Dia itu Jun. part 2

268 42 2
                                    

"Kemana, Mam?" Aku menengakkan kepala setelah menatap dua box donat dengan cap Dodapi di atasnya. Dari tampilannya saja sudah menggugah selera orang awam, apalagi dengan isinya. Tapi maaf, seleraku sudah mengkerut sejak lima tahun lalu.

Papa begitu senangnya ketika mendapatkan bonus dari kantor sehingga berniat menginvestasikan hartanya untuk sesuatu. Sebagai isteri yang baik, Mama menggusulkan membuka toko atau kafe kecil di persimpangan jalan.

Papa tidak langsung setuju fengan usul Mama, banyak ke khawatiran yang merundung pria paranoid itu.

Namun, apalah daya. Mama sangat jitu dalam hal merayu Papa. Memang benar, perempuan paling bisa menundukkan laki-laki. Dari situ, tak heran bila Papa dahulu cinta mati pada Mama.

"Biasa, langganan Bibi Sin." Aku menhernyit bingung sebelum membulatkan bibir membentuk huruf O.

"Jalan Kina yah? Atau bukan?"

"Iya, tapi rumahnya di komplek sebelah, jalan Kina yang kecil." Mama berlari kecil saat denting oven berbunyi. Roti unyil yang menjadi kesukaan pelanggan Dodapi baru saja matang. Aroma khas menguar menusuk hidung. Mata mereka menutup seraya menghirup lebih banyak udara saat ini. Mencoba menikmati sore dengan aroma khas roti unyil. Tapi aku tidak seantusias mereka.

Sudah ratusan bahkan ribuan kali aku mencium aroma ini, kelewat bosan rasanya bila ingin dijabarkan.

"Nih alamatnya," Mama menyerahkan secarik kertas putih, "cepetan beranfkat, biar Tante Sin nggak nunggu kelamaan!" Seri Mama kemudian berlalu menyuruh pegawainya melayani permintaan pembeli.

Tampak sore ini kafe sangat ramai. Setiap ada bangku kosong, langsung diduduki. Seakan tak ada kesempatan untuk si bangku bernafas sebentar.

Aku menghela nafas panjang.

'Coba kalo lu ada disini Buy, bisa gua jadiin babu.'

Meski memang benar Arbuy ada disini, tak akan pula ku minta ia mangantar pesanan Mama. Masalah tadi belum selesai bagiku. Perasaan bersalah pada si kampret ditambah rasa kesal dengan si Arbuy belum juga hilang.

Aku menoleh kesana kemari sambil sesekali melirik kertas mencocokkan alamat. Masa iya, belum ketemu juga rumahnya. Padahal, jalan Kina bukan lagi tempat asing bagiku. Sudah berapa kali aku melewatinya.

Perjalanan ini,

Terasa sangat menyakitkan,

Sayang engkau tak disampingku kawan,

Alunan musik Iwan Fals terdengar samar bagiku. Entah apa yang terjadi,tapi ini benar menyentuh. Mungkin karena keadaan yang mendukung. Tentu bukan maksud diriku tuk baper hanya karna lagu.

'Het, Siapa yang nyetel ni lagu, sengaja banget ledek gua,'

Aku berhenti sebentar. Meneliti lebih alamat yang tercantum. Huh. Entah sudah berapa kali aku menghela nafas.

Kemana... kemana, kemana...

Kuharus mencari kemana...

Aku mendongakkan kepala kaget. Menatap lurus ke depan. Seakan tak percaya dengan apa yang baru ku dengar. Musik Iwan Fals tadi sudah selesai rupanya, atau memang sengaja diganti?

Sekarang, lagu Ayu Ting Ting yang berganti mengalun. Mengalun merdu layaknya ejekan tersirat.

Aku menoleh kesamping. Menelusuri sumber suara yang tadi kudengar.

Rumah yang bisa dibilang mewah terdampar disana. Dengan halaman luas disampingnya yang memanjang hingga ke belakang. Ditambah pintu pagar yang hanya beberapa meter dari pintu rumah.

SALSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang