Hujan

200 36 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah dari tadi berbunyi. Satu persatu murid kelas 12 B menghilang. Jun juga sudah pulang duluan sepertinya. Aku mengeluh lelah dengan semua ini.

BRAKK!!

Mora mengebrak meja. Mukanya mesem mesem sesuatu. Arbuy menaikan alis bingung. Mora hari ini terlihat lebih exited dari biasanya -walaupun memang dia selalu exited-.

"Ayo Sal!" Mora mengenggam tasnya penuh semangat.

"Lu duluan aja" ujarku malas. Kaki ini serasa berat untuk melangkah.

"Dah sonoh! Udah di usir juga." Lanjut Arbuy kemudian, "nanti Salsa nyusul, gua anter!" Arbuy main nyerocos mau nganterin. Gaya nya udah kayak majikan. Main perintah perintah aja.

"Main anter anter bae. Diijinin juga belom" seruku tak terima.

"Sal, dia itu cemburu. Nggak sudi lu dateng kerumahnya" Mora kembali mengejek.

"Udah gua bilang, jangan sotoi" Arbuy memiringkan kepala pada Mora. "Emak nya Salsa yang nyuruh gua" "nggak percaya? Nih!" Arbuy menunjukkan ponselnya pada kami.

Ternyata benar. Mama mengirimi Arbuy pesan. Menyuruhnya menjaga kami, mungkin karna 2 hari yang lalu beredar berita penculikan di sekitar daerah kami. Itu sebabnya mama mengirim Arbuy SMS.

"Yaudah gua mau dianterin" kataku padanya, "tapi cuma sampe halte!" Lanjutku dengan menegaskan kata terakhir.

"Sampe halte?" Arbuy seakan tak terima dengan keputusanku ini.

"Gua kesana sama Mora. Jadi, lu nggak usah khawatir" ujarku bak seorang ibu nasihatin anaknya. Mora senyam senyum girang. "OK?" Sambungku pada Arbuy.

Arbuy hanya diam tanpa ekspresi. Mora menatapnya menang. "Kalau gitu, ayo cepetan!" Mora udah kebelet banget pengen ke rumah Jun.

Tapi kalau dipikir pikir lagi, kasian juga Arbuy. Kemarin aku nggak bisa ikut ke Vanaco, sekarang nolak ajakan dia. Apalagi dia lagi galau gara gara si gadis flashdisk putih sama cowok lain. Hedeuh...

"Lu duluan aja Mor, tunggu di halte. Nanti gua nyusul bareng Arbuy" ide cermelang yang lewat secara tiba tiba. Membuat Arbuy agak baikan. Walau ia tidak mengatakannya, tapi bisa dengan mudah terbaca di wajahnya.

Mora mengiyakan ajakan ku. Mungkin dia udah terlanjur kesemsem, jadi langsung menganguk dan kabur keluar kelas. Aku hanya tersenyum memperhatikan tingkah sahabatku yang satu ini.

***
Begitu di halte, aku mengedahkan pandangan mencari Mora, tapi dia tidak terlihat dimanapun. Firasat buruk mulai menari nari dikepala. Arbuy manatapku penuh tanda tanya.

Drrt... Drrt...

Pesan masuk dari Mora. Untuk sesaat aku merasa lega.

From: Mora

Sal, gua nggak bisa ikut:'( mamih gua udah nyampe di rumah. Gua ditelpon suruh balik. Maafkan Mora sal:'(

Aku menghela nafas panjang. Arbuy sepertinya tahu Mora tidak bisa datang.

"Gua turut berduka sal" Arbuy menepuk pundakku pelan sambil menunjukan raut wajah sedihnya yang pasti hanya akting. "Gua tau ini sulit, tapi lu sabar yaa. Ada gua disamping lu" serunya lagi. Penyakitnya mulai kambuh. Orang disekitar halte memperhatikan kami berdua. Terlihat seperti seseorang ditinggal mati temannya. Tapi Arbuy tidak peduli. Dia tetap kekeuh menjalani aktingnya. Aku memanyunkan bibir sebal kearahnya. Walau aslinya pengen ketawa ngakak.

***
Kopaja hijau datang. Aku tersenyum sampai jumpa. Tapi Arbuy protes pengen ikut. Alasanya karna aku nggak ada yang jagain.

"Gua bisa jaga diri kok! Hati hati dijalan. Dah" kataku seraya melambaikan tangan kearahnya. Arbuy terpaksa balas melambaikan tangan.

Begitu kopaja melaju, aku duduk menghadap jendela. Memandangi langit yang kelabu. Kota Jakarta masih padat. Kopaja hijau ikut mengantri melewati jalan. Awan kelabu setidaknya mengurangi terik kota Jakarta ini. Pertanda butiran air akan segera turun.

***
Hari menjelang magrib begitu aku turun dari kopaja. Gemuruh petir terdengar saling bersahutan. Seakan memperingati akan turun hujan. Tetes air pertama turun diiringi tetes air berikutnya.

Rumah Jun masih lumayan. Hanya dibekali tas sebagai penutup kepala, aku memberanikan diri menerobos lebatnya hujan.

Tas sepertinya tidak cukup lebar untuk menutupi tubuh ini. Perlahan baju putih basah kemudian menyambar rok abu. Sudah tidak tertolong lagi. Salsa basah kuyup. Buku pelajaran di tas tidak terpikirkan lagi. Hanya fokus pada satu hal. Lari secepat mungkin.

***
Aku mengetuk pintu lemah. Tak ada tenaga lagi untuk berjalan. Jun muncul dari balik pintu. Rautnya menunjukkan kekhawatiran. Ia langsung membopongku kedalam. Aku tak bisa mendengar apa yang ia katakan. Hanya dingin yang terasa. Sekujur tubuhku mengigil kedinginan. Aku menoleh padanya, wajah Jun terlihat samar samar. Sepertinya aku merasakan lemas di kedua kaki. Pandangan menjadi gelap. Dan aku tidak sadarkan diri.

***
Perlahan sebersit cahaya terlihat. Aku menegadah melihat sekeliling. Tempat ini sangat asing bagiku. Baju yang kukenakan juga sudah berbeda. Ruangan ini 2 kali dari kamarku. Aku menyadari ini rumah Jun. Tapi kenapa ada dikamarnya? Aku mencoba mengingatnya kembali. Tapi kepala malah terasa pusing.

Yang kuingat, aku belum sholat magrib dan isya. Kulirik jam dinding emas menunjukkan pukul 8. Aku langsung bangkit dari ranjang dan pergi menuju kamar mandi yang memang sudah ada di dalam kamar.

***
Begitu selesai sholat, seseorang mengetuk pintu dari seberang. Lalu sosok Jun masuk kekamar. Ia membawakan makan malam.

"Udah sadar? Gimana, masih sakit nggak?" Aku langsung di serbu dengan pertanyaan darinya.

"Eh? Udah kok" jawabku singkat.

"Ini di makan yahh.. biar cepet sehat" jun menyodorkan makanan yang dibawanya. Aku hanya tersenyum menatap makan malam itu,"mau gua suapin?" Aku melotot. Jun melotarkan pertanyaan yang tidak pernah terpikir oleh ku sebelumnya.

"Nggak. Terima kasih. Bisa sendiri kok!" Jawabku ramah. Untuk yang kedua kalinya, rasa kesalku padanya lenyap hilang dibawa angin. Wajahnya yang teduh ditambah senyuman manisnya membuat jantungku berdegub kencang. Kucoba tenang setenang mungkin. Khawatir ia akan mendengar degupan ini. Tapi sia sia, semakin ia tersenyum, semakin kencang degup jantungku. Aku semakin takut dibuatnya. Apakah ini reaksi bila seseorang masih trauma dengan pingsannya? Atau karna demam yang belum sembuh? Ah, entah itu karna apa. Aku tak peduli. Yang aku pikirkan hanya menutupi degupan ini agar tidak terdengar olehnya. Kencang sekali, seakan tidak ada waktu untuk istirahat.

Jun mendekati wajahku. Sontak aku menundukkan kepala. Tak berani menatap matanya. Ia makin heran dibuatnya. "Wajah lu pucat, masih sakit?" Jun mengalihkan pandangannya ke nampan.

"Emm.. cuma meriang. Nanti juga sembuh" jawabku terbata bata, "Gua pulang dulu ya.. maaf nggak bisa ngobrol sama bunda" aku langsung beranjak dari tempat tidur.

Tapi Jun menahannya. "Kata bunda, lo tidur disini dulu. Tante udah di telpon sama bunda. Jadi lo, nggak usah khawatir. Besok pulangnya gua anter " Jun menirukan gaya khas bunda bicara.

Mulutku hanya bisa bungkam mendengar tuturan nya. Jun tersenyum ramah kearahku. Lalu pergi menuju pintu.

"Oiya, kamar gue ada di sebelah. Kalo ada apa apa, tinggal ketuk aja." Ujarnya sebelum pintu tertutup. Aku hanya menghela nafas panjang. Meratapi nasibku ini. Melampiaskan semua rasa ini. Aku masih terus berpikir, apa mungkin, air hujan dapat mengakibatkan trauma?

------------
Boleh Bantu ngoreksi. Terus, saran saran dan masukan nya juga boleh.

Subete arigato^^

SALSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang