Jam pertama dan kedua diisi pelajaranya Pak Jhonthor. Dengan sangat antusias semangat empat lima, Pak Jhon menjelaskan bagaimana reaksi percampuran kimia dan lainya. Juga sesuatu yang mengakibatkan molekul unsur bereaksi. Sesekali sambil membetulkan kaca matanya yang miring. "Baik anak-anak, paham sampai sini?" Ia menenggakkan kepalanya menatap murid kelas 12 B, walau nyatanya radius pemglihatan Pak Jhon tidak lebih dari semeter.
"PAHAM." Jawab kami serentak yang berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Hanya satu dua anak saja yang masih melek memperhatikan di barisan depan. Merekapun, sering mendapat rangking.
Lain halnya dengan kabar anak belakang. Dari namanya saja, sudah tersirat sesuatu. Termasuk kursi kami bertiga dibelakang.
Terkadang, kelemahan Pak Jhon dalam hal penglihatan, di salah gunakan oleh kemampuan emas kami. Kelas yang dapat mencapai jarak lima sampai enam meter ke belakang, sangatlah mudah bagi kita anak belakang untuk kabur lewat jendela. Ditambah dua jendwla belakang yang hanya satu meter setengah dari lantai, juga durasi jarak penglihatan Pak Jhon yang semeter itu. Jangan coba bayangkan berapa kali kami ngaret masuk kelas pada jamnya.
Bagiku, semua yang keluar dari mulut pria paruh baya di depan itu, seperti dongeng pengantar tidur anak. Perlauan mengalunkan nada-nada sejuk yang memaksa mata tuk segera terlelap di bawah kipas angin.
Tak butuh waktu lama untuk membuktikan perkataanku tadi. Perlahan, kedua mata ini mulai goyah dari terjaganya. Awalnya, kedip sekali, dua kali, empat kali, diselingi nguap diantara kedipan-kedipan. Tanpa pikir panjang, segera ku raih kedua tangan lalu meletakkannya di meja dalam posisi menumpuk. Dengan maksud menjadi bantalan darurat. Aku hendak meletakkan kepalaku.
"Sst... Sal!" panggil Arbuy berbisik mengagalkan sesi terakhir acara molor siang ini.
"Huaamm!" Aku menutup mulut dengan tangan kanan, "Paan si?!" Lanjutku yang sudah menatapnya malas. Entah sudah kali ke berapa aku menguap saat ini. Teringat semalam membaca novel hingga larut.
"Sal, kabur yuk!" Tatapan penuh semangat seorang pelajar mengajak kemaksiatan tampak begitu berbinar. Ditambah terpaan sinar mentari yang membuat titik-titik kecil di pelipisnya.
"Ajak Mora sekalian, lagian Sal, di Warung Nde ada diskon gorengan kayaknya," masih dalam keadaan berbisik, Arbuy merayuku sebisanya, "keburu abis nanti kalo kelamaan..." belum selesai Arbuy menjelaskan aku memotong langsung.
"Truss kita balik lagi pas bel istirahat?Gitu kan?" Sangat-sangat hafal bagiku mengingat ucapan Arbuy selanjutnya. Kata demi katanya masih melekat. Bagaimana tidak? Seminggu 4 kali selalu ia merayuku pun Mora dengan cara yang sama. Sama seperti jam ngajar Pak Jhon di kelas kami. Tak terhitung pula anggukan aku dan Mora mengiyakan ajakan Arbuy.
Tapi kali ini tidak.
Mataku sudah tak bisa diajak kompromi lebih lama. Keinginannya lebih besar dibanding ajakan mengiurkan Arbuy.
"Iyap. Betul sekali." Ia senyum membenarkan, dibarengi anggukan kecil nan mantap.
"Nggak ah. Ngantuk. Ajak Mora aja." Sambil kembali melanjutkan sesi acara yang sempat di kacaukan Arbuy tadi, menyenderkan kepala di meja.
Mora menyembul ke samping, menunjukkan kepalanya pada kami, "Stt.. eh kalian! Bisa diem nggak?" Ternyata sedari tadi Mora mengkode untuk diam. Hanya kita saja yang tak peka dengan kodean Mora.
"Lha si Arbuy duluan noh" seruku tak terima. Arbuy mengangkat kedua bahu tak bersalah, sambil memundurkan kepala bingung. Mora heran dibuatnya, ia meminta penjelasan padaku, lebih ke pemaksaan sih sebenarnya. Sebal, aku memonyongkan bibir ke arah Arbuy. "Au ah, tanya sendiri Mor." Ucapku sepontan. Lupa akan situasi buruk saat ini. Pak Jhon yang semula mendongeng, menoleh seketika dengan tatapan mengintimidasi, Dan...
KAMU SEDANG MEMBACA
SALSA
Teen FictionAmatir version "Ha! Lu gak ngerasa?" Aku berdecak sebal, "emang bener ya, cowok kurang ajar tuh gak punya kepekaan!" Lanjutku masih dengan suara tinggi. "Lu kalo mau caper mending jangan sama gua. Percuma. Gak mempan di gua!" Ia meraih tasnya lalu b...