Bab 19 - Bagaimana Aku Pernah Bermimpi

815 57 2
                                    

Bab 19 – Bagaimana Aku Pernah Bermimpi

Tahun 2011. Cheryl White berumur 15 tahun.

“Anak-anak! Duduk di tempat duduk kalian!” teriak seorang guru yang tiba-tiba masuk ke kelas kami.

Aku ingat itu adalah beberapa hari setelah ujian kelulusan SMP kami berakhir. Selama itu tak banyak yang bisa dilakukan selain bermain-main di kelas atau apapun itu. Seperti ada beberapa anak yang bermain kartu. Ada pula yang memutuskan untuk mengobrol tentang sekolah SMA yang menjadi favorit mereka. Ada pula yang tertidur lelap di kelas. Hingga kemudian saat seorang guru seketika masuk, semua anak kompak kembali ke tempat duduk masing-masing.

“Hari ini, aku akan memberi kalian tugas terakhir!” sahut guru itu diiringi gemuruh kecewa dari beberapa siswa.

“Kita sudah mau lulus, kenapa masih ada tugas?”

“Iya, aneh banget.”

Guru itu kemudian lanjut menjelaskan, “Jika kalian ingin tahu, tugas ini sudah menjadi tradisi sekolah kita dan semua siswa yang akan lulus harus mengerjakannya,” para siswa kemudian hening mendengarkan, “Tugas kalian adalah aku ingin kalian menyiapkan 1 lembar kertas dan tulis sepuluh impian kalian di sana. Kalian tidak perlu khawatir dengan apa yang kalian tulis, karena aku tidak akan menghakimi satu pun impian kalian. Waktu kalian 1 jam dan harus selesai tepat waktu. Ayo cepat.”

Walau masih ada beberapa siswa yang mengeluh, akhirnya mereka semua setuju mengerjakan tugas aneh ini.

Setelah beberapa menit, aku merasa tugas ini lebih sulit dari yang kukira. Memikirkan apa impianmu, tujuanmu, cita-citamu, sangat sulit apalagi ketika kau baru berumur 15 tahun. Kehidupan panjang masih membentang menanti masa depan kami dan kurasa menulis impian di atas kertas seperti ini terasa aneh saja. Karena pada suatu hari, ada beberapa impian yang tidak terwujud dan terpaksa kita ganti dengan impian yang lain.

Jadi, ini adalah hasil pikiranku setelah 30 menit berlalu:
1. ?
2. ?
3. ?
4. ?
5. ?
6. ?
7. Aku ingin pergi ke tempat yang tidak pernah kukunjungi.
8. Aku ingin kuliah yang jauh dari rumah orang tuaku dan lulus dengan nilai yang membanggakan.
9. Aku ingin punya uang 10 triliun.
10. Aku ingin punya pabrik coklatku sendiri.

“Kamu nulis apa, Cher?” tanya Katy, teman sebangkuku.

Aku meliriknya tajam, “Nggak boleh lihat!”

Kulihat temanku itu sedang mengerucutkan bibirnya, merasa sebal. “Pelit.” Katanya.

Biar saja dia menyebutku pelit atau apa. Siapapun tidak boleh melihat daftar impianku ini. Aku kembali berpikir dan memutuskan mungkin aku harus menulis impian yang lebih sederhana saja. Impian yang lebih dekat dan realistis. Meskipun ada juga impian yang rasanya terlalu aneh, tetapi toh ini impianku sendiri dan guru itu juga berjanji tidak akan menghakimi satu pun impian kami.

“Lima menit lagi.” Sahut guru di depan.

Kedua mataku membelalak terkejut. Tinggal lima menit? Astaga, aku sudah terlalu banyak melamun. Buru-buru aku tengok kembali kertas milikku.

1. ?
2. Aku ingin menikah dan mempunyai anak kembar (kupikir akan menyenangkan punya anak kembar, rumah tidak akan terasa sepi).
3. Aku ingin menjadi orang yang dapat mempengaruhi hidup orang lain (oke, ini agak muluk dan terkesan klise. Seperti aku sedang mengutipnya dari orang lain saja).
4. Aku ingin menulis buku tentang hidupku (ya, semua orang ingin terkenal, kan?).
5. Aku ingin bekerja dengan pekerjaan yang kusukai (tentu saja, kalau tidak ,aku bisa stress).
6. Aku ingin mempunyai peliharaan kucingku sendiri (ini serius).
7. Aku ingin pergi ke tempat yang tidak pernah kukunjungi (aku ingin keluar dan melihat bagaimana pemandangan dunia yang tidak pernah kujelajahi. Pasti itu akan hebat).
8. Aku ingin kuliah yang jauh dari rumah orang tuaku dan lulus dengan nilai yang membanggakan (sebenarnya aku memikirkan ini karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya hidup sendiri tanpa diatur orang tua).
9. Aku ingin punya uang 10 triliun (oke ini agak mustahil, tapi kau tahu ini hanya impian kekanakanku saja).
10. Aku ingin punya pabrik coklatku sendiri (aku memikirkan ini hanya karena aku ingin makan coklat gratis seumur hidupku).

Lagi-lagi aku berpikir keras tentang apa yang harus kutulis di nomor satu. Tinggal satu impian saja dan itu sudah membuatku menggila. Apa yang harus kutulis? Apa ya?

Oke, sebenarnya ada satu impian yang terpikir olehku dan itu sudah muncul sejak pertama kali tugas ini diberikan. Namun, kau tahu? Impian ini sangat konyol dan memalukan. Sedari tadi aku sudah mengulur-ulur waktu dan memikirkan impian yang lain. Lalu sekarang waktu menyempit dan tinggal satu impian tersisa untuk di isi.

“Waktu habis! Ayo, cepat berhenti menulis!”

Argh!!! Tulis saja impian sialan itu!!!

“Jika sudah selesai, simpan kertas itu ke dalam tas kalian dan silahkan pulang ke rumah masing-masing,” lanjut si guru dan membuat hampir semua murid terkejut.

Mendengar itu, banyak siswa yang bergumam bingung, “Kertas ini tidak dikumpul?” kata salah satu murid.

Si guru tersenyum dan menggeleng, “Itu tugas kalian sekarang. Sepuluh impian yang kalian tulis itu sekarang bukan tanggung jawabku. Itu adalah tugas kalian untuk menyelesaikannya, apapun yang terjadi setelah kalian keluar dari sekolah ini, pegang impian itu.”

“Bagaimana jika kami tidak bisa menyelesaikannya?”

“Benar! Bagaimana jika ada impian kami yang terlalu konyol sampai tidak mungkin terwujud?”

Si guru hanya mengangkat bahu, “Itu terserah kalian, entah kalian mau menggantinya atau mewujudkannya. Kalian sendiri yang menilai tugas ini. Aku sudah bilang, kan? Impian yang kalian tulis itu adalah tugas kalian sekarang.”

Hening.

“Sekarang, pulanglah,” sahut guru itu.

Beberapa menit kemudian, tak banyak suara yang keluar dari pada murid. Ada dari mereka yang tersenyum. Ada dari mereka memamerkan kertas impian itu ke teman mereka. Ada yang diam dan pulang tanpa berkata apa-apa. Atau ada yang masih duduk termenung melihat kertas impiannya, menunda untuk pulang.

“Kau belum mau pulang, Cher?” tanya Katy tersenyum menghampiriku yang masih duduk, memandang kertas impian itu.

Aku menggeleng, “Kau duluan saja.”

Tatapan Katy melembut, “Sampai jumpa lagi,” katanya, seiring dengan sosoknya yang menghilang di balik pintu.

Sekarang tinggal aku sendiri di kelas kosong itu. Kembali memandang kertas impian itu dengan senyuman miris. Berpikir bagaimana mungkin daftar impian ini akan terwujud. Apalagi impian yang menduduki nomor satu. Impian yang paling akhir kutulis, itu terlalu konyol.

Kuhela nafas dan mengambil tas sekolahku, bersiap untuk pulang. Kusimpan kertas impian tadi dan berpikir, mungkin aku harus mengganti beberapa impianku nanti sesampainya di rumah. Aku tertawa sendiri, apalagi yang nomor satu itu tadi, pikirku.

“Hey, Nathan! Tadi kau menulis impian apa yang di nomor satu itu?”

“Apaan sih? Kan udah aku bilang, itu rahasia!”

Langkahku berhenti kala mendengar suara itu. Oh, itu kelompok anak laki-laki sebelah kelasku. Atau lebih tepatnya itu adalah kelompok teman-teman Nathan. Juga untuk sekian kalinya, mataku akhirnya kembali menangkap sosok Nathan diantara anak laki-laki itu. Mereka sedang melewati tangga dan turun ke bawah, sedangkan aku baru saja keluar kelas. Untungnya Nathan tidak menyadari kehadiranku saat itu, karena jika tidak, mungkin pandangan mata kami bertemu. Lalu kemudian dadaku akan terasa sakit karena terlalu berdegup kencang. Ah, malu sekali.

Ngomong-ngomong kalau dipikir-pikir, ini sudah tiga tahun masa SMP-ku. Selama itu, tak pernah sekalipun aku memberanikan diri untuk bicara langsung dengan Nathan. Hanya sapatah kata saja, aku sudah ketakutan dan merasa ingin pingsan. Padahal aku hanya ingin menjawab pernyataan cintanya waktu itu.

Terdengar aneh ya memikirkan semua ini. Siapapun juga akan menganggap cerita cinta pertamaku ini aneh. Mana ada gadis yang merasa tersentuh dengan cerita di mana seorang gadis yang mengejek pernyataan cinta laki-laki. Mana ada pula gadis yang selalu melirik seorang laki-laki selama masa SMPnya tanpa berani menyatakan perasaannya. Mana ada gadis yang merasa begitu mencintai seseorang padahal mereka tidak saling mengenal. Tahu apa diri ini tentang cinta?

Cinta yang tak jelas. Cinta yang samar-samar. Cinta yang berwarna kelabu seperti warna mata miliknya. Cinta yang bahkan tak pernah dimulai.

Namun, Tuhan aku sungguh menyukainya. Aku menyukai Nathan.

Aku…mencintainya.

Dan sekarang aku sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Aku sudah menghabiskannya dengan merasa malu dan menunda-nunda. Padahal ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Nathan.

Sangat banyak.

Saking banyaknya sampai aku ingin meledak.

Setelah ini, aku tidak akan bertemu dengan Nathan lagi. Aku tidak bisa lagi menemukan sosoknya.

Aku tidak bisa lagi berharap bisa mengungkapkan perasaanku padanya.

Semua sudah terlambat.

Perlahan ketika angin semilir lembut menerpa pipiku, kurasakan sesuatu yang hangat keluar dari pelupuk mataku. Hangat dan mengalir bagai anak sungai. Jatuh ke lantai, menyapa gravitasi yang kejam.

Parahnya, aku tidak tahu mengapa aku menangis. Begitu cengeng dan bodoh. Perasaan yang sudah kupendam lama selama tiga tahun masa SMP ku, rasanya seperti sedang tercekik, tercekik ingin menjerit. Menjeritkan namanya. Hanya nama satu-satunya laki-laki yang membuatku seperti ini. Waktu sudah berlalu lagi, dan sekarang kami akan lulus. Aku tidak akan bisa melihat Nathan lagi. Kami akan berada di sekolah berbeda. Aku tidak bisa lagi berpura-pura naik tangga hanya untuk melihat sosok Nathan. Aku tidak bisa diam-diam meliriknya lagi. Aku tidak bisa melihat pertunjukkan teaternya lagi. Aku tidak bisa mendengar suara tawanya lagi. Kami tidak akan bertemu lagi.

Tidak akan pernah bertemu lagi.

Tanpa sadar aku mengeluarkan suara erangan pelan, karena suaraku tercekik bersama aliran air mata yang tak kunjung berhenti.

Aku sungguh mencintainya. Aku hanya ingin… waktu itu bisa terulang.

Aku begitu malu dengan diriku ini. Diriku yang tidak berani. Diriku yang tidak bisa apa-apa. Aku berharap aku bisa menjadi orang yang lebih baik jika suatu hari aku bertemu dengannya.

Ah, sekarang aku mulai bertanya-tanya apakah impianku yang di nomor satu itu akan terwujud tidak, ya?

Dadaku rasanya semakin sesak sekarang.

“Aku…aku menyukaimu, Cheryl!” gema suara itu, kembali menyentakku ke dunia nyata.

Mana mungkin impian semacam itu bisa terwujud.

“Apaan sih?! Bwekkk!!!” kemudian jawaban yang tak pantas itu keluar begitu saja. Tanpa berpikir. Tanpa memahami apa yang sesungguhnya sudah terjadi.

Air mataku semakin banyak keluar.

Meski begitu, aku ingin sekali impian itu terwujud suatu hari, entah bagaimana. Aku ingin itu terjadi.

Angin semilir lembut yang membawa rasa sedihku. Menerpa lembut rambut coklatku. Mengeringkan air mata di pipiku. Kupikir mungkin hari itu, hujan akan datang kembali. Membawa kembali kenangan konyol ini. Tentang cinta pertama yang tak pernah terjadi. Kuharap perasaan ini akan terbalas nanti.

Sebab impian ini terlanjur terukir di atas kertas polos sederhana.

Di urutan nomor satu tertulis: Aku ingin cinta pertamaku terjadi.

Hanya sepenggal kata-kata sederhana. Terukir di atas kertas yang mungkin sudah dilupakan sejak lama. Namun, di balik kata-kata itu tersirat harapan seorang gadis yang bahkan tidak mengenal apa itu cinta.

***

Apa aku sudah lama tertidur?

Aroma ruangan ini, terasa asing.

Mataku masih terasa gatal dan mengantuk sedemikian rupa. Seperti habis menangis. Namun, apakah aku bisa menangis sembari tertidur? Rasanya tidak mungkin.

Kuputuskan untuk membuka mata ini pelan-pelan. Lalu tersadar sepenuhnya, kalau aku sedang tidak berada di kamarku sendiri. Dinding putih, selimut berwarna pastel biru, jendela yang membawa cahaya remang-remang di seberangku, serta hawa dingin ini, seperti udara yang menguar setelah hujan reda.

Hujan, ya?

Jadi, ingat kalau dulu ketika SMP, Nathan menyatakan cintanya padaku ketika hujan.

Aku menunggu dengan sebal, menunggu untuk dijemput, lalu tiba-tiba dia datang dan menjungkir balikkan semuanya. Perasaanku. Hidupku. Masa SMP ku yang malu-malu dan cinta yang bahkan tak pernah terjadi.

Nathan juga menciumku saat hujan. Namun, itu berakhir agak menyedihkan karena setelah itu aku tahu dia memiliki kelainan jantung. Aku ingat ketika di ambulan, dia merengek seperti anak kecil sesaat setelah petugas paramedis menyuntiknya. Tanpa sadar aku tersenyumm geli mengingatnya. Padahal laki-laki, disuntik seperti itu saja sudah menangis.

Ah, mungkin dia merasa ketakutan saat itu. Merasa takut kalau mungkin itu terakhir kalinya dia bertemu denganku.

Saat itu juga hujan, ketika kakak Nathan, Marianne memberitahuku sedikitnya hal yang Nathan sembunyikan padaku selama ini.

Kenapa sih laki-laki itu suka menyembunyikan rahasia?

Menyebalkan sekali rasanya, karena sekarang aku hampir merasa kalau aku ini tidak tahu apa-apa tentang Nathan. Jika begitu, aku tidak benar-benar jatuh cinta padanya ‘kan?  Aku tidak perlu mengorbankan perasaanku seperti ini ‘kan?

Namun, kenapa ya…?

Kenapa…

Kenapa setelah semua yang terjadi, hanya dia… hanya dia yang muncul di dalam pikiranku.

Kenapa Nathan… Kenapa dia? Kenapa harus dia?

Seketika memikirkan ini, cairan hangat ini keluar dari pelupuk mataku untuk kesekian kalinya yang tidak kuketahui. Mungkin aku memang menangis saat aku tidur. Hingga rasanya membuatku lelah. Aku lelah sekali.

Merasakan bagaimana hancur sepenuhnya. Merasa hampir tercekik oleh nafas ini. Semuanya… menyakitkan.

Apa aku harus merasakan ini?

Ini sakit sekali.

Aku tidak ingin merasakan ini. Aku ingin ini berhenti. Nathan, bagaimana ini berhenti? Nathan, apa kau tidak melihatku sekarang? Nathan, apa kau tidak tahu apa yang kurasakan sekarang? Nathan ,apa kau tidak mendengar tangisku ini?

Nathan… kau itu menyebalkan.

“Cheryl, kau bangun?”

Aku tersentak kaget mendengar suara itu, dan di detik itu jua aku bangun dan mendapati sosok yang sudah lama tak kulihat. Alisnya bertaut, mengerut, seolah aku terlihat benar-benar mengkhawatirkan. Walau aku mengakui, aku masih merasa agak pusing tetapi rasa terkejutku lebih besar dari apapun.

“Kenapa… kau di sini?”

Lyon hanya mengusap tekuk lehernya, berpaling dariku, “Ja…Jangan kaget, oke? Ini kamarku,” jawabnya, “Kemarin kau kehujanan dan pingsan, jadi aku membawamu kemari untuk merawatmu.”

Aku masih tidak mengerti dengan ucapannya sampai aku menunduk ke bawah dan melihat diriku yang mengenakan pakaian yang bukan milikku, “K-kau mengganti bajuku?!!” pekikku kaget dan hampir merasa takut.

Lyon segera menggeleng, “Tidak, tidak, tidak! Aku… tidak melakukannya! Itu kerjaan Clare.”

Kali ini, keningku yang mengerut, “Siapa Clare?”

“Tetanggaku,” jawabnya menunjuk ke arah luar jendela.

“Kau menyuruh tetanggamu untuk menelanjangiku?”

“Apa? Ti-tidak!!!” potong Lyon langsung terdengar panik, “Aku tidak… aku hanya meminta tolong…menggantikan bajumu yang… basah jadi…kupikir tetanggaku…”

Astaga, aku semakin tidak mengerti. Kepalaku sebenarnya masih terasa pusing, dan penjelasan Lyon merumitkan semuanya, “Kalau begitu, katakan jujur padaku!” seruku tiba-tiba menunjuk wajahnya dengan telunjukku, “Apa kau sebagai seorang pria, pernah berpikir hal-hal aneh sebelum kau membuka pakaianku?! Jawab!”

“E-eh?!” awalnya Lyon mengernyit mendengar perkataan. Kemudian aku mendapatinya melirik ke arah lain dan mengerucutkan bibir, “A-aku ‘kan laki-laki normal…”

Asataga, melihat reaksinya yang malu-malu itu membuat pipiku memanas sekarang, “Ah!!! Lyon menjijikan!!! Lyon mesum! Lyon mesum! Lyon mesum!!!”

Segera saja, kutarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku. Bersembunyi dan melindungi diri, hanya itu yang ada dipikiranku. Maksudku, bukankah sekarang aku seperti perempuan yang nakal? Menginap di rumah laki-laki dan bahkan sempat menjadi khayalan mesumnya. Astaga, aku malu sekali!!!

“Cher!” kudengar Lyon malah tertawa melihat reaksiku, “Cher, beneran aku nggak apa-apain kamu!”

“Tapi kau membayangkan hal mesum ‘kan?!! Kita bukan berada di cerita 17 tahun ke atas tahu!!! Banyak pembaca masih polos!!! Jangan nodai mereka dengan pikiran mesummu itu!!!”

“Dengar, aku bersumpah aku tidak melakukan hal aneh padamu, aku sungguh-sungguh,” kata Lyon menekankan suaranya di tiap kata, “Aku hanya membawamu kemari dan merawatmu. Itu saja. Clare membantuku mengganti bajumu dan aku sungguh tidak melihat apapun. Aku hanya merawatmu selama kau di sini. Aku bersumpah, Cher.”

Aku terdiam sebentar setelahnya. Mencerna kata-kata Lyon dan berusaha untuk tidak menghakiminya secara berlebihan. Walaupun rasanya aku ingin menjerit dan kabur dari sini. Kuremas selimut itu dan menggigit bibir.

“Beneran?”

Kudengar Lyon terkekeh, “Aku berani bersaksi untukmu. Aku bahkan rela jika kepalaku harus ditembak hanya untuk bersaksi untukmu. Tepat di tengah kepalaku, kalau perlu.”

Tanpa sadar aku tersenyum geli mendengar ucapannya, “Lyon ngaco!” sahutku.

Lyon kemudian sedikit menggoyangkan bahuku dari balik selimut, “Hey, mau sampai kapan kau bersembunyi dengan selimutku? Ini makan buburmu dulu. Kau pasti lapar, kan?” kata Lyon selanjutnya, “Ibu Clare yang membuatkannya. Baju yang kau pakai itu juga milik Clare. Setidaknya istirahat dulu, tubuhmu masih lemah.”

Sejujurnya saja, aku ingin sekali mengiyakan karena kuakui kalau perutku begitu keroncongan dan tubuhku masih terasa lemah barang untuk berjalan. Kakiku bisa-bisa goyah dan membuatku terjatuh. Ah, kenapa aku bisa berada di sini? Aku risih sekali jika harus berlama-lama di rumah laki-laki. Biar tubuhku masih sakit, aku ini masih berpikiran sehat tahu!

“A-anu… bisakah kau keluar dari kamar ini? Aku ingin makan bubur ini sendiri…”

“Kau menyuruhku keluar dari kamarku sendiri?”

“Siapa suruh membaringkanku di kamarmu?!! Kumohon biarkan aku mendapat privasi di sini!!!”

Lyon kembali tertawa dan berkata, “Baiklah. Tapi habiskan juga obatmu,” katanya sembari mengusap kembali puncak kepalaku dengan lembut.

Ah, kenapa dia bisa sebaik ini? Bahkan disaat aku ingat, terakhir kami bertemu, kami hanya saling berselisih. Tak ada kata “minta maaf” atau bahkan menghubungiku. Hanya perhatian kecil seperti ini, pastilah semua gadis akan luluh.

Begitu juga aku.

“Kenapa sih, kau begitu baik padaku?” tanyaku pada akhirnya, tak bisa menahan lagi pertanyaan ini, “Aku tidak pernah berbuat sesuatu untukmu, aku bahkan menolak pernyataan cintamu kemarin. Lalu kenapa kau masih menolongku? Aku ini bukan gadis yang sebaik yang kau pikir.”

Aku ini sudah menjadi gadis perusak pertunangan orang, tahu! Karakter orang ke tiga yang paling dibenci dalam setiap cerita romansa. Karena biasanya, mereka hanya peganggu egois dan ingin merebut laki-laki yang dia kira mencintainya juga. Mungkin jika dikategorikan, aku adalah karakter paling bodoh di sini, sampai bisa-bisanya terlena begitu mudahnya dan membiarkan ciuman pertamanya diambil oleh laki-laki songong yang tidak peka pada perasaannya.

Aku ini sangat menyebalkan, tahu!

“Aku hanya ingin menolongmu,” kata Lyon kemudian kurasakan nafasnya berhembus geli di dekat telingaku. Hingga aku merasakan sentuhan lembut ini, mengecup puncak kepalaku singkat dari balik selimut yang ternyata tidak bisa menyembunyikanku dari segalanya.

Kecupan itu… membuatku pipiku memanas. Padahal tidak menyentuhku langsung.

“Cher, apa kau tidak bisa memberiku kesempatan?” tanya Lyon membisik di dekat telingaku dan membuat seluruh tubuhku membeku, “Bisakah kau berhenti mencintai Nathan?”

Deg!

Aku harus menjawab apa?

***

Vomentlah apabila pantas 😊

First (Tamat) | 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang