Chapter 12

316 56 5
                                    

Jimin melempar handphonenya kasar. Ia baru saja melakukan hal yang paling memalukan dalam hidupnya.

Bisa di bayangkan seorang Park Jimin meminta nomor ponsel seorang wanita? Hal yang tak wajar menurutnya. Mengingat biasanya wanita duluan lah yang meminta nomor ponsel nya.

Tak terfikir olehnya bahwa ia bisa saja mencari nomor telpon Nari melalui CV kerja milik gadis itu. Ia masih ingat kemarin malam baru saja membaca ulang CV Nari yang dulu belum sempat ia baca.
Pria bersurai abu itu mengacak rambutnya kasar sambil mendesah berat.

Kembali terlintas raut wajah kaget dari gadis itu saat Jimin meminta nomornya. Nari mungkin saja menganggapnya pria aneh sekarang.

Ia menegak minuman dinginnya dengan kasar untuk menghilangkan dahaganya.
Lalu setelah ini, akan ia apakan nomor ponsel Nari? Menanyakan kabarnya?
Tidak, tidak mungkin. Memangnya apa urusannya?
Basa-basi tentang pekerjaan? Ah, terlalu formal.

Pria itu terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya seraya menertawai dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang melakukan pendekatan dengan seorang gadis saja. Hal ini juga tak pernah terjadi dalam hidupnya, mengingat 21 tahun dalam hidupnya hanya di habiskan dengan rasa cintanya pada kopi.

Tak masalah jika orang-orang akan menyebutnya pendekatan, namun dalam benak Jimin hal tersebut bukan berarti benar. 
Ia hanya ingin mengenal gadis itu lebih jauh dan bukan menjadikannya kekasih seperti yang orang-orang selalu katakan padanya.

Kau tampan dan baik tapi kenapa masih sendiri selama itu?
Hey memangnya apa masalahnya?
Jimin hanya merasa belum perlu memikirkan tentang kekasih untuk sekarang ini.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, ia tidak tahu. Justru Jimin malah dibuat penasaran. Pria itu merasa ada sedikit ketertarikan dalam dirinya dengan gadis itu hingga membuatnya melakukan hal yang tidak wajar.

Ia mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Jimin tak berfikir untuk mandi malam ini. Kasur mahal nan empuk miilik Jimin seakan memanggilnya. Penghangat ruangannya membuat matanyanya berat.

Kepalanya sedikit pusing karena banyak sekali hal yang harus ia pikirkan.
Bukan hanya tentang Nari. Tapi juga tentang Yoongi.

Jimin bukannya tidak sadar, ataupun tidak memerhatikan mata Yoongi seperti yang sempat Nari tanyakan.

Ia pura-pura tidak tahu dan bertingkah seakan-akan tidak ada hal yang terjadi. Padahal realita yang ada malah justru sebaliknya.
Jimin tidak berfikir untuk menanyakan kenapa. Ia hanya merasa tidak perlu bertanya macam-macam yang jika pada akhirnya malah menyinggung perasaan Yoongi.

Bukan sekali dua kali ia melihat Yoongi dalam kondisi seperti itu. Hal ini sudah menjadi hal wajar dan lumrah bagi Jimin serta teman-teman terdekat lainnya. Tidak ada yang berani menyinggung kecuali jika Yoongi yang memang ingin menyinggungnya.

Tapi sayang nya pria berkulit putih pucat itu seakan tak mau membagi rasa sakitnya. Bahakan ke sahabat terdekatnya sendiri. Seperti gembok berkarat yang bahkan dengan kuncinya sendiri tidak dapat terbuka.

Jimin selalu membayangkan jika dirinya berada di posisi Yoongi. Pria itu menggelengkan kepalanya tidak yakin jika ia akan sekuat dan setegar Yoongi. Bahkan ia sempat merasa bahwa Tuhan seakan tidak adil pada hyungnya itu.

Jika saja ada ajang penghargaan tentang siapa pemilik mental terkuat di dunia. Mungkin Yoongi lah yang akan jadi juaranya. Permasalahan yang dihadapi Yoongi bukan masalah sepele yang bisa diselesaikan semudah membalikan telapak tangan. Bahkan orang tua Jimin sempat menyuruhnya untuk menjauhi Yoongi setelah tau apa yang terjadi dengan Yoongi. Mereka merasa Yoongi akan membawa pengaruh buruk padaanya.

LOCKED (min yoongi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang