'Sialan tuh bocah!'
Sambil sesekali aku mencibirmya tanpa suara. Dan mengumamkannya dalam hati. Aku masih menekuni mengayuh sepeda.
'Yakin. Gak seratus persen gua salah. Dia juga salah lah.'
Aku terjebak dalam situasi ini. Bingung antara benci atau bersalah. Yang pasti, kesalahanku tidak sepenuhnya padaku.
Tadi dia mengaku kejatuhan kaki cecak pada ibunya. Ingin rasanya tergelak saat itu juga. Tapi, mengingat cecak yang dimaksud mungkin saja aku, rasa kesal langsung menjulur tanpa tendeng-tendeng.
Pikiran ini masih berkecamuk menemani tiap detik kayuhanku. Membiarkan hening menyeruak diluar dan ribut dalam batin.
"Aish.. kelewat." Gumamku ketika belokkan jalan Cendana tidak kulalui.
***
Terlihat barista muda umur 27 tahun tersenyum menerima uang dari pelanggannya. Ia terlihat manis untuk umurnya saat ini. Kumis tipis ditambah bakal jambang yang terawat terkesan pas sekali. Belum lagi ketika ia tersenyum, whoah, deretan gigi putih tersusun rapi disana. Tampan bukan, om ku satu ini?
Ting!
Pintu berbunyi kala aku memasuki kafe dengan tulisan Vanaco di atasnya. Barista itu menoleh, lalu tersenyum tiga senti kala mengetahui siapa yang datang.
"Hai Om!" Kududuki salah satu kursi disamping mesin pembuat Es Krimnya.
"Dah lama kamu gak kesini?" Ia menepuk celemek coklatnya lalu mengambil cangkir putih dengan corak coklat bertuliskan Vanaco di tengahnya.
"Hehehe. Kemaren banyak tugas, om." Aku tersenyum dengan kesan nyengir. "Tau sendirikan, gimana sibuknya kelas dua belas."
Barista sekaligus pemilik kafe di depanku kini mengangguk membenarkan. "Mau?" Ia mengangkat cangkir tadi, dan menyodorkannya padaku.
"Gratis?"
"Hem."
"Mau lah. Apalagi yang gratis. Hehehe."
Aku menyesap susu hangat itu perlahan.
Mmm. Serius, ini enak. Beda sama susu sachet lainnya. Benar-benar top.
"Oiya Om Won, Salsa mesen Es Krim Setoberi," aku menjeda minum sesaat, "biasa. Buat Silsi."
"Siap. Cuma satu? Kamu nggak?"
Aku kembali senyum kecil. "Hehe. Ra ndue duit Om. Duit jajanku wes entek. Sisane tak tabung." Kembali aku menyesap susu coklat di hadapanku.
"Mau gratisan?" Bukan Om Won yang mengatakannya.
Aku menoleh ke samping, satu sosok mahluk tersenyum menyakinkan ke arahku.
"Mau lah, lu traktir gua yak!"
Arbuy menaikkan sebelah alisnya. "Keliatan banget lu ra nduhe dhuit." Kelihatan jelas Arbuy tak punya bakat berlogat Jawa.
Ingin rasanya tergelak sepuasnya. Tapi mangingat disini masih banyak pembeli, aku menahannya.
"Nggak usah sok pake Bahasa Jawa Buy, kocak. Hahaha."
"Sha kharep ku," lanjutnya.
"Sa karepku, Buy." Aku membenarkan pelafalan Arbuy yang salah itu. Lucu juga ternyata Arbuy ini.
Om Won sudah meracik pesanan yang ku pesan tadi. Arbuy menarik kursi dibelakangnya, lalu menyajarkannya dengan posisiku saat ini.
"Om, satu ya! Biasa." Om Won mengangguk mengerti. Ia sudah hafal dengan Es Krim kesukaan Arbuy. Arbuy seakan tak bisa move on dari menu yang satu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SALSA
Ficção AdolescenteAmatir version "Ha! Lu gak ngerasa?" Aku berdecak sebal, "emang bener ya, cowok kurang ajar tuh gak punya kepekaan!" Lanjutku masih dengan suara tinggi. "Lu kalo mau caper mending jangan sama gua. Percuma. Gak mempan di gua!" Ia meraih tasnya lalu b...