Bab 26 – Bagaimana Munafiknya Perasaan Kita
(Cheryl)
Sebuah lagu untuk dimainkan. Sebuah mobil untuk berkendara. Sebuah gumaman hati yang meragu. Serta sebuah tatapan sendu yang menghadap pada pegunungan yang mulai terlihat di balik cakrawala yang berkabut.
Perjalanan ini memakan waktu yang sangat lama. Mungkin sudah tiga jam aku duduk di sini dan memperhatikan bagaimana akhirnya temanku, Nalla yang berada di sampingku, terlelap dengan mudah setelah habis memakan camilan yang tersisa. Sean duduk di depan dan masih mengajak Lyon yang mengemudi mobil ini.
Sementara aku yang merasa kesepian di belakang, bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengapa perasaanku sekarang hampir mirip dengan diriku yang dulu SMP. Merasa begitu kecewa. Kosong.
Seolah sesuatu hilang dan aku cemas ia tidak akan kembali.
Setengah jam kemudian, mobil ini melaju ke dalam jalan menuju hutan. Di dalam sana, sudah tersedia bagai komplek villa alam liar yang entah berapa jumlahnya. Saat itulah aku sadar kami masuk ke dalam wilayah wisata pegunungan yang keluargan Lyon kembangkan. Aku bisa melihat bagaimana suksesnya bisnis mereka dengan mendapati banyaknya orang-orang yang keluar dan berkumpul bersama. Bersama tawa dan keakraban yang mengikat hubungan mereka.
“Villa kita berada di ujung. Tak banyak orang lewat di sana. Jadi, kita bisa menikmati waktu kita tanpa harus mengganggu pengunjung lain,” kata Lyon menoleh kepadaku dan tersenyum, “Sebentar lagi kita sampai,” lanjutnya yakin.
Aku mengangguk pelan dan kembali menatap keluar jendela.
Bagaimana kabar dia sekarang, ya? Apakah dia sudah bersiap pergi dari kota dan mengikuti ayahnya keluar negeri? Apa kira-kira yang dipikirkannya ketika tahu kalau dia akan pergi dan meninggalkan semuanya di belakang?
Sekali lagi, aku membenci diriku yang masih memikirkan hal konyol ini. Begitu mudah aku bisa memutuskan untuk menolak perasaannya padaku. Namun, begitu mudahnya bagiku kembali memikirkan dirinya. Betapa munafiknya diriku yang masih belum bisa maju dari tempatku berpijak.
Setidaknya, selagi aku di sini, aku harus berusaha memikirkan kebahagiaan untuk diriku sendiri. Sudah saatnya aku maju.
Aku sudah berusaha memenuhi pikiranku dengan hal-hal positif. Bahwa mulai dari sekarang hapus pikiranmu tentang laki-laki itu. Lupakan semuanya. Kubur semua kenangan itu. Ini memang tidak mudah, tetapi bukan hal mustahil.
“Nah, kita sampai!” sahut Lyon bersamaan dengan pemandangan sebuah danau yang besar membelakangi sebuah villa yang sepertinya masih baru dibangun. Bangunan sederhana itu hampir terbuat dari kayu seluruhnya. Kayu yang kecoklatan tua di sisi dindingnya dan coklat muda di tiang yang menyangganya serta pagar untuk beranda depan villa.
Aku sudah hampir ingin memekik antusias dengan semua pemandangan alam itu. Sampai aku mendapati bahwa ada sebuah mobil lain yang terparkir di depan villa.
“Itu siapa?” Tanpa pikir panjang pertanyaan curiga itu langsung keluar dari mulutku begitu saja. Sebab untuk alasan tertentu, aku sudah merasa dari awal perjalanan ini ada hal yang tidak Lyon sampaikan padaku. Meski aku sudah meyakinkan diri kalau perjalanan ini akan berakhir baik.
Nyatanya tidak.
“Aku mengajak beberapa orang juga. Supaya lebih rame,” kata Lyon tanpa menoleh padaku.
Hingga mesin mobil berhenti tepat di depan villa, di samping mobil lainnnya yang tak kukenal. Aku mungkin penasaran. Aku juga merasa curiga. Namun, itu tidak bertahan lama, sampai sekali lagi.
Sekali lagi.
Aku melihat sosoknya keluar dari mobil. Kedua mataku membulat dengan perasaan campur aduk. Selama beberapa hari ini, aku memang sempat terpikir padanya. Aku tak bisa memungkiri kalau pikiranku yang bodoh ini masih saja memutar setiap kenangan kami dulu.
Namun, bukan berarti sekarang aku bisa menunjukkan wajahku tanpa merasa bersalah.
Bahkan seharusnya, aku tak menunjukkan wajahku sama sekali.
Lyon dan Sean yang lebih dulu keluar dari mobil. Sementara aku merasa seluruh tubuhku membeku di tempat. Dalam pikiranku berkecamuk. Dilema dengan perasaan aku tak ingin menemuinya, tetapi di saat yang sama aku terus-menerus memikirkannya dalam lamunanku yang menyepi. Aku melirik keluar jendela di mana Lyon dan Sean mulai menyapa Nathan serta Dean yanng juga keluar dari mobil.
Tuhan, aku malu menunjukkan wajahku sekarang.
“Cher,” panggil Nalla menyikutku dari samping, aku tidak tahu kapan dia bangun dari tidurnya, “Dengar, aku mungkin sedikit memaksamu untuk ikut…”
“Nalla! Aku mau pulang!!!” rengekku seketika, “Aku nggak mau di sini!!! Cepat nyalakan mobilnya!! Aku mau pulang!!”
“Kau bercanda?!! Jarak ke rumahmu memakan waktu tiga jam tahu!!!” jawabnya panik sekaligus kaget.
“Aku nggak peduli!! Kalau kau nggak nyalain mobilnya aku akan jalan kaki sendiri!!”
“Buset ini anak! Sadar woy!! Akal sehatmu di mana?!! Pake mobil aja sudah tiga jam apalagi jalan kaki?!!”
Aku mengerang kesal dan langsung menyembunyikan wajahku di bahu Nalla. Tak sanggup melangkahkan kaki untuk keluar dari mobil ini. Atau bahkan menunjukkan wajahku pada dunia.
“Nggak ada gunanya begitu, Cher,” kata Nalla mengusap kepalaku, “Ayo, kita keluar!” katanya menarik tanganku.
Aku menggeleng beberapa kali, mengatupkan bibir, dan merasakan bagaimana wajahku memanas. Namun, Nalla yang tidak mengerti bahasa tubuhku hanya bisa menyeretku keluar dari mobil pada akhirnya.
Kemudian sekali lagi, mendapati diriku sendiri terkukung dalan tatapan mata kelabunya.
“Akhirnya kau keluar juga,” kata Lyon menyeringai.
Aku melotot padanya sebab tahu bahwa dari awal perjalanan ini, Lyon yang mengajak kami semua. Dengan enggan aku sedikit melirik Nathan yang kini raut wajahnya mengeras. Astaga apa yang sedang dipikirkannya? Apa dia marah? Apa dia kaget? Asal kau tahu saja, andai aku tahu kau di sini, aku juga tidak akan ikut!
“Aku tidak tahu kalau gadis ini ikut juga,” Sebuah suara keluar dari mobil yang lain dan kali ini aku hampir tersentak di tempatku berdiri.
Itu suara kakak Nathan. Marianne.
“Ha, Cher,” Detik selanjutnya sosok Laura yang mengikuti Marianne di belakang, “Lama tidak bertemu, ya?”
Tuhan, takdir apa yang sedang kau mainkan padaku? Kenapa semua orang tidak suka padaku ada di sini?!!
Argh!! Malunya!! Aku mau kabur!!
“Nah, karena semuanya ada di sini, gimana kalau kita atur siapa yang dapat kamar di dalam?” kata Lyon menunjuk ke villa di belakangnya.
“Maksudmu ada yang tidak dapat kamar?” tanya Dean menyipit pada Lyon, “Bung, kau mengira aku sudi tidur di sofa?!!!”
Sean menepuk punggung saudaranya itu, “Tenang, bung. Kau ini selalu saja berprasangka buruk,” katanya, “Pantas saja kau masih tidak punya pacar.”
Wajah Dean mengerut, “Kok aku kesel ya mendengar itu darimu?”
Lyon terkekeh dan kembali melanjutkan, “Di dalam villa ada empat kamar. Nah, kita ada delapan orang, jadi sekarang aku ingin membagi kalian semua supaya setiap kamar diisi oleh dua orang.”
“Eh?! Jadi, kita bisa tidur sekamar sama cewek?!!” sahut Dean antusias.
Bulu kudukku langsung berdiri mendengar perkataan itu. Aku kembali teringat ketika dulu aku pernah kebetulan dipasangkan dengan Nathan untuk sebuah tugas makalah. Bagaimana jika nanti aku malah sekamar dengannya?!!
Eh, tunggu dulu. Ini bukan cerita 17 tahun ke atas! Seorang laki-laki dan perempuan tidak boleh sekamar jika mereka belum menikah!!!
“Pikiranmu mulai kelihatan mesum, Dean,” kata Nalla datar.
Marianne mengangguk menyetujui, “Aku memang sedang jomblo, tapi aku tidak tertarik main cabe-cabe sama kalian,” ujarnya mengingat di antara kami semua, Marianne adalah yang paling tua.
“Tidak ada yang menanyakan status jomblomu itu, Marianne. Tenanglah,” kata Lyon tersenyum menahan tawa, “Jangan khawatir, pembagiannya kamar khusus untuk para cewek dan cowok. Tapi, bagaimana kalau kita buat lebih seru?”
“Seperti apa?” tanya Sean.
Lyon menyeringai dan mengeluarkan beberapa stik es krim bekas dari kantongnya. Aku menebak pasti dia sudah merencanakan ini. Kalau tidak, mengapa coba dia dengan sengaja membohongiku kalau rombongan Nathan akan ikut liburan ini. Sekarang, dia akan mengatur pengaturan kamar, padahal demi apapun aku hanya ingin sekamar dengan Nalla. Aku tidak bisa membayangkan betapa canggungnya dan malunya aku jika aku sekamar dengan Laura dan Marianne selama tiga hari dan dua malam?!!
Lyon sekarang sedang menggenggam 4 buat stik di tangan kirinya dan begitu pula di tangan kanannya, dia menjelaskan, “Untuk cowok, pilih salah satu stik di tangan kiriku. Untuk cewek, pilih di tangan kananku. Teman sekamar kalian adalah orang yang punya stik dengan yang sama panjang dengan kalian.”
“Serius nih? Kita memutuskannya dengan begini?” tanya Marianne dengan nada ragu-ragu.
Mendengar itu, Lyon hanya menyeringai, dan aku tidak tahu apa maksudnya, “Dari pada nanti rebutan kamar. Lebih seru begini.”
Aku ingin sekali mengatakan kalau aku tidak mau ini. Aku ingin sekamar dengan orang yang kukenal! Namun, rasanya aku agak malu mengatakan itu apalagi melihat para laki-laki dan bahkan Nalla terlihat santai dengan ini. Ugh! Ini menyebalkan sekali.
Semua orang mulai mengambil stik yang ada dalam genggaman Lyon. Harap-harap cemas, aku juga melakukan hal yang sama. Kemudian yang kutahu aku mendapat sebuah stik es krim yang pendek dan sudah terlihat dipatahkan dengan sengaja. Aku melirik Nalla berharap dia juga mendapat stik yang sama, tetapi gadis itu sudah mencelos menghampiri Marianne dengan antusias.
“Kita sekamar!!” sahut Nalla bersemangat sekali, “Kenalkan, aku Nalla.”
Raut wajah Marianne biasa saja, “Oh, salam kenal. Aku Marianne. Kakak Nathan.”
Kedua mata Nalla membulat terkejut, “Eh?!!! Kalian bersaudara?! Pantas saja.”
Aku sudah hampir ingin menawarkan diri supaya bisa sekamar dengan Nalla. Namun, gadis itu terlihat senang sekali mengobrol dengan Marianne. Andai aku lebih berani, aku ingin menghampiri mereka juga. Walaupun sebenarnya, aku masih tidak nyaman berhadapan langsung dengan Marianne.
“Astaga, kenapa kita harus selalu sekamar?” keluh Dean menatap stik es krim yang di dapatnya.
Sean terkekeh, “Kurasa sudah mulai dari rahim Ibu, kita selalu sekamar,” ujarnya.
“Kau tidak membuatku senang, Sean.”
“Wah, kita sekamar Nathan!” sahut Lyon memamerkan stik terakhir di depan wajah Nathan. Laki-laki itu bahkan belum mengatakan sepatah katapun.
Lagi pula, coba aku lihat apa yang akan kuhadapi.
“Cher, kita sekamar!” sahut Laura berlari kecil mendekatiku, “Seperti keberuntungan saja.”
Aku mengangguk dan tersenyum semampuku, “I-iya..”
Aku tidak bisa menyingkirkan perasaan bersalahku jika berada di dekat Laura. Maksudku, dia dulunya kekasih Nathan! Bukan hanya kekasih, mereka dijodohkan! Setiap kali aku melihat Laura, aku hanya ingin kabur secepatnya. Aku tidak akan sanggup menjadi korban kemarahannya.
Meski kalau dipikir lagi aku memang pantas mendapatkannya. Laura adalah seorang gadis. Dia pasti sedikitnya merasa marah padaku.
“Nah, karena semua orang sudah dapat kamar, gimana kalau kita mulai mengangkut barang bawaan kalian ke dalam, setelah itu kita bisa menyiapkan makan malam,” kata Lyon.
Aku baru sadar kalau kami baru tiba ketika sore hari. Mungkin ini sudah jam empat sore.
“Kalau begitu, aku membawa tasku ke dalam dulu ya, Cher!” sahur Laura melambai kecil padaku, “Sampai jumpa di kamar!”
Aku hanya tersenyum meringis mendapat perlakuan baiknya itu. Kenapa dia bersikap seperti itu? Membuatku semakin galau saja.
Beberapa detik kemudian, semua orang mulai sibuk membongkar bagasi mobil dan membawa beberapa tas dan barang-barang lainnya ke dalam villa. Aku ingin sekali ikut membantu, tetapi aku tidak berminat. Bukannya aku jahat atau apa.
Hanya saja, seluruh inti liburan ini, tidak sesuai dengan yang kuharapkan.
Setidaknya aku ingin sendiri sebentar dan berpikir bagaimana aku bisa bertahan tanpa merasa malu.
“Nalla, aku mau ke danau itu sebentar, “ kataku menghampirinya dan menunjuk ke arah pemandangan danau di belakang villa, “Aku mau menelepon orang tuaku,” kataku berbohong dan langsung mencelos pergi.
“Eh? Tu-tunggu, Cher! Sinyal di sini…” sahut Nalla yang kuabaikan di belakang punggung.
Aku tidak peduli lagi apa lanjutan perkataannya. Aku hanya ingin sendiri sementara waktu.
***
Tidak ada sinyal di sini. Tidak ada sama sekali, berkali-kalipun aku menjinjitkan tubuhku dan mengangkat tanganku lebih tinggi ke atas. Aku tahu, kalau menelepon orang tuaku itu hanya alasan agar aku bisa menyendiri. Namun, aku tidak menyangka kalau di sini sinyal ponselku benar-benar terkucilkan.
Aku menghela nafas dan memutuskan untuk mengambil foto pemandangan danau ini saja. Kulihat sekitar dan mendapati aku dikelilingi oleh pepohonan hijau nan subur. Langit yang bergradasi dengan warna biru dan jingga membumbung di atas kepala. Semilir angin nan lembut menggoyangkan dahan-dahan hingga membuat dedaunan jatuh di atas kepala.
Kusadari ketika sudah sore begini, udara di pegunungan sedikit menghangat. Aku jadi penasaran bagaimana jadinya aku menghirupnya ketika pagi menjelang.
Tak ada kebisingan yang berarti di sini. Selain suara burung yang kadang mencicit di kejauhan.
Di sini sangat… sepi.
Namun, aku suka kesepian ini.
Srakkk… Srakkk…
Tubuhku tersentak mendengar suara yang menggesek di antara semak-semak. Untuk alasan yang tidak kuketahui, aku mendapati jantungku berdegup lebih cepat. Aku tahu lingkungan di sini sebagian besar adalah hutan. Namun, bukan berarti aku akan bertemu harimau atau hewan buas lainnya.
Deg! Deg! Deg!
Maksudku, ini bukan cerita di mana hal menjijikan seperti itu terjadi ‘kan? Di sini bukan sarangnya ular raksasa yang akan memakanku hidup-hidup, ‘kan?
Deg! Deg! Deg!
Kegugupan ini rasanya ingin membuatku pingsan!
Srakk…
“Na…than?” pekikku tanpa sengaja, ketika tiba-tiba sosoknya muncul dari semak-semak.
Lelaki itu juga sama terkejutnya denganku. Namun, aku belum mendengar satu patah katapun darinya hari ini. Aku menundukkan pandanganku berharap bisa menghindarinya selama beberapa hari di sini. Melihat sikapnya sekarang, mungkin memang benar, Nathan membenciku sekarang. Tentu saja, apalagi kalau mengingat aku sudah menolak pernyataan cintanya. Baik saat kami SMP maupun sekarang.
Tidak ada gunanya aku menyesali semua itu sekarang.
“Ma-maaf… a-a-aku…”
Apa yang harus kukatakan sekarang. Hubungan kami bahkan lebih buruk dari pada pertemuan pertama kami. Jarak memisahkan kami mungkin sekitar satu meter jauhnya. Namun, bahkan ketika kami tidak saling berdekatan pun, aku merasakan dadaku berdebar kencang.
“Kau sedang apa di sini?” tanya Nathan yang membuatku terkejut.
Itu adalah suara pertamanya yang kudengar setelah kami sampai di sini. Mungkin sudah lama aku tidak lagi mendengar suaranya itu, “A-aku cuma ingin sendiri di sini…”
“Bukan,” tukasnya memotong ucapanku, “Maksudku, kenapa kau di sini?” ulangnya kali ini dia menekankan suaranya di tiap kata.
Aku mengerti apa yang sedang ingin diucapkannya. Kenapa aku bertemu dengannya lagi? Terlebih dengan keadaan kami sekarang. Seolah pertemuan ini, tak ada satupun dari kami yang menginginkannya.
Aku mengangkat bahuku, canggung, “Aku diajak saja kemari. Aku bahkan tidak tahu kalau kau ikut.”
“Pembohong,” desis Nathan menyeringai dengan cara yang aneh, “Kau ini sudah mengemis berapa kali, huh? Lyon pasti kasihan sekali padamu sampai mau mengajakmu kemari.”
Keningku mengernyit, “Kau ini bicara apa?” tanyaku, “Bukan mauku untuk datang ke sini!!!”
Laki-laki mendecak dan memalingkan muka dariku, “Apa kau tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang melihatmu di sini?!” katanya dengan meninggikan suaranya, dan mengusap wajahnya dengan salah satu tangannya frustrasi, “Cih, kau bahkan tidak tahu apa pun saat aku menyatakan perasaanku terang-terangan padamu. Aku muak denganmu. Mengapa aku bisa memiliki perasaan konyol itu saat bersamamu? Kau sendiri bahkan tidak pernah menjawab perasaanku dengan benar. Aku tidak…”
“KALAU BEGITU JANGAN TEMUI AKU LAGI!!!” teriakku sampai kurasa kata-kata itu bergema di antara pegunungan yang membisu.
Kedua mataku terasa memanas sekarang. Namun, mati-matian aku menahannya. Pandanganku terus menunduk ke bawah dan kuharap dia tidak menyadari isakan yang tertahan ini. Aku merasa bodoh sekali memikirkanmu selama ini. Aku tidak tahu ada apa dengan perasaanmu. Toh, kau juga tidak pernah mengatakan hal jujur padaku sedari awal.
Mana bisa aku mengerti perasaanmu.
Bukan mauku kalau kau memiliki perasaan itu. Bukan mauku jika aku juga memiliki perasaan yang sama untukmu, andai kau tahu. Aku juga muak. Aku juga muak merasa kalau perasaanku ini nyata-nyatanya masih tertuju padamu seorang.
“Bisakah kau menahan diri untuk tidak perlu mengatakan hal seperti itu di depan teman-teman?” tanyaku, sembari mengepalkan kedua tangan, memberitahu diriku sendiri agar suaraku jangan goyah, “Aku ingin berada di sini dengan tenang. Bukannya berdebat denganmu.”
Sesaat aku mengatakan itu, kuputuskan untuk pergi dari tempat ini dan menemui teman-temanku yang lain. Aku tidak bisa tahan jika terus berdekatan dengan Nathan. Dadaku terasa sakit sedari tadi. Rasanya sesak. Menjepit jantung dan paru-paruku hingga bernafas saja susah.
Padahal aku berharap jika kita bertemu lagi, di saat kita lebih tua dan bijak, di saat aku sudah mengubur perasaan ini dalam-dalam, aku mampu memandang wajahmu tanpa harus menangis. Namun, sekarang bukan waktunya.
Dalam pikiranku terus saja mengingat hari-hari kau membuatku meledak-ledak dengan perasaanku ini. Semua kenangan ini. Terasa begitu benar, serta terasa salah di saat yang sama.
Langkahku sudah mantap dan melewati Nathan begitu saja, tidak akan terlalu sulit. Toh, laki-laki itu sudah mengatakan kalau dia membenciku. Maka aku hanya bisa berpaling muka. Tak perlu menunjukkan wajahku yang sebenarnya begitu munafik.
“Berhenti,” kata Nathan seketika dia menarik pergelangan tanganku, dan membuatku memekik terkejut ketika jarak di antara kami terhapus.
Begitu dekat hingga kurasa hembusan nafasnya yang hangat mengenaiku puncak kepalaku.
Deg… Deg… Deg…
Jantungku. Astaga jantungku… Ini terlalu dekat.
Kurasakan genggaman Nathan ditanganku semakian erat, “Kau menyuruhku untuk menjauh. Kau menolak perasaanku. Kau menyuruhku menahan diri. Lalu katakan bagaimana caranya? Tatap aku dan katakan bagaimana caranya?! Bagaimana caranya aku menghapus dirimu dari perasaanku?! Katakan bagaimana…?”
Nafasku memburu bersama dengan debaranku. Aku masih menundukkan kepalaku menghadap tanah, tak berani menatap Nathan langsung. Aku tidak berani. Karena jika aku melakukannya, air mata ini akan keluar. Kau akan melihat sisi terlemahku dan aku akan mengorbankan apapun agar kau tidak perlu melihatku yang seperti ini. Aku tidak mau kau melihatnya.
“Benci saja aku,” lirihku merasa dongkol dengan kata-kataku sendiri, “Benci aku karena sudah menolakmu berkali-kali. Pakai saja alasan itu dan benci aku selamanya. Dengan begitu, kau bisa melupakanku.”
Ya, benar. Bencilah aku, Nath.
Bencilah aku dan berdo’a agar kita tak akan bertemu lagi. Anggap saja aku adalah kenangan burukmu. Kau tidak perlu tersiksa lama-lama karenaku. Itu hanya akan menahan dirimu untuk melihat bahwa kesempatan hidup itu terbentang di luar sana.
Kau masih pantas untuk hidup selama itu dan aku tidak perlu ada di dalamnya.
“Kau bahkan tidak menatapku sekali pun. Jahat sekali keegoisanmu itu,” Nathan mendecak dan menyentak tangannya lepas dariku.
Kemudian laki-laki itu pergi menjauh tanpa menoleh sekali pun padaku. Beberapa menit aku berdiri diam di sana, menunggu ketika kurasa Nathan sudah cukup menjauh. Saat itulah kakiku goyah dan tubuhku jatuh ditarik gravitasi, sampai ke atas tanah yang berumput. Aku menutup mulutku sekuat tenaga dengan punggung tanganku agar tidak mengeluarkan suara menyedihkan ini. Isakanku. Tangisku. Jeritanku. Seluruh perasaanku yang runtuh.
Kupikir, tak apa jika dibenci olehmu. Tak apa jika aku dibenci seluruh dunia karenamu.
Jika kau masih di sini. Hidup dengan tersenyum. Maka alasan itu cukup untukku membuatku sanggup berpisah darimu.
Sungguh itu cukup.
Anak sungai itu terus mengalir di pipi yang memerah ini. Mengalir dalam sunyinya jeritan hati yang pilu. Mengubur kenangan bagaimana masa SMPnya dulu terasa begitu indah dan begitu rapuh untuk dihancurkan. Bagaimana akhirnya cinta pertama itu semestinya tak akan pernah terulang bersama waktu.
***
(Axelyon)
Aku mendapati diriku duduk di atas tangga masuk ke villa, melamun menatap layar ponselku sendiri. Bukan berharap akan ada yang menghubungiku. Toh, di sini aku tidak akan menemukan satu garis sinyal pun. Aku hanya merasa cemas setelah semua yang terjadi hari ini, aku hanya bisa berharap sesuatu yang baik terjadi.
“Di sini kau rupanya,” sahut seorang gadis menunggu di depan pintu dengan rambut hitamnya yang terikat menyampir ke bahu.
“Mau apa kau mencariku, Laura?” tanyaku berpaling muka darinya.
Kudengar langkah gadis itu kemudian mendekatiku dan seketika gadis itu sudah duduk di sampingku, “Kau ini payah sekali tadi,” katanya.
Keningku mengerut, “Payah bagaimana?”
Gadis itu mengerucutkan bibir dan berkata, “Membuatku tidur sekamar dengan gadis itu,” jawabnya, “Kau membuatnya terlihat seolah kau memang merencanakan itu.”
“Kenapa memangnya? Kau tidak suka?”
“Kau sudah tahu apa yang kupikirkan tentang gadis itu,” kata Laura ketus.
“Kenapa nggak tukeran sama Marianne saja? Atau Nalla? Mudah, ‘kan?”
Gadis itu melotot padaku, “Oy, kau itu bodoh, ya? Jika aku melakukan itu, maka sama saja Semua orang tahu kalau aku tidak suka dengan gadis itu.”
Aku menyeringai dengan jawaban yang kudapat, “Terserah kau saja, tetapi aku memintamu untuk melakukan ini bukan untuk keinginanmu saja. Aku juga ingin kau memaafkan Cheryl.”
“Itu butuh waktu lama,” kata Laura sembari berdiri dan kembali masuk ke villa, “Aku capek bicara denganmu. Rasanya tidak berguna sama sekali.”
Aku tersenyum miring melihat sikapnya yang meskipun samar-samar, aku bisa melihat dia sedang menimbang-nimbang ucapanku tadi. Kuhela nafas dan berpikir mungkin aku harus membantu si kembar menyiapkan api unggun.
***
Berlanjut ke Bab 27
Yey udah jadi new cover wuhuu 😁Tekan tombol bintang itu apabila cerita ini memang bagus oke?? 😄
Komentlah apabila kamu mau ngomong sama si otor 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
First (Tamat) | 1
RomanceLaki-laki menjijikan itu.... Nathan? Laki-laki yang ber...ciuman... kemarin itu... NATHAN?!!!!!! *** Hari itu adalah pengalaman pertamanya untuk segala kemungkinan yang terjadi. Cheryl White baru saja memulai kuliahnya, tetapi satu persatu masa lalu...