"Huh." Aku merebahkan tubuh di atas gumpalan kapuk. Mataku menatap langit-langit kamar yang kosong dengan lampu LED di tengah. Kedua tangan ikut ku hempaskan pula tanpa tenaga, mengikuti badan yang sudah duluan rebah. Tangan kanan masih memegang kertas kuning tadi.
Sungguh, sampai sekarang, aku belum mengetahui secara pasti siapa itu Fakih. Siapa dia yang bisa membuatku tertawa dengan surat konyolnya. Siapa dia yang memberi hadiah lain dari yang lain. Siapa dia yang mengaku calon imamku di tengah malam begini. Siapa dia yang bisa mengetahui alamat rumah pula sekolahku dengan tepat. Siapa dia? ya, siapa dia, Aku belum bertemu.
Yang ku yakinkan hingga saat ini, dia bukanlah orang jahat yang ingin usil ataupun menerorku dengan surat ancaman ataupun semacamnya. Yang ku yakin, dia bukanlah cowok romantis yang membuat cewek senang dengan teddy bear ataupun mawar merahnya.
Kuharap, kita dapat saling berjumpa dan kau tidak bersembunyi lagi. Tak puas kah dirimu bersembunyi selama ini di balik surat-surat? Aku saja, yang menerima suratmu sudah bosan tak henti.
***
"Hey," seorang lelaki memanggilku dengan 'hey' dari belakang, "hey," ucapnya lagi tuk yang kedua kali. Aku menoleh tanpa tahu siapa yang disana.
"Loh? Elo? Kok disini?" Bibirku sedikit terbuka sebab terkejut melihat kehadiran Arbuy di depan mata. Yap! Tepat satu meter jarak antara kita. Buat apa juga, pagi-pagi gini udah stand by di pager. Pikirku menerka.
Kulihat gelagatnya sebentar. Mencoba mencerna kejadian saat ini. Dan oh! Apa mungkin, dia mau ngajak bareng ke sekolah? Tapi aku kan sudah menolaknya kemarin saat Arbuy meminta.
"Bukan, bukan itu kok," jawabnya santai menjawab batinku yang bertanya. Aku melongo. Kok dia bisa tau?
"Gua mau nanyain jawaban lu atas pertanyaan gua kemaren,"
Pertanyaan kemarin? Yang waktu di kantin mungkin.
"Gimana? Udah ketemu?" Lanjutnya lagi.
Huh! Boro-boro ketemu. Mikirin aja udah mumet.
"Make tempel koyo kalo mumet mah," lagi-lagi Arbuy menjawab suara batinku.
Dag! Dig! Dug! CETARRRRRR!
Dia bisa mendengar semua. Gimana ini. Panik ini mah.
Okeh. Salsa tenang. Tenang. Tenang. Jangan pikirin mecem-macem dulu nanti dia bisa tau.
"Soal kemarin..." aku diam sejenak. Mengisi kekuatan mental menghadapi Arbuy. Sebisa mungkin, ku redam suara batin yang sudah tak sabar berkoar mengatakan jawaban. Aku masih berusaha. Berusaha agar tidak melontarkan kata-kata menyakitkan, baik dari batin maupu langsung.
"Emm.. gu.. gua.." mengisi kekuatan ternyata belum cukup jugam terbukti, bibir ini masih kaku tak berdaya.
"Okeh," potong Arbuy tiba-tiba.
"Gua ngerti. Lu jangan jawab sekarang. Gua gk sanggup dengernya. Takut gua pingsan, kan gk lucu kalo ada cogan pingsan di pager sambil nyender."
"Eh," aku menggaruk kepala salah tingkah. Binggung juga mau ngapain.
"Udah kan?" Tanyanya lagi.
"Udah apanya?"
"Udah dulu ya sampai sini aja, nnanti kita lanjut di sekolah," Arbuy menyungingkan senyum manisnya, "bagun gih sonoh. Mandi, jangan lupa bersihin iler."
Bangun? Nggak salah ngomong bangun?
"KAKAKKKKKK!!!! BANGUNNNN!! JANGAN KAYAK KEBO APA!!!"
DUARR..
Suara silsi mengelegar mengisi tiap seisi ruangan itu. Pula, sukses membuat aku terperanjat bangun setengah kaget. Mataku melek, membulat segar. Kantuk? Udah hilang seketika.
Setelah nyawa terkumpul semua, Silsi, lansung mendapat tatapan evil dariku. Harus banget apa, bangunin pake teriak? Maksud dari tatapanku. Silsi mundur menjauh, bak orang ketakutan. Dan, menjulurkan lidah lalu kabur dengan suara langkah kaki menuruni tangga.
"Kebo dasar. Huahahaha," teriak Silsi kala menurini tangga yang sengaja supaya didengar aku.
Huft.
Untuk sesaat, aku lega. "Jadi, tadi cuma mimpi? Alhamdulillah," gumamku sendiri mengelus dada lega.
"Tiga puluh menit?! Yang benar aja tinggal setengah jam?!" Langsung. Tanpa ba bi bu, aku melonjak kaget setengah mati. Berlarian kesana kemari. Pula mengerjakan dua kegiatan-makan sambil menyiapkan pelajaran-sekaligus. Itu terjadi, setelah jam yang tertempel di dinding menunjukkan pukul 06.31.
"Dah Mama!" Sambil melambaikan tangan, Silsi memulai mengayuh pedal sepeda. Ku sempatkan menoleh kebelakang lalu tersenyum pada Mama.
Pukul 06.50 kami berangkat dari rumah tentunya menaiki sepeda. Laju sepeda kami semakin cepat kala aku melihat tinggal sisa 5 menit lagi sebelum jam 7 tepat.
Jarak antara rumah dengan sekolah Silsi tak terlalu jauh. Cukup 15 menit sudah sampai di gerbang. Adikku ini sedang pengertian, ia segera mengusirku takut telat nantinya. "Cepetan pergi, sekolah kakak kan jauh," dia berseru "dadahnya lain kali aja!" Lanjutnya lagi lalu menggiring sepedanya masuk ke dalam
Logika berkata, tak ada waktu lagi untuk sampai. Sisa hanya 10 menit sebelum bel masuk-pukul 07.10- bersdering. Dan aku, masih lumayan tuk sampai di sana tepat waktu. Tapi hati berkata, selagi masih ada waktu, terus kayuh. Siapa tau ada keajaiban.
Dua pendapat itu masih bergejolak di benakku. Aku tahu, memang sudah langganan tuk seorang Salsa ngaret. Bahkan, aku menyebut diri sendiri Miss ngaret. Padahal, baru beberapa hari yang lalu, seorang Salsa datang tepat waktu selama 2 minggu berturut-turut. Eantah karna faktor apa, aku tak tahu karna banyak faktor yang mempengaruhi. Saat ini, benakku ingin sekali berkata miss ngaret is come back, tapi hati masih berharap ada peluang.
"Huh.. hahh.." aku sudah tak sanggup lagi. Nafasku menderu cepat, suara kewalahan sudah keluar sedari tadi. Sudahlah, hati kau sudah kalah. Aku lebih memilih logika sekarang.
Tepat setelah aku berbatin seperti itu, harapan muncul kepermukaan. Motor ninja hijau berhenti tepat di sampingku dengan pengendara tampan yang pastinya si sipit, Jun.
Mataku berbinar kala ia membuka kaca helmnya. Aku yakin, kali ini, ia menawariku tumpangan agar sampai kesekolah tepat waktu. Ku lihat tempatku sekarang, di sana ada bengkel, bisa ku titipkan sepeda di sana sebelum nebeng sama Jun."Sal," panggilnya.
"Hah?" Aku menoleh pada Jun, "bentar nitip sepeda di bengkel, lu tunggu sini ya." Aku hendak mengayuh ke tempat bengkel.
"Mau ngapain emang?"
"Kan nantu gue nebeng ama lu!"
Jun tersenyum bahagia. "Dih, ge er. Sapa juga yang mau ngajakin elu." Dengan santainya ia berkata, "duluan ya.. ati-ati di jalan. Bye!" Sambil menyentil keningku ini.
Huh, memang dasar cowok. Tidak ada pengertiannya dikit apa?! Dengan santainya meninggalkan cewek di pinggir jalan tanpa menawari tumpangan.
***
------------
Kykny chapter "dugaan" akan ad sampai 3 chapter..Almas lgi fokus buat ujian sama buat cerita baru yang Insyaa Allah bakal jdi sekuel cerita SALSA. tpi cerita sekuelnya nnti pakai sudut pandang.. cowok.. yg bernama...
Liat aj nnti.
Sayangnya.. almas mau publish cerita itu di wattpad rencananya nnti klo udh tamat SALSA. Tpi gk tau juga. Spa tau berubah.
______
Untuk sider n reader.. maap yak.. yg udh mint lanjut tpi almas slow update.. maklum.. bntr lagi UN. Mungkin akan hiatus sebulan. Maybe.
Okeh, voment nya dund gaes.. jgn jdi sider setia aja.😊😊
Bntu almas dengan vote n coment. Kritik sarannya boleh. tpi di revisi nnti klo dh selese.
______
Bekasi, 16 Maret 2018
Almas T Salsabila
KAMU SEDANG MEMBACA
SALSA
Teen FictionAmatir version "Ha! Lu gak ngerasa?" Aku berdecak sebal, "emang bener ya, cowok kurang ajar tuh gak punya kepekaan!" Lanjutku masih dengan suara tinggi. "Lu kalo mau caper mending jangan sama gua. Percuma. Gak mempan di gua!" Ia meraih tasnya lalu b...