'Sebuah Senyum' #17

105 4 0
                                    


Jeje menggeser tubuhnya menjauh, namun temannya seakan enggan untuk melepas, malahan mereka semakin mendekat.

"Jauh-jauh dari gua!"

Doni, Aji, Arya dan Leo berhenti, mereka bersamaan menatap kearah Jeje.

"Balik ke tempat!" Ujar Jeje lagi tanpa melihat tatapan kecewa ke-4 temannnya.

Pasrah, merekapun berjalan duduk ketempat semula. Doni yang paling pengertian dari yang lain langsung memesan minum untuk Jeje.

"Je, lo beneran pindah?" Tanya Arya tiba-tiba. Jeje sontak membulatkan mata terkejut. Mengapa teman-temannya bisa tahu? Apa satu sekolah juga udah denger berita itu?

"Je, jawab dong! Lu mau pindah? Mau ninggalin kita-kita?" Sahut Aji tak sabaran saat Jeje hanya diam tanpa berespresi.

"Gua gak pindah. Gak mungkin dong gua tinggalin kalian," jawab Jeje santai.

Serempak mereka semua menghembuskan napas lega, akhirnya berita itu tidak sunggugan. Doni mengulas senyum manis, "Gue takut kalo lo jadi pindah,"

"Takut?" Beo Jeje tak mengerti.

Leo yang berada disamping kiri Jeje lantas mendekat, lalu membisik pelan, "Dia kangen sama lu!"

Jeje menautkan alisnya, ia semakin tak mengerti dengan perkataan temannya itu. Takut? Kangen? Jeje sama sekali tidak bisa mencerna kalimat itu diotaknya. Meski Jeje terus berpikir namun hasilnya nihil, Jeje tidak mengerti maksud dari perkataan tersebut.

"Kok ada ya manusia kayak lu? Heran gue." Ujar Arya, ia luarbiasa di buat salut oleh tingkah tidak pekaan dari Jeje. Walau ia tidak tahu apa yang dibisikkan Leo, tapi Arya seakan mengerti sesuatu.

Namun Aji yang biasanya paling bego, sekarang seperti mendapat ilham dari yang maha kuasa. Ia menepuk-nepuk pundak Doni, lantas berkata, "Sabar bro!"

*****

Hari mulai gelap, namun suasana kota Jakarta seakan tak pernah mati dan lelah. Orang-orang hilir mudik kesana kemari, kendaraan terus berlalu-lalang.

Saat ini Jeje dan temannya berada di taman kota. Sejak dari kafe mereka langsung menuju taman kota, tempat Favorite ke-2 mereka setelah kafe.

Tak ada hal penting yang mereka lakukan, hanya nongkrong dan bercerita. Ada banyak hal yang mereka ceritai, dari hal gak penting, sampai yang gak terpenting sama sekali. Semua mereka lakukan untuk berkumpul bersama, untuk bersenang-senang, untuk keluar dari masalah sementara.

Seperti Jeje, ia seakan lupa sakit hatinya. Ia tidak mengingat lagi bagaimana mamanya yang menyalahkannya tanpa sebab. Semua seakan hilang digantikan dengan kelucuan dan keabstrutan temannya.

"Udah jam delapan nih, pada gak laper?" Seru Leo.

Aji mengangguk mantap, "Laperrrrrr!"

"Cih, soal makanan cepet lu, disuruh tektekan banyak alasan. Basii.." Omel Arya.

"Ye... kalo ada uang juga pasti mau kok patungan, sekarangkan lagi gada."

"Alah, lu kapan adanya cobak? Hutang lu sama kak Tegar udah lu bayar?"

"Haha rasain lu, makanya jangan hutang-hutang!" Sambung Leo

Aji pasrah, ia terdiam cukup lama.

"Udah, nanti gue yang ngomong sama kak Tegar."

Perkataan Doni membuat Aji kembali bersemangat. Jujur, jika bukan temannya yang mengingatkan ia sama sekali tidak ingat. Padahal dua hari yang lalu, orang tuanya dari kampung baru mengiriminya uang. Sekarang uang itu sudah habis untuk mengisi perut Aji yang tak pernah kenyang. Apalagi orang tua Aji hanya bisa mengirim secukupnya saja.

JejeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang