"Jeje......bangun, udah setengah tujuh, nanti kamu terlambat ke sekolah!"
"Grr..." wanita yang di panggil hanya mengerang dan melanjutkan tidurnya. Sementara di luar kamar, sang Tante masik saja terus berteriak.
"Je.....bangun nggak, atau tante dobrak pintu kamar kamu!"
Yee dobrak ajah kalo bisa! Dasar nenek petir.
Jeje bukanya menjawab atau melakukan hal yang di suruh, Jeje malah mengumpat sang Tante dengan sebutan nenek petir.
Bukan hanya Jeje yang mengakui suara Tantenya yang seperti petir menggelegar jika sedang berteriak, bahkan beberapa teman Jeje dan tetangga sebelah juga mengakui.
"JEJE.................???" Teriak sang Tante sekuat-kuatnya. Suara melengking Tantenya, membuat Jeje sedikit pekak. Dia harus bertindak, setidaknya menjawab, kalau tidak Tantenya akan terus berteriak, sampai tetangga sebelah datang kerumah dan marah-marah.
"Apasih Tante?" Jawab Jeje cuek dari dalam kamarnya.
"Kamu gak lihat udah tengah tujuh!" Peringat Tante jej dari luar pintu
"Masih jam lima subuh!"
"JAM TENGAH TUJUH JEJE!" Tegas Tantenya.
"Jam tante itu rusak!"
"Mata kamu yang rusak. Ayo cepet BANGUN!!"
"Iya-iya ini udah bangun."
Kenyataannya Jeje masih tetap berbaring seperti semula, tanpa bergeser sedikitpun.
"Iya-iya apa? Kamu masih tetap tiduran, BANGKIT DAN CEPAT MANDI!!" Bentak Tantenya dengan geram.
Ihh tau ajah tuk nenek petir. ternyata matanya juga ada dimana-mana.
Jeje memilih mengumpat tanpa menjawab. Berdebat dengan Tantenya tak akan pernah menang.
Menyambar handuk yang tergantung, dengan malas, Jeje berjalan memasuki kamar mandinya.
Sementara sang Tante menghembuskan napas kasar, lalu berjalan menuruni anak tangga, menyiapkan sarapan untuk sang keponakan yang kelewat bandal.
Jeje tak pernah berubah, selalu malas bangun pagi dan menyusahkan Tantenya. Untung sang Tante belum menikah, jadi tak ada yang keberatan dengan keberadaan Jeje sekarang.
Hanya saja kadang ulah keponakannya itu diluar kata Perempuan. Membuat dia selalu mendapat panggilan dari guru BK di sekolah Jeje.
Walau begitu, sang Tante sangat menyayangi keponakannya itu. Sejak Jeje masuk SMA BANGSA, sampai kelas dua sekarang, dia tidak pernah mengeluh pada orang tua Jeje. Semua kerepotan ia tanggung sendiri.
Sementar Ica, mama Jeje sendiri tak sanggup menghadapi ulah sang anak Perempuannya itu. Anak keduanya itu sulit diatur dan juga menyusahkan Ica yang dulu sedang mengandung. Entah menurun siapa kelakuan Jeje, tapi anak pertamanya, abang Jeje Alvin, lelaki yang sangat baik. Sampai-sampai, dia pernah menolak kuliah di Yokyakarta hanya untuk membantu sang mama, karena terlalu repot di buat Jeje.
Selesai berpakaian Jeje keluar kamarnya, menuruni anak tangga dengan terburu-buru.
Tantenya telah selesai menyiapkan sarapan. Kini dia tersenyum menatap keponakannya.
Jeje membalas senyum hangat sang Tante, walau tadi Tantenya kesal, tapi tidak benar-benar marah. Dia amat menyayangi keponakannya itu, hingga sikap manja dan tidak bisa di bantah melekat pada Jeje.
"Tante, Jeje berangkat sekolah dulu ya. Assalamualaikum." Tanpa mencium punggung tangan Tantenya, Jeje berlari keluar melewati sang Tante yang menunggunya sarapan bersama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jeje
Teen FictionBagaimana jadinya cewek tomboy yang super bandel dan urak-urakan, bertemu dengan cowok cuek berwajah tembok. Keadaan mulai berubah, seiring berjalannya waktu. ******* "gilak, jantung gue kenapa dangdutan terus kalo dekat dia? enggak-enggak, gue gak...