Harga Naik

107 6 0
                                    

Meja coklat di hadapanku berubah menjadi meja hijau dalam hitungan detik. Rentetan pertanyaan menghambur begitu saja menyudutkanku. Mereka tak memberi celah se-senti pun tuk aku sekadar bilang 'A'. Apalagi Mora, mulut merconnya itu merembet abis tak kenal lampu merah. Masih mending Arbuy, dia masih bisa toleran dengan lampu kuning.

"Sal, lu jangan coba-coba rebut Jun dari gua, key?"

"Gua juga pengen!"

"Eh, tapi... tapi kok bisa sih?" Mora memainkan ekspresi yang berbeda tiap pertanyaan yang ia lontarkan.

"Ya bisa lah," Arbuy memotong Mora. Mora memonyongkan bibir sebal.

"Lu... Lu kenapa gak minta bareng sama gua aja sih?!"

"Kan gua bisa nganterin lu layaknya calon suami idaman!" Arbuy menyatakan atau menanyakan?

"Suami pale lu! Kemaren baru ditolak juga." Mora balas dengan mengungkit masalah kemarin.

'Saring dulu kek kalo ngomong! Malu gua punya temen kayak lu!'

"SAL!! WOEY LAH!" tangan Mora mengayun di udara. Ia berusaha mengembalikan kesadaranku.

"Ha?" tanyaku bingung sendiri. Padahal sudah jelas mereka menantikan jawaban dariku, tapi, akunya saja yang diam.

'Gua diem juga gara-gara bingung mau jawab yang mana dulu'

"Ampun Salsa!! Plis deh," Mora menengklekkan kepala kesamping alay, "peka dikit dong!"

"Lu kok bisa bareng Jun?" kali ini Arbuy yang gentian bertanya.

Aku memutar bola mata sebal, 'Emang dasar! Si jun doang emang!'

"Bo ong itu! Gua di pitnah ama dia tau. Makanya, jadi orang bodohnya jangan pake banget apa!" aku diam sejenak. "dia pitnah gua, lu pada percaya? Sohib gua bukan sih?" sambil memajukan bibir sedikit. Agak mencibir memang, ya... gimana lagi,kedua sohib sejatiku ini benar-benar sukses membuat hariku berwarna. Entah itu yang kadang hitam, merah, atau putih kosong. Justru aku senang bergaul dengan mereka.

"Elah Mak, nggak usah pake kuah kali!"gerutu Mora sambil menirukan orang yang kena sembur.

"Nggak usah nge-gas juga Mak." Seakan aku adalah emaknya Arbuy dan Mora yang memarahi anaknya. Nyatanya, tidak.

Karna sudah terlanjur terbawa suasana akting, aku mengikuti permainan mereka. "sudah Nak, cup-cup, nanti beli permen sendiri ya." Selayaknya ibu sunguhan, aku menepuk pundak mereka berdua. Yang kutepuk menganguk manja.

"Dih, alay." Arbuy tak kuat lagi. Ia menyudahi akting alaynya.

Kami menikmati free class kali ini dengan obrolan ngalor ngidul tanpa arah. Mulai dari Pak Cen yang kata Mora kumisnya nambah sesenti, sampai gosip soal kedekatan Abuy dengan Rosi si cewe badai dengan tepung membungkus mukanya. Jelas, gosip itu di bantah Arbuy mentah-mentah, ia tak pernah tertarik sedikitpun pada rosi.

"Eh, kan si Bakpau Mpok Siti naik gope." Arbuy terlihat kecewa, samaa halnya dengan aku juga Mora yang ikut berduka mendengar kabar sedih itu.

"Serebu maratus itu mahal tau! Yang tadinya tiga rebu dapet tiga, sekarang Cuma dua." aku membenamkan kepala di meja, serasa mumet mendadak setelah mendengar kabar duka.

Mora menaikkan bibir kesamping, ia juga sebal mendengarnya, tak usah ditanya alsannya, sudah jelas tertulis di muka kami. Arbuy ikutan menunduk sebal.

Tak lama Arbuy menaikkan kepalanya lagi, ia memajukkan wajah ke depan. "Jangan sedih wahai kawanku," seketika, Mora menegakkan kepala lalu memandang aku penuh arti. Aku sama seperti Mora, kaget dengan Arbuy yang menghibur kami.

SALSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang