Apa mungkin mengobati kondisi Nathan yang sekarang?” tanyaku sembari mengepal kedua tanganku, menahannya agar tidak bergetar gugup, “Maksudmu, Nathan punya kesempatan hidup melewati umur 20, begitu?”
Awalnya beliau hanya diam. Menunduk menatap tanah, “Peluangnya hanya 20 persen,” kata beliau dengan suara teramat menyesal, “Ada perusahaan dari teman bisnisku yang mengembangkan teknologi untuk memberikan Nathan katup jantung buatan. Mereka membuat ini karena langkanya bagi seseorang yang mempunyai kelainan jantung mendapat donor yang cocok. Memang terdengar menggiurkan, tetapi peluangnya hanya 20 persen. Jika ini berhasil, anakku akan terselamatkan. Meski begitu Nathan harus menjalani terapi penuh 3 sampai 5 tahun atau lebih agar pengobatan ini berhasil. Dengan demikian dia harus meninggalkan semuanya. Pengobatan ini hanya bisa dilakukan jika dia mau pergi bersamaku.“
Aku mengatupkan bibirku rapat mendengar penjelasan beliau. Kutebak pasti Nathan menolak mentah-mentah tawaran itu. Karena aku tahu dia mempunyai alasan untuk tetap di sini. Dia mempunyai alasan yang menahannya pergi.
Entah mengapa, aku takut jika alasan itu adalah karena kehadiranku.
Kehadiranku hanya akan menjadi ancaman hidupnya.
“Kumohon. Tolong bujuk dia,” kata beliau dengan suara yang lebih memelas dan putus asa, “Aku tidak tahu siapa lagi yang bisa bicara dengan anak itu. Namun, jika kaulah orangnya, maka aku hanya bisa mengandalkanmu. Aku ingin yang terbaik untuk anak itu. Aku tidak ingin dia berakhir seperti ibunya. Lily pasti juga memiliki keinginan yang sama. Kumohon padamu… Aku tidak tahu lagi harus minta tolong pada siapa. Kumohon…”
Melihat ayah Nathan seperti ini, sesuatu memberitahuku kalau ini adalah permintaan yang sangat berarti bagi beliau. Pasti dia memikirkan ini sampai akhirnya beliau bicara denganku. Meski harus mengesampingkan kenyataan bahwa mungkin semua ini terjadi karena aku yang hadir dalam hidup Nathan. Aku memang belum pernah menjadi orang tua. Aku tidak tahu bagaimana cinta yang bisa melebihi pengorbanan hidup sekali pun seperti yang dilakukan seorang ibu. Aku juga tidak tahu bagaimana cinta seorang ayah untuk melindungi dan menjaga keluarganya.
Namun, apabila aku membayangkan apa yang harus kulakukan untuk permintaan seorang ayah yang sudah putus asa untuk meminta bantuanku.
Maka akupun memiliki keinginan yang sama.
Aku juga ingin Nathan tetap hidup. Bahkan jika itu berarti Nathan tidak bersamaku.
Bahkan jika akhirnya cinta pertama ini, akan terkubur selamanya.
Bahkan jika aku harus mengorbankan perasaanku yang egois ini.
“Aku…mungkin tidak pandai membujuknya,” kataku mengingat kalau Nathan bisa keras kepala dan memaksakan kehendaknya sendiri, “Namun, aku bisa membuatnya tak memiliki alasan untuk tetap di sini.”
Jawaban itu yang membawaku pada adegan di mana aku harus memutuskan untuk menolak pernyataan cinta Nathan pada hari itu. Aku ingin dia membenciku. Aku ingin dia merasa sakit karenaku. Dengan begitu, aku tidak akan bertemu dengannya. Dengan begitu, Nathan akan sadar kalau aku ini bukan siapa-siapa yang pantas di perjuangkan.
Aku sadar kehadiranku ini memang mengganggu. Tidak seharusnya aku dan Nathan bertemu.
Namun, aku hampir goyah dengan keputusanku sendiri ketika Nathan bertanya, “Dulu ketika kita SMP, jika keadaannya berbeda, apa kau juga mencintaiku? Jawab itu.”
Seketika semua ingatan ini memenuhi pikiranku. Masa SMP-ku yang indah karenamu. Bagaimana rasanya jatuh cinta pada seorang laki-laki untuk pertama kali. Bagaimana rasanya aku rindu pada sosokmu. Berharap kau selalu ada dalam jangkauan mataku. Berharap suatu hari memilikimu. Kemudian itu berakhir ketika kelulusan, dan aku menangisimu. Menyesal karena tak pernah bisa menggapaimu. Menangis karena kita tidak akan bertemu lagi.
Lalu ketika kita bertemu lagi. Hatiku dipenuhi harapan agar do’a sederhana ini terkabul. Menjadikanmu cinta pertamaku. Hanya kamu. Berharap cinta pertama ini menjadi nyata.
“Tidak,” jawabku berharap suaraku terdengar bersungguh-sungguh, “Aku tidak mencintaimu.”
Meski dalam benakku menjerit, aku berterima kasih padamu. Aku sungguh berterima kasih. Cinta pertamaku, aku sungguh berterima kasih karena kaulah orangnya. Cinta pertamaku, aku bahagia dengan semua kenangan kita. Cinta pertamaku, aku mencintaimu.
Aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu sampai aku tidak tahu lagi siapa yang memiliki hatiku jika bukan kau orangnya.
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Aku sungguh mencintaimu. Jadi, tetaplah hidup dan lupakan aku.
Tetaplah hidup dengan jantungmu yang sehat. Tetaplah hidup. Lalu lupakan aku.
***
(Axelyon)
Hari-hari tetap berlanjut bahkan jika aku tahu aku sudah ditolak oleh gadis yang kusukai. Langit tetaplah biru. Rumput masihlah hijau. Udara masih tetaplah udara. Bumi masihlah bulat. Matahari masihlah bersinar. Dunia masih berputar bahkan ketika aku sadar aku masih belum melupakan sosok Cheryl yang kucintai di dalam benakku.
Aku berusaha menjalani kehidupan kampus seperti biasa selama beberapa hari ini. Walau kadang aku menemukan Cheryl dan itu membuat ini semakin sulit.
Aku tahu aku hanya bisa menjauh darinya saat ini. Toh, apapun yang terjadi, Cheryl akan selalu mengejar orang itu.
“Hey, kau sudah dengar? Nathan dan Laura kembali rujuk!”
Kedua mataku membelalak mendengar ocehan gadis-gadis kampus yang duduk tak jauh dariku saat aku menyempatkan diri mencari buku bahan ujian akhir di perpustakaan.
“Hah? Maksudmu Nathan yang itu? Dan Laura yang itu? Masa sih?”
“Aku melihat mereka selalu bersama akhir-akhir ini,” kata si gadis, “Aku sudah bertanya sama Laura langsung lho! Tapi dia bilang, itu bukan apa-apa. Kami hanya teman. Omong kosong sekali ‘kan? Toh, pasti Laura masih menyukai Nathan.”
Apa maksdunya ini? Bukankah Nathan seharusnya… ah tidak, tidak, tidak. Namun, bagaimana dengan Cheryl?
“Lalu bagaimana dengan gadis yang dulu Nathan taksir? Itu lho, gosip yang pas di awal masuk kuliah itu!”
“Ah, gadis itu? Nggak tahu deh kabarnya. Paling dari awal gadis itu yang menyebabkan Nathan dan Laura putus. Idih menjijikan banget, jadi wanita perusak hubungan orang.”
Rahangku mengeras mendengar ucapan mereka, “Hey, kalian berisik, tahu nggak? Kita lagi di perpus! Gangguin aja!” ucapku melotot pada dua mahasiswi itu. Tanganku terkepal dan seluruh saraf tubuhku menegang. Aku tidak tahan dengan ucapan buruk mereka tentang Cheryl. Mereka tidak tahu apa-apa.
Mereka tidak tau Cheryl yang kukenal.
Kedua gadis itu langsung meminta maaf dan menjauh dariku. Mungkin mereka berpikir aku laki-laki preman atau apa. Biar saja.
Namun, aku tidak bisa membiarkan mereka menyakiti perasaanku dengan mengatakan hal buruk tentang Cheryl.
***
Benar saja. Aku menemukan Nathan dan Laura sedang mengobrol di salah satu meja kantin kampus.
Mereka terlihat mencolok sekali di tengah keramaian mahasiswa lainnya yang ikut makan di sini. Aku tahu Nathan memang menyakiti Cheryl hari itu. Namun, sekarang perbuatannya sudah melebihi batas kesabaranku. Aku sudah mengorbankan perasaanku agar Cheryl mengejarmu, bodoh.
Jika akhirnya kau bersama Laura, apa itu berarti semua itu tidak berarti lagi?
Apa ini? Apa yang sedang kau mainkan, Nathan?
“Permisi, maaf mengganggu, aku ikut duduk ya?” kataku tak peduli bahkan dengan Laura yang memelototiku karena obrolannya diganggu, “Kalian sedang bicarain apa?” tanyaku kemudian.
Laura mendecak dan mengambil tasnya, “Aku ada kelas,” katanya dan membuatku menyeringai karena dia paham kapan harus pergi, “Aku akan menemuimu nanti pas kita latihan di sanggar.”
Setelah mengatakan itu, gadis itu lalu pergi melewati kerumunan mahasiswa yang sedang berdiskusi hebat soal restoran baru di buka. Aku melirik Nathan yang masih diam menatap segelas air putih yang bahkan tidak menarik untuk diminum.
Aku menggaruk belakang kepalaku. Aku tidak suka berbasa-basi dengan keheningan ini, “Kau ini kenapa sih, Nath? Apa gosip itu benar? Kalau kau dan Laura kembali bersama?”
“Kami hanya berteman, itu saja,” jawabnya datar.
“Tapi kalian membuat mahasiswa lain salah paham, bodoh,” kataku mendecak, “Bahkan aku juga. Mungkin Cheryl juga.”
“Apa maumu, Axel?!” tukasnya langsung memanggilku dengan nama yang tidak kusukai, “Kau bahkan tidak pernah menjengukku saat aku di rumah sakit, apa pedulimu baik tentangku ataupu gadis itu?!”
“Kau sendiri kenapa? Aku ingat kalau kau bilang menyukai Cheryl, lalu sekarang? Kau malah bersama Laura?!! Kau ini mau mempermainkan perasaan Cheryl sampai kapan?!”
Brakkk!!!
Suara hentakan meja itu, seketika menumpahkan gelas berisi air putih tadi dan membuat seisi kantin hening. Hingga membuat semua mahasiswa menatap ke arah aku dan Nathan. Sejujurnya saja, itu juga menghentakku. Bagaimana Nathan sedari tadi bersikap. Bagaimana Nathan menatapku sekarang. Bagaimana dia sekarang meluapkan amarahnya.
Entah mengapa aku tahu, sesuatu memang terjadi antara dia dan Cheryl.
“Ambil saja dia,” desisnya menatapku tajam dengan iris abu-abunya, “Aku tidak peduli lagi. Aku sudah menyerah.”
Setelah mengatakannya, sosok Nathan kemudian mencelos pergi. Meninggalkanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiranku.
Menyerah? Tidak peduli?
Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Gigiku bergemeretak, ketidaktahuanku ini membuatku muak. Kuputuskan untuk menyusul Nathan bahkan dengan kondisi emosinya yang seperti itu. Bahkan dengan tatapan curiga beberapa mahasiswa yang kulewati. Mau bergosip lagi? Silakan! Aku tidak peduli. Aku harus tahu apa yang terjadi. Aku sudah muak berdiam diri dan mengawasi kalian berdua. Kau sudah membuat Cheryl menangis berkali-kali, bodoh.
Dia menangisimu.
Dia menangisimu sampai membuatku gila.
Lalu kau menyuruhku mengambil dia, seolah dia adalah barang yang bisa kau buang seenaknya.
Aku muak denganmu Nathan.
“Aku belum selesai bicara denganmu!!!” sahutku sekeras mungkin, bahkan jika suaraku sampai terdengar oleh dekan kampus sekalipun, “Katakan padaku apa yang terjadi, bajingan!!!”
Ucapan itu membuat Nathan akhirnya berhenti dan berbalik memandangku dengan tatapan garang yang tak pernah kulihat.
Aku tahu, teman macam mana yang menyebut temannya sendiri bajingan. Itu adalah kata yang pantas untuknya setelah selama ini aku membiarkannya merebut Cheryl dariku dan membuatnya menangis sedemikian rupa. Aku yang berada di sampingnya saat dia menangisimu dalam tidurnya.
Aku melihat gadis itu hancur karenamu.
“Aku sudah bilang, ambil saja gadis itu,” desisnya dengan rahangnya yang mengeras, “Aku sudah menyerah! Kau puas?! Kau bisa bersamanya sekarang…”
Aku benar-benar ingin memukul wajahnya saat itu. Namun, aku tidak bisa. Aku menahan diri agar aku tidak kembali pada Axel yang dulu. Aku tidak ingin menjadi Axel yang dulu dan menghancurkan sosok Lyon saat ini.
Aku hanya ingin tahu apa yang sudah kau lakukan pada Cheryl.
“Kenapa kau ngomong ngaco seperti itu?!!” kataku, “Cheryl itu mencintaimu…”
“DIA SUDAH MENOLAKKU!!!” bentak Nathan tiba-tiba dan menatapku dengan kedua mata yang memohon agar aku berhenti mendesaknya, “Cheryl memilih untuk tidak mencintaiku. Itu keinginannya.”
Pandangannya menunduk ke bawah. Nafasnya terengah-engah dan seluruh tubuhnya bergetar. Seolah ketika dia berkata Cheryl menolaknya adalah hal yang paling membuatnya menderita.
Sialan kau.
Bagaimana kau bisa mengatakan itu dengan wajah seperti itu.
“Jangan campuri urusanku, Axel,” lanjutnya, “Aku akan pergi dari kampus ini setelah ujian akhir. Jadi, sekarang kau punya waktu bersamanya. Kau puas ‘kan? Ini yang kau mau bukan?!”
Ini kemauanku? Apa yang kau katakan, sialan!
Bukan mauku melihatnya menangis karenamu. Bukan mauku jika Cheryl memang menginginkanmu. Bukan mauku. Ini bukan mauku.
Kau mengatakan itu seolah kau tahu sisi gelapku. Padahal kau sendiri, sudah menyakiti gadis itu sedemikian rupa.
“Sudahlah, Axel. Kau hanya buang-buang waktu mengurusiku,” katanya menghela nafas dan memperbaiki posisi tas punggungnya, “Dia… Cheryl lebih membutuhkanmu.”
Deg!
Itu adalah pertama kalinya aku mendengar Nathan akhirnya menyebut nama gadis itu bahkan setelah sepanjang kami berdebat tadi. Seolah menyebut namanya saja sudah menyakitkan. Bahkan setelah aku menyebutmu bajingan, bahkan setelah kau membentakku, kau malah menyuruhku untuk mendatangi gadis itu.
Sebenarnya kau masih peduli padanya ‘kan?
Kau masih peduli padanya dan menyuruhku untuk berada di sampingnya.
Dasar munafik.
Aku tak berkata apa-apa lagi seiring sosok Nathan yang mulai menjauh pergi. Meninggalkanku dengan perasaan campur aduk. Aku juga peduli padanya, bodoh. Aku juga peduli pada Cheryl.
Namun, mendengarmu menyuruhku untuk berada di sampingnya, membuatku bimbang.
Karena di balik ucapanmu yang kasar itu, kau masih menaruh hatimu pada Cheryl.
Kau masih peduli padanya.
Sialan, apa yang harus kulakukan?
***
Continue to Bab 24Tekan tombol bintang itu dan komentlah apabila pantas 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Tamat) | 1
RomanceLaki-laki menjijikan itu.... Nathan? Laki-laki yang ber...ciuman... kemarin itu... NATHAN?!!!!!! *** Hari itu adalah pengalaman pertamanya untuk segala kemungkinan yang terjadi. Cheryl White baru saja memulai kuliahnya, tetapi satu persatu masa lalu...