27. Katakanlah cabai

232 17 0
                                    

Memang susah bila berurusan sama Jun. Entah berapa kali aku harus menghela dan mengeram padanya. Ada saja ulah yang mampu membuatku berdecak kesal.

"Tok! Cepetan apa Tok!" Jun berjalan di depan. Diiringi aku dibelakang. Ingin rasanya meninju punggung kokoh itu hingga retak tak berdaya kalau saja tidak ada aturan DO di sekolah ini.

"SALSA!! Bukan KOTOK!" Sengaja, ku lantangkan suara agar mahluk di depan dapat dengar lebih jelas. Walau sudah berkali-kali aku mengoreksi panggilan Jun yang aneh itu, namun percuma, hasilnya nihil. Mahluk kepala batu itu mengabaikan begitu saja dengan masih berjalan menyusuri koridor bawah. Sesekali punggung dengan balutan seragam putih itu naik turun bersamaan aku yang menggeram.

"Jun, kasih dispen kek."

"Enak aja dispen! Tas gua yang lu kotokin belum wangi."

"Dasar, dendam," ucapku mengecilkan suara.

"Lagian, lu orang berduit. Bukanya beli yang baru!"

"Lo kira, Mama bakal ngijinin buat beli lagi? Tas gue masih baru. Palingan suruh londri." Terdenhar gerutuan kecil dari depan.

"Dasar anak Mama," gumamku pelan.

Dukk

Au!

Nabrak apaan gue!

Aku mendongakkan kepala ke depan. Dada bidang seseorang telah menyudul kepalaku. Semoga saja, tidak memar membiru.

Aku mundur selangkah. Guna melihat pelaku tabrak diam itu yang pasrinya Jun.

"Emang kenapa kalo anak Mama?!"

Glek

Aku menenggak saliva kasar. Sensian ternyata. Padahal hanya dibilang anak mama saja, kalimat yang ia lontarkan seakan ada sebilah pedang tersemat.

"Gak usah sensian Mas. Kayak lagi PMS aja!"

Aku membuang napas kasar. Lalu mendengus sebal di belakangnya. Masih membawa Tas hitam yang beratnya Subhanallah.

Serius, aku masih heran dengan si Jun itu. Setahuku, kelas PM hanya membawa buku sedikit dibanding hari lainnya. Tapi berbeda dengan tas ransel Hitam yang masih bertengger di tanganku. Berat. Sungguh berat tasnya Jun.

Ini tas atau batako? Beratnya nggak ketulung. Gue aja nggak segitunya.

Apa mungkin ini kali ya, beda nya anak otak encer sama otak beku kek Arbuy?

"Kantin dulu!"

Aku menatapnya sambil geleng-geleng. Padahal kelas hanya berjarak beberapa meter lagi. Tapi dia,mau ke kantin. Kenapa tadi nggak sekalian aja pas lewat?

Emang dasar. Cowok kampret. Gua mati-matian bawa ini tas, dia malah tinggal nyuruh doang.

"Bawa sendiri, ah. Manja dasar!!" Spontan kata-kata itu keluar begitu saja bak air mancur taman komplek.

"Tuh! Lu bilang ke gua gak munafik! Nggak ingkar janji." Matanya menatapku, "sekarang lu minta gua yang bawa. Mau lu apasih? Tok?"

"Lah, lu yang maksa!" Kataku tak mau kalah.

"Sapa suruh kotokkin tas gua. Mana baru dicuci lagi."

"Derita lo berarti!"

"Sue, lu Tok. Minta di aniaya. Untung gue masih punya hati."

Heleh, punya hati apaan! Yang ada narik urat mulu.

Entah sudah yang kesekian kalinya, aku menghembuskan nafas kasar. Berlari melewati Jun menuju kantin lebih dulu. Susah kalau sudah debat sama Jun. Cowok yang punya urat banyak. Cowok yang katanya punya hati namun tidak nyatanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SALSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang