Kelopak mata lelaki itu perlahan terbuka. Ia sepertinya agak sedikit terganggu dengan alarm di atas nakas. Ok ralat, dia benar-benar terganggu sekarang. Lihat saja, kini bantal yang dipakainya telah berubah posisi menutupi kedua telinga dengan dililitkan di kepala. Namun bunyi alarm sialan itu tak kunjung reda. Dengan sangat terpaksa lelaki itu bangkit meraba nakas di sebelah kasurnya.
Dengan sekali sentuhan, alat sialan tersebut berhenti. Ia bersiap kembali ke tempat terbaiknya sekarang. Meneruskan apa yang tadi sempat terganggu tanpa memedulikan hari ini.
Disisi lain, tepatnya di ruangan sebelah. Nampak lelaki seumuran dengan paran tampan tengah memegangi kepala menahan rasa pusing yang tiba-tiba melanda. Ia tidak mengerti mengapa ini terjadi. Padahal seingatnya, kemarin ia baik-baik saja.
Jun namanya. Keturunan Indonesia juga Spanyol dari darah kakeknya. Umurnya masih bisa dikategorikan muda. Jelas, ia kini duduk di bangku SMA.
Ini adalah hari pertamanya sekolah di Indonesia. Setelah sebelumnya ia tinggal di New York bersama Mama angkatnya juga saudara kembarnya.
Dan jangan lupakan Rayhan. Lelaki dengan tubuh tinggi juga bulu mata lentik yang bisa dibilang kembarannya.
***
Tok tok tok
"Hmm..." Rayhan mengeliat malas. Rasa pegal akibat perjalanan semalam, belum hilang.
Tok tok tok
Untuk yang kedua kalinya si pengetuk belum juga menyerah.
Tok tok TOK TOK TOK!!
Kali ini lebih menuntut. Ketukkannya mulai terdengar keras. Memaksa Rayhan membuka matanya. Ia bangkit dengan terpaksa lalu berjalan menuju pintu. Dibukanya, tampil sosok Jun dengan jari telunjuk memijit pelipisnya dengan gerakan memutar.
Rayhan menaikkan sebelah alisnya. "Hmm... kenapa?" Suaranya terdengar serak.
"Mana tas gue?"
Kening Rayhan mengerut. Mencoba mencerna kata-kata barusan.
"Tas lo?" Tanyanya balik, "tas lo yang mana?"
Desahan kesal terdengar samar "Ish, kemaren kan lo pinjem tas gue pas di New York. Masa lu gak inget?" Jelas Jun mencoba mengingatkan.
Rayhan berpikir sejenak. Mengingat-ingat sesuatu yang sepertinya terlewatkan. Mukanya menciut teringat sesuatu.
Oh tidak! Ia lupa membawanya ke Indonesia, alamak! Rayhan baru ingat, ia meletakkannya begitu saja di atas kasur selepas pulang dari acara malamp teman-temannya.
"Mana? Gue mau bawa ke sekolah. Cepetan!" Lanjut Jun sambil sesekali memijit kembali pelipisnya.
Rayhan bingung ingin mengatakannta dari mana. Mood Jun pasti sedang buruk pagi ini. menyadari satu hal.
Nada bicaranya rada serak. Apa ini anak sakit?Baguslah kalau memang begitu. Bukan apa-apa, gue terbebas dari cercaannya soal tas selama sehari. Yah, paling tidak ia tak menggunakan alasan tas dengan mengunggkitnya bila sedang bermasalah sama gue, untyk sementara sampai dia tau.
"Lo sakit, Jun?" Rayhan maju seraya menempelkan punggung tangannya di kening Jun. Ia tersenyum jahat memikirkan ide cermelang di otak pintarnya itu.
Jun menepis pelan tangan Rayhan. "Gak tau, yang penting gue mau sekolah. Cepetan!"
Rayhan berpikir sejenak, ia tidak boleh kalah dengan keras kepala Jun akan sekolah. Ia harus cari cara supaya Jun bersedia tidak sekolah. Lagipun, ia malas bila harus menganti tasnya saat ini juga. Hari ini seharusnya ia jadikan free day. Bebas dari semua tekanan yang ada. Termasuk ribut dengan Jun.
"Lo itu lagi sakit Jun. Lo gak usah sekolah. Lagian lo ngapain sih sekolah, hari pertama tahun ajaran baru emang udah ada pelajaran?" Ucap Raihan.
"Ralat. Ini hari ketiga kala bapak belum tahu!" Sindir Jun balik.
Rayhan tak habis akal. "Gue juga yakin, Mama pasti nggak akan ngasih izin lo buat sekolah kalau tau ini."
Jun menatapnya tak percaya. Bener juga nih abang gue satu.
Dan setan dalam diri Rayhan bersorak girang. Ia berhasil menginterupsi kembarannya ini. Memang dari mereka berdua, Rayhan terkenal licik plus cerdik. Dua hal itu hanya beda tipis.
"Nurut dikit sama Abang! Gue gini-gini abang lo," lanjutnya.
Jun memutar bola mata, "cuma mengingatkan kali aja lo lupa, lo sama gue cuma beda 30 menit doang. Gak usah bawa abang-abangan."
"Terserah dah apa mau lo. Yang pasti gue gak ngijinin lo buat sekolah hari ini. Kalau lo nekat, gue lapor ke Mama biar duit jajan lo dipotong, gimana?"
Pusing di kepala Jun bukannya semakin berkurang, malah makin menjadi. "Gue gak peduli sama duit jajan. Gue gak mau ada Absen di catatan kehadiran gue." Jun masih mempertahankan ego nya.
"Timbang absen sekali doang masa gak bisa? Absen sekali gak akan buat lo bodoh dan gak naik kelas. Jadi tenang aja." Balas Rayhan santai.
Tangan Jun menjalar kearah atas kepala. Pusingnya kini merambat ke ubun-ubun. "Intinya, gue tetep pengen sekolah meskipun lo lapor ke Mama. Masa lo mau menghambat anak yang rajin menuntut ilmu. Gak peduli gue. Yang penting gue sekolah. Titik." Jun hendak memaksa mendorong dirinya memasuki kamar Rayhan. Berinisiatif mengambil tas nya sendiri.
Rayhan panik bukan main. Ia harus mencari akal yang lebih lagi supaya Jun mau menurut.
"Oke oke. Gini aja. Gue bakal gantiin posisi lo. Gue nanti berangkat sekolah ke sekolah lo dan belagak bahwa gue adalah lo meski bukan. Gimana? Lo harus setuju!" Rayhan mendengus memhembuskan nafas kasar. Ia mengambil keputusan sulit dengan melibatkan dirinya dalam urusan ini. Padahal ia sudah bertekat menjadikan hari ini free day. "Inget, lo harus jaga diri lo. Gak usah maksain sekolah kalo lo sakit. Bayangin ekspresi Mama kalau tau anaknya memaksakan sekolah meski sakit." Lanjutnya makin keras.
Jun membatin mengiyakan apa yang dikatakan abangnya itu. Benar juga, pikirnya.
"Oke. Gue terima usul lo. Gue bakal istirahat disini dan lo gantiin gue." Jun tersenyum kecil, berhubung pusing yang dialaminya lumayan sakit, tadinya Jun ingin mengalah untuk mendengarkan Rayhan dan absen hari ini. Tapi, Rayhan sudah terlanjur menawarkan diri mengantikan posisi, ya sudah rezeki tak boleh ditolak. "sekarang cepat mandi siap-siap berangkat sekolah!" Suruhnya kemudian. Jun berbalik menuju kamarnya, ia tersenyum menahan geli membayangkan ekspresi Rahan tadi seperti apa.
***
Air shower mengucur membasahi tubuh bagian belakang Rayhan. Ia mengusap kepalanya yang basah ke belakang.
'Coba tadi gue gak usah sok sok an mau gantiin posisi dia, gak perlu repot kan gue.'
'Lagian tuh anak kekeuh bener sih pengen sekolah, gua aja yang banyakan bolos selalu naik kelas. Gak bego-bego amat juga!'
Raihan mengusap wajahnya kasar. Ia mendesah frustasi mengingat kebodohanya barusan.
'Bodo amat lah. Cuma sehari doang kan ya?! Cuma sehari doang rei,' Raihan menyemangati diri sendiri. Ia bertekad akan menjalani hari ini dengan enjoy, karna besok, ia akan kembali ke sekolahnya.
Memang sengaja, sekolahnya dengan sekolah Jun berbeda. Katanya sih biar antimainstrem gitu kalo anak kembar beda sekolah. Salah satunya juga agar teman-teman mereka tak ada yang tahu kalau mereka ini kembar. Tentu saja ini Rayhan yang mengemukakan usul beda sekolah. Ia sebenarnya tak peduli jika fibandingkan oleh teman-temannya dengan Jun yang memiliki sifat dan berkepribadian berbanding terbalik dengannya, ia hanya ingin dirinya bebas berbuat apa saja jika Jun tak satu sekolah dengannya.
***Pencet bintang yoo... ^-^
KAMU SEDANG MEMBACA
SALSA
Teen FictionAmatir version "Ha! Lu gak ngerasa?" Aku berdecak sebal, "emang bener ya, cowok kurang ajar tuh gak punya kepekaan!" Lanjutku masih dengan suara tinggi. "Lu kalo mau caper mending jangan sama gua. Percuma. Gak mempan di gua!" Ia meraih tasnya lalu b...